Kholliny Janbak, Biarkan Aku di Sampingmu
Malam ini aku duduk di atap asrama. Orang sini menyebutnya: sutuh sakan. Aku duduk menghadap kiblat. Di bagian paling ujung. Saking ujungnya, hingga kakiku yang kuselonjorkan mungkin bisa terlihat dari bawah. Posisiku di ujung sebelah kanan, tapi di samping kananku masih ada longgar sekira satu lencang tangan.
Aku di sana melamun sendirian. Di tengah kegelapan. Menatap langit tanpa batas. Juga tebing-tebing kokoh dan pemandangan kota Tarim, di tengah malam yang penuh bintang gemintang.
Di sela-sela melamun itu, aku sempatkan membuka kitab pdf dan Maktabah Islamiyah melalui HPku. Dengan memakai layar split. Setengah layar atas untuk maktabah, setengah layar bawah untuk baca kitab pdf. Itu memang rutinitas santaiku sekaligus mencari bahan dan referensi untuk tugas thesis magisterku.
Musik tenang dan syahdu tidak lupa kusetel. Dengan volume rendah. Kunikmati satu lagu klasik yang amat panjang dan cukup fenomenal. Dilantunkan oleh sang maestro Mesir pada zamannya; Ummu Kultsum. Menjadikan suasana malam ini semakin tenang dan syahdu, seperti nuansa lagunya.
Tiba-tiba ada hembusan angin lembut. Sepoi-sepoi. Terasa nyaman sekali. Lalu seketika itu tercium semerbak wangi di samping kananku. Wangi itu seperti aroma minyak 'Ud yang biasa dipakai ulama Hadhramaut.
Aku tak menggubrisnya. Ah, mungkin wangi parfum orang lewat di bawah asrama, pikirku. Aku pun melanjutkan baca kitab. Lama kubiarkan, semerbak wangi itu justru makin kurasakan. Tepat dari arah kananku.
Kucoba cium dari arah kiri, sepertinya bukan dari situ sumbernya. Kucium dari arah kanan, wangi itu makin semerbak. Aromanya wangi dan segar. Seolah ada orang duduk tepat di samping kananku, dengan memakai minyak wangi aroma Ud.
Aku suka aroma itu. Aku betah. Kuhirup, dan kunikmati. Sambil memandang langit malam dan sesekali melanjutkan bacaan di Hpku.
Tapi lama-lama aku merasa aneh. Dari mana asal wangi itu. Ada apa di sebelah kananku.
Aku pun berdiri. Mencoba memastikan sumber asalnya. Arah kiri tidak. Arah kanan iya. Arah belakang tidak. Aku berjalan mengitari sekeliling. Tapi tidak merasakan sumber wangi itu kecuali di sebelah kanan posisi dudukku tadi.
Aku turun, kembali ke kamar. Masih saja mengerutkan alis. Bertanya-tanya. Aku merasa ada yang aneh. Tapi jujur, aku merasa nyaman. Aroma itu wanginya membuatku ingin berlama-lama di atas sana.
Di kamar, musikku masih berdering. Dengan volume rendah dan tenang. Lagu Ummu Kultsum itu masih belum selesai. Amat panjang memang. Kisaran 30 menit, bahkan bisa sampai satu jam. Tidak seperti lagu-lagu Indo yang hanya 5 menitan.
Lagu Ummu Kultsum yang kusetel itu berjudul Amal Hayaty. Artinya: cita-cita hidupku. Lagu ini sangat fenomenal. Habib Ali Al-Jufri menangis kala pertama kali mendengarnya. Lagu itu ditulis oleh Ahmad Syafiq Kamil di Raudhoh masjid Nabawi Madinah. Berisi tentang kerinduannya kepada Baginda Nabi.
"Kholliny ganbak, kholliny fi hadhni albak".
"Biarkan aku di sampingmu, biarkan aku dalam pelukan hatimu"
Itu satu cuplikan lagu Amal Hayaty yang sangat menyentuh hati. Penulis lirik itu seolah menuntun para pendengar syairnya. Bersama membayangkan bagaimana seorang pencinta bahagia bisa duduk bersebalahan langsung dengan sang kekasihnya.
Seketika aku terperanjat.
Aku terpikirkan tentang lagu ini. Lagu yang sejak di atap asrama tadi sampai di kamar masih saja berputar.
Juga tentang lirik lagu klasik yang sangat fenomenal ini. Apakah ada hubungannya dengan kejadian barusan?.
Apakah lagu dengan ungkapan "biarkan aku di sampingmu" memuat sirr yang betul-betul nyata?
Ah, entahlah.
Azro,
Tarim, Senin, 23 November 2020. Pukul 23.00 malam.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus