R04: Syair Dahsyat yang Dibaca Usai Tarawih di Tarim

Tarim, 04 Ramadhan 1440 H

Usai jamaah salat tawarih-witir, doa sebentar, langsung bubar? Tidak untuk masjid-masjid di Tarim. Di sini, masih banyak lagi rentetan kegiatan setelahnya. Yang jika diikuti sampai betul-betul rampung dan jamaah bubar, bisa memakan waktu nyaris satu jam.

Tidak hanya kegiatan 'biasa' yang umumnya kita jumpai di Indonesia, seperti baca "subhanal malikil quddus", doa tawareh-witir dipimpim imam dan para jamaah mengaminkan, baca "nasyhadu.. nastaghfirullah.. nas'alukal jannah.. Allahumma innaka afuwwun.." lalu melafazkan niat puasa bersama-sama. Kemudian jamaah bubar. Di masjid-masjid Tarim tidak sebatas itu. Masih ada agenda lanjutan.

Diawali dengan Fatehah yang dipimpin imam (atau juga makmum yang sepuh), kegiatan 'ekstra' itu dimulai. Pertama melantunkan qasidah Witriyah dengan reff: "solatun wa taslimun wa azka tahiyyatin", yang baitnya lumayan panjang. Dengan memakai setidaknya tiga nada lagu yang berbeda. Agar jamaah tidak bosan. Agar mudah diresapi.

Selanjutnya melantunkan qasidah Fazaziyah. Yang saat pertama kali mendengarnya, aku langsung dibuat jatuh cinta. Qasidah itu satu kitab. Karya dua ulama penyair: Habib Abdullah Ja'far Baalawi dan Syekh Abdulqadir Muhammad As-Syajjar. Judulnya kitab Al-Fazaziyah fi mad-hi khoiril bariyyah. Kitab syair penuh sastra dan sarat akan makna, yang bait-bait cinta dan kerinduannya ditujukan pada sang idola hati, Baginda Nabi Saw.

Satu kitab ini berisi syair-syair dengan bahar kamil. Dalam kitab ini ada 29 bab. Satu bab satu qasidah. Tiap malam dilantunkan satu bab/satu qasidah. Menariknya, akhiran sajak syair (atau disebut qafiyah)-nya dalam kitab itu adalah urutan alif-ba-ta. Bab pertama qasidah di kitab itu akhiran sajaknya memakai alif (atau hamzah), yang dibaca di malam pertama Ramadhan. Bab/qasidah kedua akhiran sajaknya ba', untuk malam kedua. Sajak ta' untuk malam ketiga.. dan seterusnya, hingga sajak ya' qasidah untuk malam ke 29.

Sungguh. Para pegiat sastra, pecinta puisi, penyuka majaz, penikmat syair-syair romantis, akan linglung dibuatnya. Tenggelam dalam samudera keelokan  yang luas tak bertepi. Terlebih jika kau adalah pengamat syair Arab yang menekuni bidang ilmu Arudh-nya. Kau akan tergila-gila dengan cara penyair menuliskan bait-bait itu. Sungguh. Indah tiada kira.

Setelah Fazaziyah, baca lagi qasidah khas Ramadhan yang reff-nya diawali dengan "marhaban ya syahra Ramadhan". Qasidah ini kalau di Darul Mustofa, lantunan bait-bait bagian awalnya dipimpin langsung Habib Umar bin Hafidz. Lanjut dengan ganti reff "murahhab murahhab ya Ramadhan faya marhaban bika ya Ramadhan". Itu jika masih di awal bulan Ramadhan. Kalau sudah di akhir mendekati lebaran, redaksi murahhab (selamat datang) diganti muwadda' (selamat jalan). Qasidah ini isinya syair-syair nasehat. Akhiran sajaknya memakai huruf nun. Juga indah dan penuh makna.

Lanjut qasidah Qawafi. Karya Abil Hub Al-Hadhramy, salah satu ulama Hadhramaut abad ke 6 Hijriyah. Sekitar 900 tahun silam. Kali ini hanya munsyid yang mendendangkannya. Suaranya khas Hadhrami. Ritmenya pelan. Syahdu dan tenang. Layaknya lagu-lagu yang diciptakan untuk kesedihan. Para jamaah diam khusyu mendengarkan. Dengan ritme lagu yang pelan dan tenang itu, qasidah ini memberi nutrisi nasehat yang jika kita resapi maknanya, renungkan artinya, dan dirasakan dengan kesesuaian ritme nadanya, tak terasa akan melelehkan air mata.

Usai rentetan qasidah-qasidah penggugah jiwa itu, dilanjutkan lagi pembacaan doa ramadhan karya Habib Umar Assofi Assegaff. Doa lumayan panjang. Tiap jamaah diberi lembaran atau bukunya. Supaya bisa membacanya bersama. Setelah itu, masih ada qasidah lagi sebagai penutup. Yang bunyinya "Allahu Allahu ya Allah lana bil qabul". Dan terakhir ditutup dengan doa di penghujung kegiatannya. Baru selesai sudah.

Rentetan sepanjang itu, yang standarnya memakan waktu setengah jam, atau bahkan bisa sampai nyaris satu jam, dikemas dengan dihidangkan beberapa suguhan. Agar tidak ngantuk dan membosankan. Pertama ada Bukhur (sejenis pewangi yang dibakar, bisa berupa dupa, kayu gaharu atau juga serbuk pewangi yang dipanggang pakai arang). Kedua: minuman air putih es, lalu ketiga: minuman gahwah (kopi hijau) yang manfaatnya sebagai munabbih (penyemangat atau penghilang kantuk).

Disini, hiburan masyarakatnya, selain mendengarkan murattal Alquran, adalah mendengarkan syair-syair yang menenteramkan jiwa. Berisi dzikir, pujian romantis kepada baginda Nabi, dan juga nasehat para ulama. Inilah yang bagi mereka betul-betul hiburan. Yang bisa merindangkan hati yang dulunya kering kerontang. Masyarakat Tarim tak butuh musik pop, ataupun rock. Mereka sudah tahu hakikat kebahagian dan ketenangan yang telah mereka rasakan. Karena jelas: ala bidzikrillahi tathmainnul qulub. Dengan berdzikir mengingat Allah, hati ini akan menjadi tenang. (Azro Rizmy)

Tarim, Kamis, 9 Mei 2019

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Sanad Tertinggi di Muka Bumi