Ikhlas Belajar, Belajar Ikhlas dan Bagaimana Memanipulasi Niat
"Kalau niatmu mencari ilmu untuk bersaing, berbangga diri, mengalahkan kawan, dan mencari perhatian masyarakat, maka sebetulnya kau justru sedang berupaya merobohkan agama dan merugikan dirimu sendiri.
Namun jika niat dan tekadmu murni karena Allah dan mencari petunjuk hidayah-Nya, maka berbahagialah, selama kau berjalan dan berjuang, sayap-sayap malaikat selalu menaungimu, dan jutaan ikan-ikan di laut senantiasa memintakan ampunan untukmu".
Teguran Imam Ghazali itu ada di halaman pertama. Bahkan masih di awal muqaddimah kitabnya yang berjudul Bidayatul Hidayah. Tanpa basa-basi. Langsung menampar para penuntut ilmu tepat di wajah mereka. Demi menyadarkan, dan membangunkan mereka dari tidur lelapnya.
Meluruskan niat dalam mencari ilmu itu penting, dan memang sulit. Entah ilmu agama ataupun ilmu umum. Salah niat sedikit saja bisa mengubah hal istimewa menjadi tak berharga, dan hal mulia menjadi hina.
Belajar di sekolah kejurusan, seperti multimedia, teknik mesin dan keperawatan, sulit sekali jika bersih dari niatan ingin menjadi designer, ahli mesin dan perawat. Begitu pula dengan kuliah di perguruan tinggi. Selalu saja muncul niat mencari ijazah dan gelar, atau juga berniat menjadi profesi tertentu di kemudian hari.
Lebih-lebih kuliah di luar negeri. Apalagi kuliah jurusan agama di Timur Tengah. Atau sebut saja kuliah di Tarim, Yaman atau di Cairo, Mesir. Apa motivasinya? Selain karena memang kualitas pendidikannya relatif tinggi, namun bisakah niat belajar tanpa ada pikiran iming-iming ijazah internasional dan gelar B.Sc, Lc, MA atau Ph.D, yang dengan gelar-gelar itu, masyarakat bisa terkesima dan memandang eksistensimu?
Tidak menutup kemungkinan, selain sekolah kejurusan dan perkuliahan pun juga berpotensi terganggu dalam urusan niat. "Nyantri" di pondok salaf di Tarim atau di Makkah misalnya, pun bisa keliru tujuan utamanya. Bisa saja: niat nyantri di Tarim-Makkah karena ingin dikata alumni Tarim-Makkah, niat ngaji di pesantren Habib Fulan atau Syekh Fulan agar pulang nanti dikenal sebagai muridnya Habib Fulan atau Syekh Fulan, lantas hal itu bisa menjadi acuan untuk mencari nama di mata masyarakat.
Sekolah, kuliah atau nyantri dengan niatan mencari ijazah, gelar akademis, pekerjaan, meraih kesan "alumni Tarim", "alumni Makkah", murid 'Habib Fulan' atau 'Syekh Fulan' jika dijadikan sebagai tujuan utama, maka jelas keliru, dan harus diluruskan.
Tapi jangan khawatir. Kita yang terlanjur mempunyai niat sedemikian rupa, dan sulit sekali untuk melepaskan dari pikiran-pikiran 'negatif' itu, masih memiliki kesempatan untuk menjadi orang ikhlas.
Dalam diskursus Tasawuf, kriteria ikhlas memiliki beberapa tingkatan. Level tertingginya adalah ikhlas murni karena Allah tanpa mengharapkan hal-hal lain sama sekali.
Melakukan suatu amalan dengan niat mengharap hal lain yang datangnya dari Allah, juga masuk kategori ikhlas, meskipun bukan level tertinggi. Seperti membaca surat Al-Waqiah dengan niatan agar rezekinya lancar, sembari menyadari bahwa Allah-lah yang mengabulkannya.
Tak perlu gusar dengan pikiran mencari ilmu demi mendapatkan ini-itu, menjadi ini-itu, yang masih saja berkutat di kepala kita. Tugas kita adalah: tidak menjadikannya sebagai tujuan utama.
Niat-niat itu jadikan sebagai wasilah (perantara). Dan pastikan tujuan utamanya tetap lillahi ta'ala, atau hal baik yang ujungnya adalah lillahi ta'ala. Kaidah fikih wasail berkata: Lil Wasail hukmul Maqasid, wasilah atau perantara memiliki hukum yang sama dengan tujuan utamanya.
Belajar di sekolah kejurusan agar nantinya bisa mendapat pekerjaan sesuai jurusannya, lalu dengan pekerjaan itu dia bisa membantu dan membahagiakan orang tua, serta bisa menafkahi keluarga. Bukankah itu tolabul ilmi yang juga masuk kategori birrul walidain? Pekerjaan halal pun bukankah masuk keutamaan hadits Nabi "tholabul halali jihadun"? (Mencari harta halal adalah jihad).
Begitu pula dengan kuliah di perguruan tinggi. Niatnya agar lulus dapat ijazah dan gelar, lalu menjadi profesi sesuai jurusannya. Belajar ilmu kedokteran, misalnya, dan berprofesi sebagai dokter. Hukumnya adalah fardhu kifayah. Dalam arti: jika dalam suatu masyarakat tidak ada satu pun yang berkecimpung dan tidak ada yang ahli di bidang itu, maka semuanya berdosa.
Kiaskan pula jurusan teknik, ekonomi, astronomi, ilmu politik dan semacamnya. Suatu bangsa harus mandiri dan punya sosok ahli dalam bidang-bidang itu. Belajar ilmu-ilmu tersebut dan menjadi profesi sesuai bidangnya, hukumnya fardhu kifayah. Pahalanya lebih besar dibanding level sunnah.
Dengan ijazah akademik, kita juga bisa memiliki kesempatan belajar sepanjang hayat. Ijazah S1 (sarjana/bachelor) adalah tiket untuk lanjut belajar di S2 (magister/master). Ijazah S2 untuk lanjut S3 (doktoral). Ijazah S3 untuk lanjut menulis riset makalah ilmiah, menuju level Guru Besar atau profesor. Di level profesor pun tidak berhenti belajar. Masih selalu membimbing skripsi S1, tesis S2 dan disertasi S3.
Gurunda Dr. Habib Abubakar Al-Masyhur Al-Adeny sering menyinggung soal dunia perkuliahan. Yang pada intinya: kuliah, gelar dan ijazah pada zaman ini adalah wasilah (perantara). Ambil wasilah itu, gunakan untuk tujuan yang mulia.
Teruntuk kuliah jurusan agama, gelar dan ijazah adalah wasilah untuk melanjutkan ngaji di pasca sarjana dan dengannya pula kita bisa mengajar di dunia akademisi. Dengan mengajar para mahasiswa dan para akademisi umum, kita bisa mengenalkan indahnya ajaran Islam secara intelektual dan spiritual. Bukankah perguruan tinggi juga butuh sosok dosen agama yang menyandang gelar akademik, mumpuni secara keilmuan dan memiliki sanad muttasil dengan Rasulullah Saw?
Sebutan Alumni Mesir, Alumni Tarim, Murid Habib Fulan, Santri Kiai Fulan yang akan disandang, dan mendapatkan nama baik di mata masyarakat, juga jadikan wasilah. Karena dengan hal itu, kau dihargai banyak orang, ucapanmu mudah didengar, lantas mudah bagimu untuk menyampaikan ajaran agama, dan mengajak masyarakat kepada hal kebaikan.
رب عمل صغير تعظمه النية ، ورب عمل كبير تصغره النية
Banyak amal perbuatan kecil menjadi bernilai besar karena niat baik. Dan sebaliknya, banyak amalan besar menjadi bernilai kecil karena niat yang salah.
Memperbaiki niat dalam belajar itu penting. Tapi bukan berarti harus berhenti belajar ketika niat masih belum benar. Teruslah belajar, dan berusahalah ikhlas, murni karena Allah. Jika tidak bisa, maka arahkan tujuan-tujuan dan "bonus-bonus" belajar itu pada hal-hal besar yang ujungnya adalah kebaikan karena Allah. Karena, jika kita tidak mampu murni ikhlas di awal, setidaknya kita masih punya niat baik di akhir ujungnya.
Azro,
Tarim, 22 Januari 2022
47 jam sejak internet Yaman putus skala nasional
MasyaAllah😓💖
BalasHapusbismillah, nawaina kama nawa ashlahusshalihin wa aslafunasshalihun
BalasHapusAlhamdulillah... Karya ini sekurang-kurangnya dapat membantuku menjawab jalanku yang sempat terhenti, karena takut jatuh untuk kedua kalinya. pada akhirnya aku faham selama ini aku terlalu fokus pada maqasid tanpa peduli adanya wasail.
BalasHapusIzin share ya. Jazakallah khair
BalasHapusMasyaAllah..izin share ya
BalasHapusjazakallah sudah menulis blog seputar ini
BalasHapus