Tadabur di Atas Awan
Tadabur di Atas Awan
Perjalanan jauh dengan naik pesawat terbang adalah salah satu momen yang paling cocok untuk bertadabur merenungi keagungan ciptaan Allah Swt. Bahwa bumi yang kita pijaki saat ini ternyata tidak hanya selebar daun kelor. Amat lebar dan amat luas.
Ceritanya, saat itu Aku memulai perjalanan dari tanah kelahiranku, Surabaya, dengan tujuan akhir ke kota Tarim-Yaman untuk melanjutkan studi bachelor-ku yang akan masuk semester tujuh. Rute penerbangannya menggunakan tiga pesawat yang berbeda, yaitu Surabaya-Jakarta, Jakarta-Bangkok Thailand, dan Bangkok-Muscat Oman. Lalu kulanjutkan dengan perjalanan darat lintas negara dengan jarak hampir 2.000 KM dari kota Muscat Oman sampai kota Tarim Yaman. Backpacker-an yang cukup seru.
Bagiku, waktu yang paling asyik untuk bertadabur adalah saat pesawat yang kunaiki dalam proses take off dan landing, yakni sekitar 10 menit awal dan 10 menit akhir penerbangan dengan ketinggian kira-kira 6.000 meter dari permukaan laut, kurang lebih setara dengan ketinggian awan. Terasa luas sekali dunia ini.
Menengok pemandangan dunia dari ketinggian 6.000 mdpl tentu sangat menakjubkan. Gedung-gedung yang gagah nan megah yang mampu menampung ribuan manusia sekalipun akan terlihat amat kecil, rendah dan seakan tak bernilai. Manusia? Nyaris tak terlihat. Sangat sangat kecil.
Terputar di headsetku lagu Hamood Al-Khudher yang berjudul hiya jannatun yang mengimplementasikan hadits Rasulullah Saw tentang keindahan surga. Bahwa kenikmatan yang diberikan Allah Swt disana adalah kenikmatan yang tak pernah terlihat oleh kedua mata, yang tak pernah terdengar oleh kedua telinga, bahkan tak pernah terbesit sedikitpun pada khayalan manusia. Artinya, senikmat apapun nikmat yang kita bayangkan, maka kenikmatan surga jauh lebih nikmat dari itu semua.
Aku pun teringat sebuah hadits Nabi, bahwa shalat sunnah dua rakaat fajar (shalat sunnah qobliyah subuh) itu lebih baik daripada dunia dan seisinya. Sementara shalat fardu lima waktu jelas lebih besar pahalanya dibanding shalat sunnah. Jika shalat sunnah saja lebih baik dari dunia dan seisinya, bagaimana dengan pahala shalat fardhu lima waktu? Jika memiliki gedung pencakar langit bagi kita sangatlah istimewa, bagaimana dengan memiliki dunia beserta seluruh isinya?
So, manusia yang hanya bisa menyombongkan rumah megahnya, mobil mewahnya, atau sekedar gadget canggihnya, adalah mereka yang terjangkit kebodohan akut. Karena sejatinya, ketentraman jiwa, keharmonisan keluarga dan manisnya ibadah lah yang masuk dalam prioritas kebahagiaan di dunia ini. Mari kita renungkan, kehidupan di dunia ini hanyalah sementara. Semua akan mati. Dan tugas kita hidup di dunia ini adalah memperbanyak amal baik untuk bekal kehidupan abadi pasca kematian.
Penulis: Azro Rizmy
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Al-Ahgaff University Tarim Yaman.
Email: azroahgaff@gmail.com
FB: Azro Rizmy
Watsap +6285731000720
Komentar
Posting Komentar