14 Tahun Silam, Awal Mula Perjalanan Panjang
13 Juli 2006. Tepat 14 tahun yang lalu, petualangan hidupku bermulai. Hari pertama mengenal satu tempat persinggahan. Singgah yang bukan untuk istirahat. Bukan pula untuk sekedar pindah tempat. Singgah ini adalah singgah untuk memulai lembaran perjuangan baru demi kebaikan dunia akhirat.
---
"Azro itu kita sekolahkan umum saja, Yah", ujar ibuku pada ayahku beberapa waktu sebelum datang bulan Juli.
"Anak-anak kan sudah ada dua yang mondok. Biar Azro ini kita sekolahkan umum saja. Kita siapkan dia jadi dokter", lanjut ibuku, dengan penuh kepercayaan pada kemampuan anak ketiganya itu.
Memang, saat itu aku ingin sekali melanjutkan studi di sekolah umum. Aku sejak kecil suka ilmu sains. Terutama pelajaran matematika. Aku juga dinilai unggul dalam pelajaran itu. Bahkan saat masih SD, aku sempat membuat rumus sendiri. Menyaingi Phitagoras dalam rumus segitiga itu. Yang kurasa, rumus phitagoras sangatlah berbelit, ribet, dan kurang optimal untuk menemukan jawaban dengan cepat.
Aku pun mengarang rumus sendiri. Menggunakan teknik perbandingan sederhana. Terbukti lebih mudah dan lebih cepat ditemukan hasilnya. Guruku mengakuinya. Oleh beliau, aku diperbolehkan menggunakan rumus itu untuk menjawab tugas harian ataupun ujian. Sedangkan untuk murid lain, beliau tak menganjurkannya. Mungkin karena mereka dirasa kurang begitu paham dengan jalannya rumus itu.
Semangatku dalam mempelajari sains terus menggebu-gebu. Hingga lulus SD. Aku lebih tertarik melanjutkan ke sekolah umum. Bukan mondok seperti dua kakakku. Guruku mensupport. Ibuku juga ternyata satu pemikiran denganku. Aku pun membulatkan tekad. Incaranku adalah SMP paling favorit se-Surabaya. Nilai danemku pun juga lumayan tinggi dan cukup untuk masuk ke sekolah idaman itu.
"Biar keluarga kita ada profesi dokter, Yah. Manfaat untuk orang banyak, terutama keluarga sendiri. Untuk masalah ngaji, kita bimbing sendiri saja, atau ngajinya di Ndresmo", lanjut Ibu dengan memberi alasan pada ayah mengapa aku lebih cocok melanjutkan ke sekolah umum.
Ibuku seperti itu juga termotivasi dengan salah satu sepupunya. Keluarga taat agama, punya pesantren, pintar mengaji, dan sekarang menjadi dokter spesialis. Orang-orang menyebutnya: dokter yang kyai, kyai yang dokter. Manfaat untuk orang banyak, lebih-lebih untuk keluarga besarnya sendiri. "Azro pasti juga bisa", gumam Ibuku.
Aku dan Ibu tak sabar menunggu jawaban Ayah. Insyaallah beliau sependapat dengan kami, dan menyetujuinya, pikirku.
Ayah pun mulai angkat bicara:
"Anak itu titipan gusti Allah, Bu. Suatu saat nanti kita dituntut pertanggungjawaban atas titipan itu di akhirat kelak".
Kalimat pembuka Ayah dimulai. Masih belum bisa kami mencerna maksud dari kalimat itu.
"Kita nggak bisa jamin keselamatan anak-anak kalau kita lepaskan di dunia luar".
Itulah Ayah. Kehati-hatiannya begitu tinggi. Urusan makanan saja beliau jaga betul. Tidak makan di luar kecuali makanan yang jelas halalnya. Ikan bakar, lontong kupang, gulai kacang hijau. Tidak untuk bakso, yang pentolnya kita tidak tahu betul dari daging apa. Pengecualian juga: rumah makan atau penjual yang Ayah percaya. Selain kriteria itu, Ayah memilih makan di rumah saja.
Itu cuma urusan makan, bagaimana dengan urusan anak yang merupakan titipan Tuhan?
"Azro mondok saja. Seperti kakak-kakaknya. Anak-anak kita pondokkan semua". Ujar Ayah dengan nada yakin dan mantap hati.
Kami lantas menerima pandangan Ayah. Meski di lubuk hati paling dalam, masih ada sekelumit titik harapan yang berbeda. Namun kalimat pamungkas Ayah inilah yang akan mengarahkan jalan hidupku. Jalan hidup yang terus-menerus aku syukuri betapa nikmatnya takdir ini. Hingga sekarang, dan sampai usai kematian nanti.
Tanggal telah dipastikan. Pondok juga telah ditentukan. Rabu 12 Juli 2006 kami bertolak menuju Jepara Jawa Tengah, pondok pesantren Darul Falah Amtsilati. Delapan jam perjalanan menggunakan mobil dari kota kami: Surabaya. Dari pagi, hingga sore menjelang malam hari.
Esok paginya, 13 Juli 2006, aku resmi menjadi santri di pesantren yang baru berumur 4 tahun dan terkenal dengan metode fenomenal Amtsilati itu.
Kehidupan baruku dimulai. Lingkungan, jadwal harian, pergaulan, makanan, semua harus menyesuaikan.
Ada satu yang sulit aku adaptasikan: adalah pelajaran pesantren.
Sulit sekali menyesuaikan, apalagi sampai menyukainya. Aku yang sedari kecil gemar pada pelajaran-pelajaran sains yang bersifat exact, kini dihadapkan dengan pembahasan yang jauh dari kata seru, dan belum pernah kusentuh. Kitab kuning, Nahwu, Shorof. Utawi-iki-iku, kelawan, ingdalem dan tetekbengek lainnya.
"Ya Allah, huruf jer ini apaan. Idhofah, mudhof, mudhof ilaih. Pelajaran apa ini ya Allah. Apa gunanya. Bagaimana bisa aku disuruh bergelut dengan hal-hal tak jelas begini", gumamku setiap kali memandangi kitab di tanganku. Atau saat melihat papan tulis. Atau saat ustad menerangkan. Atau saat setoran hafalan --yang aku tak tahu apa manfaat nadzom itu dihafalkan. Setiap kali melamun. Dan setiap saat. Aku kadang menangis, lemas, frustasi, tak ada semangat. Meski target setoran harian selalu tercapai dan masih tergolong cepat.
Namun semangat itu kadang muncul kembali. Bukan untuk menyukai pelajaran. Tapi lebih karena motivasi dan perhatian orang tua pada anak-anaknya. Setiap awal bulan, Ayah selalu menjengukku ke pondok. Memastikan kabar, membawa oleh-oleh berbagai makanan, diajaknya jalan-jalan, membakar semangat, dan yang pasti: memberi uang jajan bulanan.
Hingga satu tahun kemudian, tepatnya hari Senin, 6 Agustus 2007, kabar mengejutkan itu datang. Ayahku pergi meninggalkan dunia fana untuk selama-lamanya. Meninggalkan 4 anak yang masih usia belia, dan satu adik kami yang masih dalam kandungan berumur 9 bulan. Setelah lewat 12 hari, bayi mungil itu lahir, tanpa pernah melihat secara langsung wajah ayahnya.
Sejak saat itu kehidupan kami berubah. Secara mental, juga finansial. Jangan tanya soal kesedihan. Jangan pula soal tangisan. Tidak ada lagi rekreasi keluarga bareng Ayah. Juga tidak ada lagi yang namanya jengukan tiap awal bulan. Uang jajan dan SPP bulanan cukup ditransfer lewat wesel pos atau ATM Bank.
Tapi itulah awal mula kekuatan itu muncul. Kemandirian melejit pada masing-masing anak. Keharmonisan keluarga semakin terjalin kuat: karena kehilangan seorang Ayah adalah tamparan keras untuk menyadarkan bahwa di dunia ini, keluarga adalah harta paling berharga.
Waktu terus berjalan. Kecintaanku pada pelajaran pesantren belum sepenuhnya tumbuh. Meski tetap berjalan lancar dan bahkan tergolong mengesankan. Di saat-saat seperti itu, aku bertemu dengan pak Nanang, guru matematikaku di SMP Amtsilati. Beliau mencari anak-anak berbakat di tiap kelasnya. Lalu mendidik mereka bidang matematika secara eksklusif, dengan cara privat harian di kantor SMP. Aku termasuk salah satu dari anak-anak berbakat itu. Semangat sainsku kembali berkobar, seperti pengarung gurun pasir yang baru menemukan oase dan meminum air segarnya tuk melepas dahaga.
Di tangan pak Nanang ini, tahun 2009 aku berhasil menjuarai olimpiade matematika tingkat kabupaten. Mengalahkan 70-an SMP/MTs se-Jepara yang beberapa di antaranya adalah sekolah favorit bertaraf internasional (RSBI). Dan kemudian melanjutkan lagi ke olimpiade jenjang provinsi, melawan master-master matematika dari sekolah favorit di tiap kota/kabupatennya.
Tak hanya di masa SMP. Ketika masuk SMK pun, aku kembali menjuarai olimpiade matematika lagi. Saat itu masih kelas X (kelas satu SMK). Kali ini langsung ke tingkat karasidenan yang mencakup 8 kota dan kabupaten. Melawan ratusan peserta, aku menjadi 10 peserta olimpiade terbaik. Lalu dikirim menuju olimpiade tingkat provinsi di Universitas Diponegoro Semarang. Di situ, aku berhasil masuk finalis yang sukses menyisihkan banyak peserta lainnya.
Masih banyak perlombaan yang kuikuti. Baik itu berupa olimpiade, maupun model cerdas cermat. Baik spesifik matematika, ataupun sains secara umumnya: matematika, biologi dan fisika.
Kecintaanku pada matematika ini bukan berarti aku mengesampingkan pelajaran pesantren. Buktinya: ketika masih kelas X SMK dan saat itu berumur 16 tahun, aku sudah lulus madrasah diniyah (madin) ulya -- yang setara SMA/MA- sekaligus menjadi wisudawan terbaik, dan sudah menjadi ustad pengajar. Mengajar banyak bidang. Fiqih -fathul qorib, fathul muin, fathul wahab dan tuhfatuttullab-, nahwu alfiyah, mustolah hadits, faroid, hadits ahkam dsb.
Juga pernah mengadakan kajian kilat Alfiyah Ibnu Malik yang khatam hanya dengan 20 pertemuan. Dan puncaknya ketika tahun 2011, saat umurku 17 tahun, aku menjuara tingkat nasional lomba MQK bidang tafsir ulya (kitab Ibnu Katsir) di NW Pancor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Itu adalah tahun yang sama saat aku menjuarai olimpiade matematika di Undip Semarang. Alhamdulillah, pastinya semua murni anugerah Allah Swt.
Sampai tiba waktunya aku lulus SMK. Tahun 2013, dan ingin lanjut studi jenjang kuliah. Aku sempat tanya kakak sepupuku yang studi di Mesir: apakah kuliah di Al-Azhar ada pelajaran matematika? Jawabnya: tidak ada. Lalu tanya kawan di Al-Ahgaff Yaman, apakah disana ada matematika? Jawabannya sama: tidak ada.
Tapi aku ingat betul, Ayah jauh sebelum wafat, pernah curhat pada seseorang: ia ingin suatu saat nanti ada anaknya yang lanjut belajar ke Yaman. Bukan Mesir, bukan pula Saudi --meskipun Ayah sendiri adalah alumni Makkah, Saudi Arabia. Entah apa filosofi ide Ayah itu, aku kurang tahu betul.
Aku pun membulatkan tekad. Memasang dua opsi: antara harapan Ayah --ke Yaman, dan harapanku --kuliah matematika, atau multimedia yang merupakan jurusan SMK-ku. Tekadku bulat, kalau tes seleksi Universitas Al-Ahgaff Yaman tidak diterima, maka opsi kedua adalah daftar kuliah di ITS (Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya) atau Unair (Universitas Airlangga Surabaya) ambil jurusan matematika ataupun komputer.
Dan ternyata takdir berpihak pada Ayah. Aku dinyatakan lulus seleksi Al-Ahgaff Yaman. Berangkat pada tahun itu juga: 22 September 2013. Tahun pertama studi mahasiswa Al-Ahgaff berada di kampus pusat di kota Mukalla, ibukota provinsi Hadhramaut. Baru di tahun kedua, semester 3 sampai 10, kami melanjutkannya di kota Tarim, kota yang dikenal dengan kota para ulama dan para wali.
Di kota Tarim inilah nikmat itu mulai terasa. Lingkungan yang agamis. Masyarakat yang religius. Bisa dibilang: Tarim adalah pesantren yang luasnya satu kota. Seolah seluruh penduduknya adalah santri, dan layak dikatakan santri. Masjid-masjid selalu ramai. Pengajian, majelis, acara keagamaan selalu hidup dengan antusias besar masyarakat. Akhlak mereka, ibadah mereka, interaksi mereka, semua patut diacungi jempol. Itu masyarakat awamnya. Bagaimana dengan ulama-ulamanya?
Bertahun-tahun di kota ini, makin hari makin tambah takjub padanya. Dalam banyak hal. Termasuk studi ilmu agama. Hidup di kota ini kita dikelilingi pengajian umum dan majelis-majelis ilmu. Lembaga pendidikan juga amat banyak. Hanya modal tekad dan semangat saja cukup untuk kau timba ilmu sepuas-puasnya.
Aku sendiri, saat awal-awal studi S1 di Al-Ahgaff, aku ikut tahfidz Alquran di Ubadah cabang Murayyim. Di pertengahan S1, aku ikut studi hadits di Institut Darul Ghuraba asuhan Dr. Habib Abubakar Almasyhur Al-Adeni. Dan kedua studi itu lulus sekaligus wisuda di tahun yang sama: 2018. Setelah lulus S1 Al-Ahgaff dan studi Hadits Darul Ghuraba, aku langsung lanjut S2 di kampus yang sama: Al-Ahgaff. Dan kali ini, aku iringi lagi dengan studi Qiraat Sab'ah di Institut Alaydrus.
Darul Ghuroba dalam ilmu hadits, Mahad Alaydrus dalam Qiraat Sab'ah, Qubah Murayyim dalam tahfidz, Ribat Tarim dalam fiqih, Darul Mustofa dalam tasawwuf. Semua itu gratis. Hanya modal semangat, tekad dan keinginan kuat. Para pengajarnya juga berkualitas. Mampu menyinergikan antara keilmuan dan akhlak kesehariannya.
Itulah yang membuatku semakin merasakan kenikmatan yang luar biasa. Nikmat mencari ilmu agama. Nikmat memahami banyak bidang ilmu syariat Islam. Fiqih dan ushul fiqih lintas mazhab, beserta nahwu, sorof, balaghoh dan fiqih lughoh yang kupelajari di Al-Ahgaff, begitu terasa nikmatnya terlebih saat direlasikan dengan ilmu hadits yang kupelajari di Darul Ghuroba, dan ilmu Alquran plus Qiraat Sab'ahnya yang kupelajari di Alaydrus. Ditambah lagi penguatan segi batin yang kudapatkan dari Darul Mustofa. Dan masih banyak lagi yang didapat dari majelis-majelia ilmu para ulama di kota sejuta wali ini.
Makin tampak bagiku begitu menakjubkannya agama ini. Begitu luar biasanya ajaran Islam ini. Memiliki puluhan fan ilmu yang masing-masing mempunyai jurusan spesifik disiplin keilmuan. Didukung dengan peradabannya yang amat memukau. Sejak dari 14 abad yang lalu, hingga zaman modern ini, bahkan sampai kiamat nanti. Tak ada duanya. Sungguh tak ada duanya. Itulah mukjizat Rasulullah yang paling dahsyat, paling langgeng dan paling relevan sampai kapan pun itu. Peradaban Barat? Sama sekali tak kan bisa membandinginya!.
Alhamdulillah, tak henti-hentinya aku bersyukur. Oleh Allah aku diberi nikmat besar itu. Nikmat berkecimpung dengan ilmu agama. Melalui pilihan ayahku. Ya, melalui pilihan ayahku. Ayahku lah yang paling berjasa atas jalan hidup ini. Dulu Azro kecil sempat berpikiran, bahwa betapa egoisnya Ayah. Keinginannya harus dituruti. Semaunya sendiri ia menyetir jalan hidup anak-anaknya. Tak memberi kebebasan meski dalam hal pilihan pendidikan. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Dan kini aku mulai menyadari hal itu. Aku yakin pula, bahwa Ayah juga merasakan nikmat besar ini, dan berusaha agar anak-anaknya juga mendapatkan kenikmatan seperti yang ia rasakan.
Semua bermula atas kemantapan pilihan Ayah. Lalu dilanjutkan oleh ibuku. Setelah Ayah wafat, Ibu lah yang menggantikan posisi Ayah. Lebih tepatnya: menjadi ibu sekaligus ayah. Yang merawat, yang mengayomi, yang mengasih-sayangi, sekaligus yang membiayai, mensupport dan memotivasi. Pun kakak-adikku. Menjadi penyemangat dan penghibur dalam suasana harmonis keluarga.
Kini, aku semakin yakin, bahwa inilah pilihan jalan yang terbaik untukku. Jalan untuk memahami hakikat hidup di dunia ini. Melalui Islam. Agama sempurna yang dibawa oleh rasul pamungkas para nabi.
Rasulullah bersabda: "barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan, maka Allah akan pintarkan dia dalam ilmu agama".
BJ Habibie, bapak teknologi yang menjadi ikon kecerdasan anak bangsa, berkata di depan ratusan mahasiswa Al-Azhar Mesir: "Saya diberikan kenikmatan oleh Allah ilmu dan teknologi sehingga saya bisa membuat pesawat terbang, tapi sekarang saya tahu bahwa ilmu agama itu lebih bermanfaat untuk umat. Kalau saya disuruh memilih antara keduanya, maka saya akan memilih ilmu agama".
Azro Rizmy,
Tarim, Rabu, 22 Juli 2020
Komentar
Posting Komentar