Mbah Moen Dalam Kenangan

Menangis. Hanya bisa menangis. Betul-betul menangis. Tentang guruku, kyaiku, pujaanku, idolaku. Hadhratus Syekh KH Maimoen Zubair. Yang setiap tahun pergi berhaji. Ke Makkah. Atas panggilan Rabb-nya. Namun kali ini ia tak kan kembali lagi.

Iya. Tak kembali lagi di alam dunia ini. Beliau terpilih untuk menghadap-Nya, di tahun mulia, bulan mulia, hari mulia, di tempat yang mulia, dan waktu yang mulia pula.  Seperti apa yang beliau pinta: wafat di Tanah Suci, pada hari Selasa. Dimana banyak ulama-ulama alim saleh yang dipanggil Allah di hari itu, untuk berjumpa di Hadhirat-Nya.

Sungguh tak diragukan lagi. Beliau masuk kategori manusia terbaik menurut Kanjeng Nabi: man thola umruhu, wa hasuna amaluhu. Adalah manusia yang panjang umurnya, dan baik amalannya. Sangat amat istimewa. Seorang manusia istimewa, dengan wawasan keilmuan yang istimewa, dibalut perangai nan istimewa pula.

Masih teringat jelas kenangan mengaji bersama beliau. Selama balagh bulan Ramadhan. Tahun 2015 M, 1436 Hijriyah. Di pesantrennya, Al-Anwar Sarang. Mendaras kitab karya beliau sendiri. Juga kitab Irsyadul Ibad karya Al-Malibari. Dari awal hingga akhir. Khatam sempurna. Dengan sanad menyambung ke muallifnya.

Dengan umur yang mencapai 90-an itu, beliau masih tampak bugar. Pendengarannya normal. Penglihatannya normal. Sangat menakjubkan untuk orang seumurannya. Cara bicaranya tegas dan lugas. Analisanya tajam dan cerdas. Orang akan dibuat takjub menyaksikannya.

Cara mengajarnya begitu elegan. Intonasi suaranya teratur. Tak pernah membuat santri bosan. Selalu memicu semangat. Membaca kitab terasa nikmat. Diresapi. Diselami. Kadang disisipi candaan, hingga kami tertawa. Lalu tak berselang lama, beliau menangis, terseduh-seduh. Diikuti kami, yang ikut menangis. Hati beliau, serasa tersambung setrumnya dengan hati kami, para santri-santrinya.

Begitulah Mbah Moen. Yang mudah sekali bercanda, untuk menghilangkan penat. Juga mudah sekali menangis, saat mentadaburi kitab yang beliau baca. Tertawanya asyik. Nampak berwibawa. Lalu sejenak diam, meresapi maklumat yang diajarkan, dan kemudian menangis. Menangis. Dan menangis lagi.

Sungguh aku jatuh hati dibuatnya. Sangat kuhormati. Sangat kucintai. Setiap teringat sosok beliau, melihat fotonya, mendengar suaranya, yang kupikirkan pertama kali adalah: nanti saat pulang ke Indonesia, aku ingin bersimpuh lagi kepada beliau. Sowan. Mencium tangan mulianya. Mengaji. Dan mengaji.

Sungguh kyai idolaku. Di manapun. Dan kapanpun. Bahkan, ketika berbincang santai dengan kawan-kawanku, setiap kali disebutkan nama beliau, seketika aku menyahut dengan mantap: beliau ulama yang betul-betul ulama, kyai yang betul-betul kyai, ulama yang paling kuidolakan.

Mbah Maimoen Zubair. Kusebutkan lagi nama indahnya itu. Nama yang kusebut-sebut saat berdoa. Satu dari tiga kyai yang selalu kutawasuli fatehah. Adalah Abahyai Taufiq Amtsilati, Kyai Masbuhin Faqih Suci, dan beliau: Mbah Maimoen Zubair. Atas keberkahannya, derajat keulamaannya, kesalehannya, aku bertawasul kepada Allah Swt.

Selalu kuberdoa, agar Allah memanjangkan umur beliau. Senantiasa dalam kebaikan, kelapangan, sehat dan afiyat. Tapi kali ini Allah berkehendak lain. Allah merindukannya. Begitu pula Rasul-Nya. Para sahabat, orang-orang saleh, dan para malaikat yang senantiasa taat pada-Nya. Semuanya merindukan. Ingin berjumpa. Pada sosok Mbah Moen yang teramat istimewa.

Dan hari ini, tanggal 6 Agustus ini. Adalah hari duka dan kesedihan. Persis seperti 12 tahun silam, 6 Agustus 2007. Tentang seorang Ayah. Yang kucintai dan kurindukan. Aku menangis sejadi-jadinya di hari itu. Dan kali ini, di hari ini, tanggal ini, kejadian itu seolah terulang kembali.

Selamat jalan Mbah Moen. Selamat jalan Mahaguruku. Insyaallah namamu akan tetap kusebut dalam tawasul fatehah-fatehahku. Aku bersaksi kau manusia yang tidak hanya baik, tapi sangat-sangat baik, sangat alim, sangat saleh. Suatu saat kelak, saat di akhirat nanti, tolong raih tanganku wahai Guru. Pegang erat, antar aku bersamamu, jumpakan aku kepada manusia paling mulia di dunia akhirat ini, manusia suci, Baginda Nabi Muhammad Salawatullahi wa salamuhu alaihi wa ala alih.

Bisirril fatehah ila hadhratin Nabi, Alfatehah.

Azro Rizmy,
Tarim, Selasa, 6 Agustus 2019, pukul 10.17 waktu Makkah. 6 jam setelah kepergiannya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sanad Tertinggi di Muka Bumi

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru