Selamat Jalan, Grand Mufti Tarim Habib Ali Masyhur bin Hafidz

Seperti baru kemarin sore. Aku berada di dekat beliau. Di tengah terik matahari pagi musim panas yang cukup menyengat. Saat ziarah Zanbal, Furait dan Akdar. Aku selalu menguntit gerak kaki beliau. Berlarian kecil agar bisa standby duluan di satu makam demi makam. Supaya bisa selalu dekat dengan beliau. Aku bagian mengipasinya. Memberikan tisu pada khadimnya, lalu ia usapkan pada leher beliau yang penuh dengan peluh keringat.

Kini, kabar duka itu datang. Yaman berkabung. Tarim menangis lara. Secara berturut-turut para ulama dan orang sholehnya berpulang ke rahmat-Nya. Kemarin lusa, Syekh Muhammad bin Ali Mur'i, mufti Hudaidah, rektor Universitas Darul Ulum Yaman Utara. Juga Habib Abdullah Alwi bin Syihab, Nadhir masjid Al-Muhdlor. Lalu kemarin, Syekh Salim Basaidah, orang soleh dan tawadhu Tarim yang dikenal mustajab doanya.

Dan tadi malam, puncak kesedihan itu menyapa. Tarim berada di ujung laranya. Gurunda kami, Al-Habib Ali Masyhur bin Hafidz, seorang Grand Mufti, pimpinan Darul Ifta' Tarim, guru para ulama Hadhramaut zaman ini, meninggal dunia, berpulang ke rahmat Allah Swt.

Masih tampak jelas di benakku raut wajahnya. Wajah yang tak lagi muda, namun penuh semangat tak mengenal lelah. Masih terngiang-ngiang syahdu di telingaku suara khasnya. Suara yang sekilas mirip dengan suara adiknya; Habib Umar bin Hafidz. Meski suara beliau terdengar lebih tua dibanding suara adiknya.

Masih tergambar jelas gaya bicaranya. Yang santun dan ramah. Cara mengajarnya yang mendetail. Cara berceramahnya yang penuh energik. Kuat sekali dengan posisi berdiri yang cukup lama. Semangat sekali berbicara hingga lebih satu jam lamanya.

Keilmuannya jelas tak diragukan lagi. Gurunya para guru. Hampir semua ulama Tarim dan sekitarnya adalah murid beliau. Aktif di Darul Ifta sebagai kepala dewan mufti yang menjawab problematika umat. Aktif pula mengajar di berbagai tempat. Dan berbagai fan keilmuan.

Di Darul Mustofa mengajar kitab Minhaj. Juga Muqaddimah Hadhramiyah disertai Syarah Busyral Karim yang aku pernah rutin menghadirinya. Ada juga Rauhah kajian banyak kitab di masjid Jami'. Juga mengisi kajian di radio. Dengan membuka sesi tanya-jawab. Dan langsung menjawabnya dengan jelas dan lugas.

Kontribusi beliau membimbing umat sangat besar sekali. Menjadi tokoh yang paling dituakan tentu jadwalnya super padat. Memimpin di berbagai acara keagamaan, baik di dalam maupun di luar kota Tarim, seperti ziarah akbar Nabiyullah Hud As di bulan Syaban. Atau bahkan mengisi kajian dan majelis ilmu di luar negeri.

Beliau juga memimpin maulid setiap malam jumat di masjid Jami'. Berbeda dengan maulid Darul Musthofa pimpinan Habib Umar, yang ramai, gegap gempita, yang khas dengan teriakan tangisannya. Di masjid Jami Tarim, maulid pimpinan Habib Ali Masyhur lebih ke arah suasana yang tenang. Nasyid-nasyidnya bernada kalem dan pelan. Penuh kesyahduan. Perenungan. Dan kententraman.

Habib Ali Masyhur juga memimpin ziarah setiap jumat pagi. Bersama santri, ulama dan masyarakat Tarim di maqbarah Zanbal. Dan setiap jumat terakhir di tiap bulan hijriyahnya, agenda ziarah Zanbal ditambah lagi ke maqbarah Furait dan Akdar. Mulai bakda subuh, hingga pukul 8-an. Dari sebelum terbit matahari, hingga sinarnya cukup silau dan terik.

Beliau setiap selasa sore juga memimpin Hadhrah Basaudan. Tempatnya di Murabba' (ruangan persegi) Habib Abdurrahman Almasyhur, penulis kitab Bughyatul Mustarsyidin. Tepat di depan rumah Habib Ali Masyhur. Yang dua tahun lalu aku bersama teman angkatanku sowan disana. Minta doa, nasehat dan ijazah beliau, sekaligus ngalap berkah dari sosok Habib Abdurrahman Almasyhur yang juga merupakan grand mufti pada zamannya.

Termasuk jadwal rutinitas beliau yang amat istiqamah lagi adalah: memimpin solat jenazah rutin setiap sore di Jabanah Tarim. Yakni sebuah musalla besar di area tanah Bassyar (makam Zanbal, Furait dan Akdar). Nyaris setiap hari ada jenazah yang disalati di situ. Karena memang, di kota ini, jenazah-jenazah dari berbagai distrik atau perkampungan, disalati di Jabanah ini.

Dan masih banyak lagi.

Dengan jadwal rutinitas yang super sibuk itu, sebetulnya tampak di wajah beliau setitik rasa capek dan lelah. Umurnya di atas 80 tahun. Namun tetap bersemangat meski peluh wajah dan lehernya bercucuran keringat. Iya, Habib Ali Masyhur sangat mudah berkeringat.

Di waktu musim dingin sekalipun, ketika orang-orang pada umumnya justru mengalungkan syal atau sorban di leher mereka agar tidak kedinginan, namun keluh keringat beliau sering kali masih bercucuran di kening dan lehernya. Bahkan duduk tepat di bawah AC pun, beliau masih dibantu dengan kipas angin di depannya. Itu saat musim dingin. Bagaimana saat musim panasnya?

Kepadatan jadwal beliau tak mengenal kapan musim dingin dan kapan musim panas. Yang paling membuatku terkesima adalah saat ziarah maqbarah Zanbal. Agenda rutinan jumat pagi bersama masyarakat Tarim. Apalagi di jumat terakhir pada tiap bulan hijriyahnya. Agenda ziarah Zanbal itu ditambah lagi ke maqbarah Furait dan Akdar. Apalagi saat musim panas. Meski masih pagi, cuaca Tarim mulai panas. Terik mataharinya mulai menyengat.

Dua-tiga jam lebih ritual ziarah itu berjalan. Di tempat terbuka. Tak ada AC. Ataupun kipas elektrik. Yang ada hanyalah para relawan tukang kipas. Dua-tiga orang hanya fokus mengipasi beliau. Dan alhamdulillah. Aku menjadi bagian dari tim tukang kipas itu. Menggantikan posisi gus Iqbal Ngalam yang saat itu hijrah ke kota Mukalla. Mulai bulan Agustus lalu, hingga bulan Maret saat kampusku melarang mahasiswanya keluar asrama.

Menjadi tukang kipas seorang Grand Mufti Tarim hanya sekitar 8 bulan. Namun amat begitu berkenang. Dan aku sangat bersyukur. Dengan hanya mengipasi, aku merasa begitu dekat dengan beliau. Juga adik-adiknya: Habib Umar, Habib Atthas dan Habib Salim. Bahkan dengan ulama-ulama besar dunia yang tengah berkunjung ke kota Tarim, yang diajak berziarah ke tanah Bassyar; Zanbal, Furait dan Akdar.

Kini, beliau telah tiada. Meninggalkan kita semua, dan semua merasa kehilangannya. Yaman berduka. Tarim menangis lara. Namun penduduk barzakh, aku yakin, sedang berbahagia dan gegap gempita. Menyambut sosok manusia laksana mutiara.

Tapi di sisi lain, setelah kepergian seorang Habib Ali Masyhur bin Hafidz, sekarang muncul banyak pertanyaan di benak masyarakat Tarim:

Bagaimana kabar ziarah Zanbal?
Bagaimana kabar maulid masjid Jami?
Bagaimana kabar majelis fatwa?
Bagaimana kabar Jabanah?
Bagaimana kabar ziarah Nabi Hud?
Bagaimana keadaan kota Tarim tercinta?

Oh Guru, kau begitu indah. Dalam hidupmu dan dalam matimu. Hidupmu bermanfaat untuk agama dan umat. Wafatmu menjadi ajang pertemuan para kekasihmu. Lantas berkumpul bersama kawan dan datuk-datukmu. 

Suatu saat, ketika kakiku tergelincir di akhirat nanti, tolong raih tanganku, Guru, pegang erat-erat, bawa aku bersamamu, hingga berkumpul dengan Kakekmu, sayyidina Rasulillah Muhammad Saw.

Maassalamah, ya Syaikhi.

Selamat jalan, Guru..


Azro,
Tarim, 26 Mei 2020 M - 3 Syawal 1441 H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Sanad Tertinggi di Muka Bumi