Generasi Caci Maki

Indonesia, negeri yang penuh pesona, dengan kekayaan alam yang melimpah. Bumi, langit, laut, bahkan semesta seolah sepakat untuk berpihak padanya. Budaya ketimuran Nusantara menghiasi peringai penduduknya. Watak yang santun, ramah, lembut, tatakrama kesopanan, telah menjadi bawaan sejak lahir dari nenek moyang yang hidup turun temurun penuh toleransi, dengan berjuta keragaman yang dimiliki.

Namun kini, di era milenial ini, budaya sopan santun itu sepertinya mulai tergerus sedikit demi sedikit oleh kemajuan zaman. Iya, oleh kemajuan zaman! Pemuda mulai lentur jati diri keindonesiaannya, menyisakan budaya caci maki yang seolah menjadi makanan wajib sehari-hari.

Bhineka tunggal ika, simbol yang sakral itu, terbukti mempunyai daya sakti menyatukan keberagaman di tanah air ini. Namun sesakti apapun simbolnya, jika generasi terpuruk turun tangan memanfaatkannya dengan ego pribadi, maka Bhineka akan tetap ada, namun dengan nasib yang berbeda.

Bhineka kini menjadi senjata. Senjata untuk menyerang sesama saudara. Menuduh yang lain anti bhineka, meski sejatinya dirinyalah yang enggan berbhineka. Jika ia betul-betul berjiwa bhineka, lantas mengapa gemar menyerang saudara hanya karena pandangan yang berbeda?

Pun toleransi, jargon manis yang kini menjadi bualan sadis, mengalami nasib yang sama persis. Toleransi dipakai pula menjadi senjata. Siapa yang tidak sepaham dan berbeda cara bersikap, maka dia intoleransi. Bersikap intoleransi terhadap kaum intoleran adalah sikap toleransi, begitu pengakuannya.

Di samping itu, kemajuan zaman -seperti yang kita singgung sebelumnya- telah meninggalkan dua langkah lebih maju membelakangi budaya dan tatakrama generasi ini. Kecanggihan teknologi, jaringan internet yang memadai, media sosial yang merajai, telah menenggelamkan berjuta manusia lintas generasi.

Siapapun dapat dan berhak untuk bersuara. Orang primitif, orang tak berpendidikan, anak remaja labil pun dalam unjuk gigi seoalah setara dengan profesor yang berilmu tinggi. Semua berkomentar, berpendapat, berteriak tanpa mereka amati, mencaci maki siapapun yang berbeda, tanpa fikir panjang maupun diskusi.

Ditambah dengan minimnya budaya literasi bangsa kita. Sedikit demi sedikit, kegemaran membaca buku semakin luntur dari peradaban. Tak dipungkiri, dengan tingkat budaya membaca yang tinggi, alur berfikir secara teratur akan didapat oleh empunya. Kritis, realistis dan tak mudah men-judge pihak yang berbeda.

Dengan banyak membaca buku pula, kita semakin faham bahwa munculnya perbedaan tidaklah semerta-merta timbul dari nafsu dan ego semata. Banyak dari perbedaan pendapat yang lahir dari kajian ilmiah, cara pandang dari sisi yang berbeda, dan semua itu akan kita dapatkan dengan memperbanyak mengonsumsi buku.

Boleh jadi, satu pendapat yang kau pegang kokoh itu, atau yang kau ikuti dari gurumu, adalah satu diantara ratusan bahkan ribuan pendapat dalam lingkup permasalahannya. Dengan demikian, pandangan kita akan berubah, dari yang seolah hidup dalam tempurung, menuju hidup dengan mata terbuka memandang luasnya cakrawala. Menjadi pribadi yang semakin bisa menghargai dengan keberagaman cara pandang manusia.

Bukan salah kemajuan zaman dengan media sosialnya yang merajai. Kesalahannya ada pada generasi kita yang kurang siap menghadapi. Teknologi melesat jauh ke depan, sedang kita duduk santai menikmati tanpa mengembangkan ilmu dan tatakrama untuk menyikapi.

Maka, bhineka tunggal ika dengan arti yang sebenarnya harus selalu tertancap dan teraplikasikan pada kehidupan generasi ini. Toleransi, welas asih, saling menghargai dan perhatian satu sama lain adalah jiwa fitrah kita. Karena kita adalah Indonesia. Kita adalah bangsa yang santun tanpa caci maki.

17-06-2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Sanad Tertinggi di Muka Bumi