Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Di Tarim, Orang (maaf) Kurang Waras pun Hafal Alquran

Gambar
Pagi tadi (31/12), aku nongkrong sambil sarapan roti bakhomri (sejenis roti goreng) dan segelas syahi halib (teh susu). Tiba-tiba lewat di depanku orang yang lagi ngomong sendiri, kata-katanya kurang jelas, cepat, persis orang mengoceh. Sesekali menoleh padaku, seolah mengajakku bicara. Orang di sampingku bilang: "tak perlu serius kau dengarkan, Nak, dia kurang waras". Betul, dia ternyata kurang waras. Tapi aku justru makin penasaran apa yang ia ucapkan dengan irama cepat dan tak beraturan itu. Aku pasang telinga. Memusatkan pendengaran pada apa yang ia ucapkan. Ternyata ia seperti sedang berceramah, dan bahkan membacakan ayat Alquran yang cukup panjang. Aku terkejut. Aku katakan pada kawan di sampingku. "Eh, dengerin, orang itu ngeluarin ayat Alquran, lumayan panjang. Ayat tentang hukuman orang yang melawan Allah dan Rasul-Nya". Kawanku mengernyitkan dahi, seperti tak percaya. Ia berdiri, menghampirinya, lalu bertanya; "Paman, innama jazaullladzina yuharibun

Maulid: Ekspresi Cinta Kepada Baginda

Gambar
Perayaan maulid adalah satu di antara sekian banyak sarana dan ekspresi cinta kepada Baginda Nabi. Tentunya, mereka yang tak bermaulid pun punya cara tersendiri mengekspresikan cintanya. Bisa jadi yang tak bermaulid lebih besar cinta dan lebih dalam kerinduannya dibanding yang bermaulid. Bisa juga sebaliknya. Namun titik kesamaannya adalah: kita memiliki satu cinta yang sama, meski beragam ekspresi yang berbeda. Tak perlu berdebat soal hukum bermaulid. Bukan perkara wajib, bukan pula perkara haram yang keji. Namun yang pasti, Rasulullah tentu lebih bangga melihat umatnya bersatu, tanpa pandang apapun alirannya, dibanding mendapati sesama umatnya yang sibuk bertengkar, ribut dan saling caci maki. Lupakan perbedaan. Fokuskan pada persatuan. Kesamaan kita jauh lebih banyak dibanding perbedaan. Sesama manusia, sesama muslim. Itu lebih dari cukup untuk alasan mengapa harus bersatu, bergandengan tangan, dan hidup harmonis tanpa cacian. Malu, sungguh malu, meneriakkan jargon bhineka dan tol

Generasi Caci Maki

Gambar
Indonesia, negeri yang penuh pesona, dengan kekayaan alam yang melimpah. Bumi, langit, laut, bahkan semesta seolah sepakat untuk berpihak padanya. Budaya ketimuran Nusantara menghiasi peringai penduduknya. Watak yang santun, ramah, lembut, tatakrama kesopanan, telah menjadi bawaan sejak lahir dari nenek moyang yang hidup turun temurun penuh toleransi, dengan berjuta keragaman yang dimiliki. Namun kini, di era milenial ini, budaya sopan santun itu sepertinya mulai tergerus sedikit demi sedikit oleh kemajuan zaman. Iya, oleh kemajuan zaman! Pemuda mulai lentur jati diri keindonesiaannya, menyisakan budaya caci maki yang seolah menjadi makanan wajib sehari-hari. Bhineka tunggal ika, simbol yang sakral itu, terbukti mempunyai daya sakti menyatukan keberagaman di tanah air ini. Namun sesakti apapun simbolnya, jika generasi terpuruk turun tangan memanfaatkannya dengan ego pribadi, maka Bhineka akan tetap ada, namun dengan nasib yang berbeda. Bhineka kini menjadi senjata. Senjata untuk men

Persetan dengan Gengsi!

Gambar
Gengsi. Harga diri. Kehormatan. Martabat. Kau sebut apa, terserah, aku tak peduli. Omong kosong. Semua manusia sama saja. Sama-sama berasal dari setetes mani yang muncrat dari alat kencing, dan berakhir menjadi bangkai santapan cacing. Gila hormat lebih buruk dibanding gila dalam arti yang sesungguhnya. Kau tahu kenapa? Orang gila tak digores tinta dosa di lembar catatannya, sedang orang gilahormat sudah tak tahu diri, masih saja ingin lebih. Dan entah apa yang membuatnya tak punya malu pada Tuhan pemberi rizki. Kawan. Jika ada orang menunduk hormat padamu, ikutlah menunduk, minimal tundukkan pandangan. Jangan malah kau injak lehernya. Menunduk tidak berarti rendah. Busungkan dada bukan pula berarti tinggi. Ia menghormatimu, bukan karena kau terhormat. Ia merendah di hadapanmu bukan berarti ia lebih rendah darimu. Ia justru lebih terhormat karena menghormat. Ia lebih tinggi karena rendah hati. Hargai mereka yang merendah. Ia berhasil merendah setelah berjuang penuh melenyapkan sifa

Serba-Serbi Kuliah Pagi

Gambar
Seperti biasa, rutinitasku tiap pagi pada semester terakhir di Al-Ahgaff ini adalah menikmati secangkir syahi halib (teh susu) ditemani sarapan roti-halawah ketika tak ada jadwal kuliah di jam pertama. Adik-adik kelas tampak berlalu lalang memulai aktifitas perkuliahan. Ada yang sarapan, ada yang persiapan berangkat. Ragaku hanya duduk stagnan di emperan depan dapur, tapi fikiranku tidak. Fikiranku berjalan, berlari hingga terbang kesana kemari menerka suasana asyik yang mungkin luput dari pandangan orang-orang. Salah satu tangkapan fikiranku di pagi ini adalah gaya khas mahasiswa di tiap tingkatannya. Kulihat-lihat, model tingkatan kelas seorang mahasiswa di Al-Ahgaff ini ternyata bisa ditebak melalui kitab-kitab yang mereka bawa. Kusebut "kitab" (bukan buku) karena dalam kebiasaan masyarakat kita, penyebutan kitab adalah untuk buku bacaan berbahasa Arab atau buku pegangan suatu kepercayaan yang bersifat sakral. Sedangkan "buku" adalah literatur yang berbahasa Ind

Mencium Kening Sang "Ainu Tarim" Untuk Yang Terakhir Kalinya

Gambar
Tarim kembali menangis. Entah masih adakah sisa air matanya, atau telah kering dan bahkan berdarah? Bulan kesedihan telah datang menjumpainya. Tiga ulama sepuh Tarim berjuluk Sulthon, Barakah dan Ainu Tarim meninggalkan kita di satu bulan yang sama, Jumadil Akhir 1439 H. Pertama "Raja Tarim", Sulthonul Ulama Habib Salim As-Syatiri pengasuh Ribat Tarim wafat pada Sabtu dua pekan lalu (17/2). Tokoh keberkahannya, seorang Imam besar Masjid Al-Muhdhor Habib Idrus bin Smith wafat syahid oleh kekejian kaum radikal ekstrem pada Jumat kemarin (2/3), dan pagi ini (5/3) entah bagaimana kesedihan tergambarkan dengan kabar wafatnya ulama sepuh berjuluk "Ainu Tarim". Adalah Habib Abdullah bin Syihab, ulama sepuh, soleh, alim yang terkenal dengan kewaliannya. Beliau dijuluki Ainu Tarim (mata kota Tarim) karena ketajaman mata hati beliau yang dalam kalangan ahli tasawuf disebut "kasyaf". Lahir dari keluarga bermarga Syihab yang masyhur akan keilmuannya. Soal keilmuan b

Produktivitas Ulama dalam Menulis Karya

Gambar
الخط يبقى زمناً بعد كاتبه * وكاتب الخط تحت الأرض مدفون "Sebuah tulisan akan tetap ada meski penulisnya telah terkubur di dalam tanah" Bergerak dalam bidang tulis menulis adalah unsur yang amat urgen di setiap peradaban manusia. Dengan menulis, para ulama turut berdedikasi dalam dunia keilmuan untuk generasi mereka dan berlanjut hingga generasi setelahnya. Dengan karya-karya itu pula, mereka akan selalu "hidup" sepanjang masa meski raga sudah tak berpijak di atas tanah, dan terus menjadi guru yang menebarkan ilmu ke pelosok dunia. Senada dengan itu, Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia berkata; "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Jika sekilas saja kita menengok sejarah, maka jelas sudah bahwa kemajuan suatu peradaban ada pada kemajuannya dalam bidang literasi. Andalusia di zaman keemasan Islam

Bersama Qadhi Yasir, Ulama Muda Pemegang Ratusan Sanad Guru

Gambar
Adalah Al-Qadhi Yasir bin Salim As-Syahiry, seorang qadhi di salah satu kota di Yaman Utara. Beliau merupakan ulama muda dengan dua gelar doktor; doktor hadits dan doktor aqidah, yang hafal ratusan sanad di luar kepala, baik sanad hadits sampai Rasulullah Saw maupun sanad kitab sampai kepada penulisnya. Baik sanad kualitas tinggi (singkat) maupun rendah (panjang). Juga berbagai macam bentuk gaya sanad, semisal sanad sampai Rasulullah dengan semua jalur Ahlul Bait, semua jalur Fuqaha, jalur Muammar, jalur semua orang Yaman, jalur Sufi-Asy'ari, dsbg. Semenjak Yaman Utara dilanda perang saudara, beliau memutuskan untuk hijrah ke Tarim. Awal kedatangannya di Tarim, beliau mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan. Habib Abu Bakar Al-Adeni langsung meminta beliau untuk mengajar di salah satu pesantren yang diasuhnya. Guru-guru Darul Musthafa sowan menyambung sanad silsilah guru pada beliau. Juga Alerth Nabawi TV menawarkan pada beliau untuk mengisi acara kajian Shahih Bukhari den

Peran Indonesia dalam Menghadapi Problematika Islam Kontemporer

Gambar
telegram.me/AhgaffPos Catatan Ringkas dari Seminar Abuya Prof. Habib Abdullah Baharun di Auditorium Universitas Al-Ahgaff Tarim 22 Desember 2017 Oleh: Azro Rizmy Abuya Baharun, begitu ia disapa akrab oleh kami para santrinya. Beliau adalah seorang pemikir Islam yang cerdas dengan analogi cara berfikirnya yang membuat para pendengarnya berdecak kagum. Di samping keahliannya dalam berbahasa Inggris, beliau pun sedikit-banyak mampu berbahasa Indonesia, karena beliau sendiri berkali-kali dan cukup lama berdiam di Nusantara. Oleh karenanya, jangan heran jika Rektor Al-Ahgaff ini faham betul dan mengerti selak beluk soal ke-Indonesia-an. Mulai dari budaya masyarakat, sejarah, dunia politik, perundang-undangan hingga ekonomi negeri. Tak ayal, Buya Yahya yang merupakan murid dekat beliau pernah berkata; bahwa Abuya Abdullah Baharun memang bukan orang Indonesia, tapi jiwanya lebih Indonesia dibanding kita yang asli Indonesia. Berikut beberapa poin yang bisa saya catat dari ulasan Abuya sa