Telusuri Manuskrip di Tarim, Temukan Hubungan Erat Antara Hadhramaut dan Nusantara

Sabtu pagi (30/1), aku bersama tiga orang kawanku mendapatkan tugas khidmah. Syekh Ali Baharmi dan Habib Muhammad bin Hasan Al-Haddad meminta kami menemani dan membantu. Kali ini untuk menelusuri manuskrip-manuskrip kuno. Atau kitab-kitab berusia tua yang masih ditulis dengan tangan. Di sebuah rumah kuno milik keluarga Al-Haddad. Yang sudah lama tidak ada yang menghuni.

Pagi usai terbit matahari itu, HPku berdering. Syekh Ali menelpon. Bertanya posisiku di mana. Kujawab, saya bersama teman-teman sudah ada di masjid Baharmi. "Yakher, langsung menuju ke masjid raya Al-Haddad Hawi ya, saya tunggu", kata beliau melalui telponnya.

Kami berempat lantas berangkat menuju masjid Al-Haddad. Jaraknya sekitar 10 menit naik motor dari masjid Baharmi. Sampai di sana, kami diarahkan ke sebuah rumah. Tidak jauh dari masjid Al-Haddad. Rumah kuno berlantai tiga. Sudah berdebu cukup tebal. Karena lama ditinggal dan tidak dihuni oleh para ahli waris pemiliknya.

Awal masuk rumah, kami langsung kenakan masker. Agar tidak bersin-bersin akibat debu. Pertama yang kami lakukan adalah masuk gudang rumah. Di situ banyak sekali kardus usang. Berisi barang-barang lawas, kertas-kertas lusuh, juga catatan-catatan tangan yang berusia 80 tahunan. Tapi kata Habib Muhammad, bukan itu yang kita cari.

Kami lanjut menaiki lantai dua. Sama seperti lantai dasar, lantai ini berdebu tebal. Di situ ada beberapa lemari. Yang menyatu dengan dinding. Desain lemari semi permanen. Posisinya masuk ke dalam dinding. Hingga pintu lemari itu selaras dengan permukaan dinding tersebut. Begitulah gaya khas arsitektur rumah Hadhramaut. Yang notabene memiliki tiang besar dan dinding tebal.

Habib Muhammad dan Syekh Ali pun mengisyaratkan pada kami, untuk membongkar lemari-lemari tersebut, yang ternyata berisi banyak kitab-kitab kuno.

"Ini dia yang kita cari", ujar Habib Muhammad. Lalu menyuruh kami bersama-sama membongkar isi lemari tersebut. Memang, tujuan penelusuran ini adalah mencari kitab kuno. Lebih spesifiknya: menelusuri barangkali ada kitab Imam Al-Haddad, atau kitab karya keturunannya, yang masih tersimpan, dan belum pernah dicetak.

Kami lantas membuka lemari-lemari itu. Satu lemari berisi kitab-kitab kuno tertata rapi. Kebanyakan masih berupa tulisan tangan. Atau yang disebut: manuskrip. Berusia mencapai ratusan tahun. Dan kami menemukan beberapa kitab. Ada yang satu jilid tipis, ada yang tebal, bahkan sebagian ada yang berjilid-jilid.

Di lemari lain, ada pula kitab-kitab kuno. Tapi bukan manuskrip. Ia berupa kitab yang sudah cetakan, namun berusia sekitar 60 tahunan. Kali ini kebanyakan dari kitab-kitab itu berukuran besar, tebal, bahkan berjilid-jilid. Mulai dari kitab-kitab hadits, syarah-hasyiyah fiqih, hingga kitab Ihyaulumiddin beserta syarahnya.

Di lemari yang ketiga barulah kami menemukan hal yang luar biasa. Banyak kitab manuskrip yang ternyata karya ulama Nusantara. Sebut saja karya Mufti wilayah Betawi Habib Utsman bin Yahya. Berjudul Nafhatur Rahman fihal Huda wal Furqan. Sebetulnya masih ada lagi kitab beliau yang kutemukan di sini, tapi sayangnya tidak sempat aku potret gambarnya.

Lalu ada lagi yang menakjubkan. Di lemari itu juga aku temukan beberapa kitab manuskrip berbahasa melayu. Iya, berbahasa melayu. Dengan aksara tulisan Arab Pegon. Kitab tentang syarah (penjelasan) bait-bait syair. Kitab itu ditulis di Bandar Singapura. Pada tahun 1297 Hijriah. Sekitar 150 tahun yang lalu. Entah siapa penulisnya aku tak tahu. Sebab kitab manuskrip kuno ini kondisinya sudah tidak bersampul lagi.

Lebih menakjubkan lagi ada kitab-kitab berbahasa Jawa. juga memakai aksara Arab Pegon. Modelnya sama seperti kitab-kitab yang ada di pondok pesantren salaf. Menggunakan gaya "utawi-iki-iku" yang makruf di kalangan santri.

Kutemukan juga di situ majalah kuno berbahasa Indonesia. Dengan aksara Arab Pegon. Tertulis edisi tahun 1951. Sampulnya bergambar foto Presiden Sukarno dengan mengenakan songkok hitam nasional. Di majalah itu banyak artikel-artikel menarik. Terutama tentang keislaman dan keindonesiaan. Salah satu di antaranya artikel berjudul: Indonesia dan Irian Jaya. Sebuah artikel yang memaparkan permasalahan Papua, dan bagaimana Indonesia membela dan memperjuangkan kesatuan mereka.

Ada lagi kutemukan secarik kertas. Entah itu kertasnya yang memang kosong, ataukah tulisannya sudah pudar. Sekilas kertas itu tidak tampak tulisannya. Tapi ketika kita terawangkan ke arah cahaya, tiba-tiba muncul tulisannya. Tertulis: surat Mahkamah Bangil, Indonesia, Jawa Timur. Lagi-lagi menggunakan aksara Arab Pegon.

Dan yang paling menarik dari semua itu adalah: ada sebuah azimat. Atau bisa disebut juga: Rajah. Azimat itu ditulis dengan perpaduan bahasa Arab dan bahasa Jawa. Dengan gaya tulisan Arab Pegon tentunya. Dilihat dari model rajah tersebut, sepertinya rajah itu mengandung tawassul doa agar dimudahkan pergi haji dan umrah.

Banyaknya kitab-kitab menarik yang berbahasa Nusantara, dengan menggunakan tulisan Arab Pegon, menjadi sebuah bukti kuat. Bahwa semenjak dahulu antara Arab (terutama Hadhramaut, lebih spesifik lagi kota Tarim) dan wilayah Nusantara memiliki hubungan historis yang amat erat. Ada banyak poin-poin penting yang bisa kita kaji di sini. Di antaranya:

Pertama, pada era sebelum 100 tahun yang lalu, atau bahkan 50-an tahun yang lalu, penulisan bahasa Indonesia masih banyak menggunakan aksara Arab Pegon. Dan itu sampai menjadi tren-gaya yang dipakai majalah level nasional. Tidak memakai tulisan latin a-b-c-d seperti yang kita kenal saat ini, melainkan masih menggunakan Arab Pegon. Kemungkinan besar karena masyarakat pribumi saat itu lebih terbiasa dengan tulisan Arab Pegon yang identik dengan bahasa Melayu. Dibanding tulisan latin abcd yang identik dengan bahasa Inggris, atau juga Belanda.

Kedua, keberadaan kitab-kitab karya ulama Nusantara di tanah Hadhramaut ini, seperti karya mufti Betawi itu, mengisyaratkan betapa kuat hubungan santri-ulama, atau jalinan murid-guru antara Nusantara dan Hadhramaut. Terlebih jika karya itu berbahasa Melayu, bahkan berbahasa Jawa. Itu menandakan bahwa banyak pemuka agama Hadhramaut yang demi dakwah Islam, mereka mempelajari budaya dan bahasa masyarakat setempat, dalam hal ini tanah Nusantara.

Ketiga, kita juga bisa melihat pengaruh tokoh-tokoh Hadhramaut di masa kemerdekaan. Peran para pejuang berdarah Arab-Hadhramaut yang ikut di barisan terdepan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Seperti Habib Sultan Syarif Abdulhamid II, pencipta lambang Garuda. Habib Husein Mutahhar, pendiri paskibra dan pencipta lagu Merdeka. Abdurrahman (AR) Baswedan, seorang diplomat pertama yang berhasil mendapatkan de jure dan de facto untuk kemerdekaan Indonesia dari Mesir. Dan masih banyak lagi.

Keempat, kita kembali ke masa yang lebih jauh. Yakni masa periode para tokoh Walisongo. Dalam versi yang kuat, walisongo -yang merupakan pendakwah Islam tersukses di Nusantara- adalah para sayyid keturunan Baalawi dari Hadhramaut Yaman. Lebih tepatnya: keturunan dari marga Adzmatkhan. Yang singgah di tanah India terlebih dahulu. Kemudian anak-anak terbaik mereka melanjutkan dakwahnya ke wilayah Nusantara.

Rentetan sejarah Islam di Nusantara itu jelas memiliki hubungan kuat dengan Hadhramaut sebagai asal-usulnya. Dimulai era Walisongo beberapa abad silam, dilanjutkan para sayyid yang berdakwah melalui lingkup kerajaan --sebab terbukti banyak sekali raja-raja di Nusantara yang berlatar belakang sayyid keturunan Hadhramaut-, lalu sayyid yang berdakwah melalui pesantren, seperti Sayyid Sulaiman Basyaiban pendiri ponpes Sidogiri, sampai para sayyid yang ikut berjuang demi kemerdekaan bangsa Indonesia.

Hubungan erat antar dua bangsa besar ini tentu telah terjalin panjang dan begitu lama. Dan hingga kini jejaknya masih terasa. Dalam hal amaliyah ibadah misalnya. Seperti maulid, tahlil, istighatsah, pembacaan ratib dan semacamnya. Itu semua banyak diadopsi dari Hadhramaut. Bahkan cara berpakaian antara santri Nusantara dan masyarakat Hadhramaut pun memiliki kemiripan. Dari pecinya, baju kokonya, serban imamahnya, hingga model sarungnya.

Kini, ribuan santri Nusantara, -yang mencakup Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan sekitarnya-, kembali menuntut ilmu di tanah asal usul pendakwahnya. Di tanah Hadhramaut Yaman. Mengais lagi kepingan-kepingan berkah. Seraya berterima kasih. Kepada mereka yang telah mengenalkan Islam pada nenek moyangnya.

Itu semua tak lain demi mempelajari kembali dakwah yang indah. Yang terhubung muttasil secara turun temurun dari kakek moyang mereka: Baginda Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya.
.

Azro Rizmy,
Tarim, Senin, 22 Februari 2021 M.
10 Rajab 1442 H.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Sanad Tertinggi di Muka Bumi