Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Salah satu keistimewaan Bahasa Arab selain jumlah kosakatanya yang mencapai jutaan dan umurnya lebih dari seribu tahun, adalah terjaganya bahasa Arab dalam segi cara pelafalan huruf-hurufnya. Kaidah yang mengatur itu --disebut juga: makharij dan sifat huruf- telah dibukukan sejak awal abad hijriyah. Sehingga pelafalan bahasa Arab yang baku saat ini sama persis dengan pelafalannya pada zaman Rasulullah, bahkan pada era sebelumnya.

Oleh karenanya, orang yang membaca Alquran, hadits, kitab atau percakapan bahasa Arab, jika pelafalannya benar dan sesuai kaidah, maka tidak ada bedanya antara mana suara orang Arab dan mana non-Arab. Orang Asia Tenggara, orang Afrika, ataupun orang Barat, jika cara membaca Alquran mereka benar sesuai aturan tajwid yang ada, maka suara mereka akan terdengar persis seperti orang Arab fasih. Tidak kentara status mereka yang non Arab.

Berbeda dengan bahasa-bahasa lain selain bahasa Arab. Nyaris tidak ada aturan pelafalan huruf seketat bahasa Arab. Ambil contoh bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia tidak ada panduan khusus cara pelafalan bahasa sekelas ilmu tajwid dalam bahasa Arab. Bunyi konsonan E saja dalam bahasa Indonesia setidaknya ada tiga macam bunyi, dan seringkali tertukar satu sama lain. Juga akhiran K. Ada yang bunyi K sempurna, seperti ketik, rintik. Juga ada yang tak sempurna, seperti kakak, yang lebih mirip bunyi akhiran koma atas (').

Dalam linguistik Arab, ilmu tajwid, yakni ilmu yang mengatur makharij dan sifat huruf, mempunyai posisi yang sangat urgen. Semua pembahasannya telah tertulis secara gamblang dalam banyak kitab. Dan diajarkan secara turun temurun melalui lisan para guru dengan tatap muka langsung. Begitulah ilmu tajwid. Ilmu ini mustahil bisa dipelajari tanpa guru. Di samping teori keilmuan harus dipahami, praktek lisan pun harus dilatih keras melalui pengajaran guru dan melihat langsung gerak lisan mereka. Sehingga setiap huruf Arab -terutama bacaan Alquran- dapat dilafalkan dengan konsonan bunyi yang benar dan sesuai aturan.

Tak terkecuali dengan huruf Shod. Huruf ini sekilas mirip sin س, syin ش dan zay ز. Namun tentu di antara huruf-huruf tersebut ada titik pembedanya. Dulu yang aku pahami adalah: huruf sin س itu seperti S dalam bahasa sehari-hari, dan itu mudah. Begitu pula zay ز seperti Z. Syin ش itu seperti huruf sin س tapi ia (syin ش) mempunyai desis angin yang lebih tebal, yang dalam tajwid disebut tafassyi. Adapun huruf Shod ص itu mirip sin س tapi bunyinya seperti suara bersiul dan harus memonyongkan bibir.

Bunyi shod yang terdengar seperti siulan ini terasa khas sekali didengar. Apalagi dua kali ditemukan dalam surat fatihah yang setiap hari setiap salat selalu dibaca. Sehingga jika ada seorang imam tidak membacanya dengan bunyi siulan maka serasa ada yang mengganjal di telinga. Dan aku juga pernah mengalami hal itu. Ketika itu sedang salat jumat. Imam dan khatibnya seorang ustaz senior yang kukenal. Selama khutbah yang kuperhatikan adalah huruf shodnya. Begitu pula saat mengimami salat. Ada yang aneh di telingaku. Shod yang beliau baca tidak seperti imam-imam biasanya. Ustaz ini membaca shod lebih mirip dengan huruf sin dan tanpa ada bunyi siul.

Keanehan yang kudengar itu akhirnya terjawab saat aku studi di Yaman. Bacaan ustaz yang terdengar aneh dan kusangka keliru itu ternyata begitulah cara pelafalan shod yang benar. Tidak perlu memonyongkan bibir, tidak perlu pula berbunyi siulan. Bahkan andaikan seseorang tidak memiliki dua bibir pun ia tetap bisa melafalkan shod dengan fasih sesuai aturan kaidah. Dan selama di Yaman ini, aku tak pernah melihat orang Arab berbicara dengan kalimat-kalimat yang mengandung shod, memonyongkan bibir dan membunyikan suara siulan.

Sebetulnya, huruf shod dan sin itu memiliki kemiripan yang sangat dekat. Dalam segi makhraj, dua huruf itu sama. Dalam artian, ketika melafalkannya, posisi lisan ketika melafalkan shod sama persis dengan posisi lisan saat melafalkan sin. Dalam sifat-sifatnya, kedua huruf ini juga kebanyakan sama. Sama-sama Mahmus, yakni berhembusnya nafas ketika huruf dilafalkan. Juga Rakhawah, yakni terdengarnya aliran suara ketika huruf diucapkan. Begitu pula sifat shofir, yaitu: berdesisnya suara.

Kecuali istifal-isti'la. Sifat sin س itu istifal, artinya: menurunkan pangkal lidah ke dasar mulut, sehingga suara terdengar ringan. Beda halnya dengan shod ص. Sifatnya isti'la, artinya: menaikkan pangkal lidah ke dasar mulut, sehingga suara terdengar lebih tebal. Hanya istifal (ringan)-nya sin س dan isti'la (tebal)-nya shod ص inilah yang menjadi titik utama pembeda antara keduanya.

Barangkali penyebab mengapa orang-orang menyangka bahwa shod harus terdengar bersiul mungkin adalah karena huruf ini bersifat shofir. Shofir sendiri secara bahasa adalah bunyi siulan burung. Tapi sayangnya, secara terminologi/istilah bukan seperti itu yang dimaksud. Shofir itu berdesisnya suara. Huruf-huruf yang bersifat shofir selain shod adalah sin س dan zay ز. Jika shod harus terdengar siulan dan perlu memonyongkan bibir hanya karena ia bersifat shofir, mengapa sin dan zay tidak demikian?

Dalam kitab Fathu Rabbil Bariyyah syarah Muqaddimah Jazariyah (hal. 44) disebutkan, bahwa termasuk catatan yang perlu digarisbawahi adalah cara pelafalan huruf shod sama sekali tidak melibatkan dua bibir. Jika shod harus melibatkan dua bibir dengan dalih ia bersifat shofir, mengapa tidak dipraktekkan pula pada huruf sin dan zay yang juga memiliki sifat shofir?

Sebetulnya, huruf shod adalah satu-satunya huruf hijaiyah yang terkadang di lafaz-lafaz tertentu dibaca dengan variasi yang berbeda. Seperti dalam lafaz shirath صراط. Ada yang melafalkannya dengan sin س murni, yakni qiraat Ibnu Katsir riwayat Qunbul (dalam Qiraat Sab'ah), dan qiraat Ya'qub riwayat Ruwais (dalam Qiraat Asyrah). Ada pula yang melafalkannya dengan isyam zay, yakni qiraat Hamzah riwayat Khalaf. Maksud dari isymam zay adalah: shod dicampur dengan bunyi zay. Lebih mudahnya: melafalkan shod seolah ia adalah zay (Z) tapi dengan isti'la (menebalkan suara huruf).

Adapun pelafalan shod dengan memonyongkan bibir dan suara siul adalah kekeliruan yang telah tersebar luas. Aku pernah menanyakan perihal ini pada guru Qiraatku, apakah ada satu versi dalam kitab tajwid, atau satu ulama yang berpendapat bahwa cara pelafalan shod bisa dengan memonyongkan bibir dan suara siul? Beliau jawab: tidak ada.

Tapi menurutku pribadi, huruf shod memang cukup ribet jika dilafalkan oleh orang non-Arab seperti orang Indonesia. Maka bisa jadi, cara seperti itu adalah langkah ulama Nusantara untuk memudahkan pengajaran dalam melatih lisan anak didik mereka melafalkan shod. Lalu setelah bisa mempraktekkannya, barulah kemudian anak didik itu beliau ajari melafalkan shod dengan cara yang sesungguhnya. Dalam hal ini kita perlu berhusnuzon. Sebab, para pengajar Alquran yang mempraktekkan cara tersebut di Indonesia banyak di antara mereka yang mempunyai sanad muttasil, dan berguru pada ulama yang mutqin.

Wallahu taala a'lam.

Azro Rizmy,
Syiib Muhajir, Husaisah, Rabu, 2 September 2020, tepat haul Imam Almuhajir Ahmad bin Isa, 15 Muharram 1442.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sanad Tertinggi di Muka Bumi

Mana yang Benar, Ziarah Akbar, Kubra atau Qubro?