Ganti Nama Aziz atau Izzuddin?

Hari Sabtu lalu (22/10) tepat ramainya Hari Santri Nasional, aku dan kawanku, Asep Hafidz, ziarah ke makam Zanbal, jaraknya sekitar 600 meter dari asramaku. Kami berdua simakan surat Al-Baqarah di area makam Imam Al-Haddad yang berada di tengah pemakamam Zanbal. Aku dan dia sengaja simakan di situ untuk tabarukan dengan para wali dan ulama agar dilancarkan oleh Allah ketika ujian Alquran yang akan kami hadapi di sore hari itu juga.

Di saat kami berdua sedang fokus simakan, tiba-tiba datang rombongan peziarah yang aku tahu mereka bukan wajah asli orang Tarim. Setelah aku tanya, ternyata mereka datang dari daerah Yaman bagian barat, tidak jauh dari kota Hudaidah, katanya. Mereka adalah rombongan para pejabat hukum yang termasuk di antara mereka ada seorang Qadhi, yakni pimpinan majelis hakim di kota tersebut, tentunya dia sangat berpendidikan.

Satu diantata mereka memulai obrolan dengan bahasa inggris yang cukup panjang dan lancar. Aku hanya melongo. Sesekali mengangguk. Aku memang faham sedikit bahasa inggris, tapi nggak fahamnya jauh lebih buanyak hehe.. "Can you speak english?" tanyanya memastikan. "Syuwaiya", jawabku sambil nyengir setengah malu. Lalu kami melanjut obrolan ringan, kali ini kami ngobrol akrab dengan bahasa arab.

"Ini anak Indonesia bisa bahasa arab tapi kok bahasa inggrisnya lemah sih haha", gelaknya sambil tertawa bareng.

Orang yang berpangkat Qadhi giliran mendekati kami berdua. Ia mulai bertanya-tanya seputar studiku. Ia bertanya tentang kitab/buku pedoman kuliah yang diajarkan di kampus Al-Ahgaff. Mulai dari fiqih Minhaj, ushul fiqih jumhur, juga ushul fiqih madzhab Hanafi sampai fiqih muqaran (perbandingan madzhab).

"Kalo makul fiqih muqaran, yang diunggulkan pendapatnya Imam Syafii ya?" Tanyanya.
"Ma syi ta'assub" (tidak ada kata fanatik dalam kajian fiqih muqaran), jawabku spontan namun tegas.
Ia pun reflek tertawa dengan takjub.

Lalu mereka lanjut menanyakan nama kami berdua. Pertama kawanku, namanya Hafidzuddin, kata mereka, semoga kamu benar-benar menjadi penjaganya agama Allah, sesuai dengan arti namamu. Kemudian giliran ia tanya namaku, aku jawab "Azra". Sengaja aku katakan Azra, bukan Azro, karena kebanyakan orang arab kalau aku jawab [Azro] maka yang mereka kira adalah [Azroq] yang berarti warna biru. Tapi kalau aku jawab [Azra], langsung mereka tahu bahwa namaku [Azro]. Karena orang arab lebih terbiasa mengucapkan "Ro" daripada "Ra".

Ketika kusebutkan namaku, salah satu kawan dari sang Qadhi itu mengerutkan dahi, sepertinya ada yang ia fikirkan. Lalu dia berkata "Azra, lebih baik kalau namamu itu diganti Aziz saja, gimana?".

Sang Qadhi spontan menjawab, "tidak, tidak, lebih baik diganti Izzuddin saja". Aku pun makin dibuat bingung.

Aku mulai bertanya, "leisy ya habib" (memang kenapa dengan namaku, tuan?).

"nama Azro itu mirip dengan nama malaikat pencabut nyawa, Azroil haha", jawabnya sambil tertawa.

Aku pun ikut tertawa, dan akhirnya tersenyum, tak ada pembelaan dariku. Aku hanya diam. Tapi dalam hati sebenarnya aku membela namaku mati-matian. Bahwa, nama Azro itu bukan diambil dari nama Azroil malaikat maut seperti yang mereka kira. Iya, bukan. Nama Azro itu bentuk takbir dari nama Uzair. Artinya, jika nama Azro ditasghirkan maka menjadi Uzair, nama salah satu Nabi yang masyhur pada zaman Bani Israil.

Bagiku, nama Azro itu nama yang super keren loh hehe. Itu nama adalah pemberian dari kakekku, yai Muchith (di lingkunganku, seorang cucu biasa memanggil kakeknya dengan sebutan "yai", karena Yai dalam bahasa jawa artinya kakek). Cucu-cucu yang Beliau kasih nama juga semuanya keren. Mulai dari kakakku yang pertama namanya Danial, yang kedua Biki Habibie, dan aku, Azro Chalim.. Namanya keren and cool semua kan? Hehe..

Bukti ke-keren-an namaku juga lumayan banyak loh :v . Salah satunya, dulu ada salah satu temanku yang cukup dekat denganku. Suatu ketika, ibunya baru melahirkan adik kecilnya, dan dia ingin nyari nama buat adiknya. Ia mulai curhat denganku.

"Zro, adikku barusan lahir dengan selamat dan lancar, alhamdulillah. Ohya, gini zro, aku kepingin adikku yang ini aku kasih nama kayak namamu, Azro. Gimana, boleh nggak?"

"Waduh", jawabku singkat. Aku masih diam. Jujur, aku bingung mau jawab apa. Rasanya belum pernah ada permintaan seperti ini sebelumnya. Tapi yang jelas, aku belum siap ada orang yang sama persis dengan namaku. Hehe.

"Gimana zro, nggak boleh ya?"

"Hmm.. Emang kenapa kamu kok milihnya nama Azro?"

"Yaa keren aja zro, namamu lumayan gaul hehe"

"Oh gitu, namaku emang keren sih haha", jawabku sambil guyonan.
"Tapi kayaknya jangan deh, nama yang lain aja dah, jangan Azro" lanjutku, terus terang.

Dalam hatiku, aku baru sadar, bahwa nama Azro itu emang nama keren, cool dan gaul. Nama yang nggak terlalu kearab-araban, nggak kejawen, juga nggak terkesan ndeso, dan tentunya pantas buat semua profesi kelas menengah ke atas, semisal nama Prof. Azro, Doktor Azro, dan gelar keren lainnya hahayy :v

Cerita lain juga ada, singkatnya, ada tetanggaku yang sudah kami anggap seperti keluarga sendiri, punya anak bayi lagi. Dia sepertinya ingin itu anak dikasih nama Azro. Tapi kali ini agak berbeda redaksinya, hehe. Dia lumayan cerdik, dia kasih nama itu anak dengan nama Ahmad Zaid Ramadhan. Sekilas memang nggak ada nama Azro-nya. Tapi kalau itu nama disingkat, maka jadinya AZRO, Ahmad Zaid Romadhon". Hmm.. Keren kan? :)

Inti dan kesimpulan dari curhatan yang geje ini adalah, kalau ada orang menawarkan padaku untuk ganti nama seperti Aziz, Izzuddin atau yang lainnya, maka jawabannya adalah aku tetap berdiri tegak dengan ke-Azro-anku. Aku masih terlalu bangga dengan namaku, Azro. Nama keren pemberian kakekku yang Insya Allah orangnya juga lumayan keren (kata ibunya doang tapi.. Wkwkwk)

Sekian :D

Foto: di samping makam Imam Al-Haddad, maqbarah Zanbal, Tarim Yaman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Sanad Tertinggi di Muka Bumi