Di Negeriku, Tamu adalah Raja
Kalo dipikir2, Indonesia ini negeri yang ramah. Dibanding dgn negara2 lain, Indonesia sangat gampang memberikan kewarga-negaraan kpd pendatang asing. Syaratnya begitu mudah. Cukup berdomisili 5 tahun dan mampu berbahasa, orang asing bisa diakui secara resmi sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Iya, cuma 5 tahun. Super sekali bung.
Tentu jauh berbeda dgn negara2 lain. Di Arab Saudi misalnya, orang asing sangat sulit menjadi warga negara Saudi. Rumit dan berbelit2, hampir dikata mustahil. Kecuali jika orang asing tersebut mempunyai hubungan pernikahan dgn WN Saudi. Maka akan lebih memudahkan, tapi tetap saja susah dan berbelit2.
Saya sendiri sangat setuju dipersulit dan berbelit2. Dan memang harusnya begitu. Karena dengan dipersulitnya urusan kewarga-negaraan ini, sebuah negara akan lebih aman dan jauh kemungkinan akan dikuasai pihak asing. Dan sebaliknya, semakin gampang memberikan kewarga-negaraan, semakin gampang pula negara itu dikuasai pihak asing.
Nah dulu, di Indonesia ini, untuk menjadi pemimpin/penguasa syarat utamanya adalah seorang WNI "Asli-Pribumi". Agak ketat sih, tapi bagus banget, biar WNI pendatang/asing tidak bisa seenaknya saja berkuasa di atas negeri pribumi. Namun sangat disayangkan, syarat kepemimpinan WNI "Asli/Pribumi" untuk sekarang ini resmi dihapuskan. Rasis dan SARA katanya. Ah, Indonesia ini terlalu ramah.
Walhasil, semua WNI mempunyai hak yang sama. Berhak memiliki dan berkuasa. Tak peduli siapa dia, pihak pribumi ataupun pihak pendatang/asing. Dengan begitu, maka tak heran jika orang2 asing sekarang ini sedang ramai berbondong2 ingin pindah ke Indonesia. Negeri kaya raya yang terkenal -terlalu- ramah.
Dan informasi dari akun twitter seorang intelijen negara @Brani2000, bahwa saat pilkada DKI 2012 dan pilpres 2014 saja sudah ditemukan 377 ribu pemilih siluman yakni imigran asing ilegal yang tak bisa berbahasa Indonesia tapi sudah mempunyai KTP resmi. Kok bisa? Jangan ditanya. Pasti ada pentol di balik mangkok.
Tidak berhenti di sini saja. Mereka pun mulai berkuasa. Perusahaan2 raksasa di negeri ini mulai berhasil dikuasainya. Mereka menjadi pemegang ekonomi negara, juga mengendalikan suara media untuk menutup2i kebejatannya. Dan kalau perlu, dia minta pencitraan habis2an, agar pribumi percaya; mereka jujur, bersih dan cinta negara. Ah lagi2 negeri ini terlalu ramah.
Belum lama kemarin, ada seorang tokoh -yang pasti sangat mencintai Indonesia- yang lantang menyuarakan agar syarat kepemimpinan WNI "Asli-Pribumi" kembali diterapkan seperti dulu. Tapi sayang, justru tokoh ini yang terkena ampasnya. Dia dikucilkan dan dirusak citranya oleh media. Alasannya sederhana, dia rasis dan SARA. Ah memang, media sudah dikuasai asing-aseng. Rakyat Indonesia? Ikut apa kata media.
So, benar kata pepatah, "tamu adalah raja". Tamu berhak memiliki dan berkuasa. Menjadi pemilik rumah? Tamu pun bisa. Tuan rumah cukup menjadi pelayan saja. Urusan menarik becak, itu urusan tuan rumah, tak layak untuk tamu yang mulia. Tinggal menunggu saat2 dimana pemilik rumah akan terusir dgn hina dari rumahnya sendiri. Karena bagi kita, tamu adalah raja.
(Tanah) Suci, 21 Maret 2016
Komentar
Posting Komentar