Idul Adha, Kurban dan Kisah Ketegaran Nabi Ibrahim As

Idul Adha bukan hari raya biasa. Idul Adha tak kalah besar dibanding hari raya Idul Fitri. Di momen Idul Adha ini setidaknya ada dua seremonial ibadah agung. Haji, dengan fenomena berkumpulnya jutaan manusia dari penjuru dunia di kota Mekkah. Dan kurban, dengan fenomena persembahan hewan ternak untuk disembelih lillahi ta'ala dan dagingnya dibagikan pada sesama. Dan dua ibadah agung ini oleh Islam diimplementasikan dari kisah agung Nabi Ibrahim As dan putranya, Nabi Ismail As.

Ada pelajaran istimewa di balik kisah kurban. Kisah di mana Nabi Ibrahim diuji oleh Allah untuk menyembelih putra tersayangnya. Perintah ilahi itu datang melalui mimpi. Mulanya Nabi Ibrahim bimbang. Namun mimpi yang serupa selalu terulang dalam tidurnya hingga tiga kali. Mimpi para nabi adalah hal yang haq, adalah wahyu dari Allah. Tidurnya para nabi hanya tidur secara mata, bukan tidur hati. Nabi Ibrahim pun mantap dan meyakini kewahyuan mimpinya itu.

Tentu ini ujian yang luar biasa berat. Nabi Ibrahim lama menikah tak kunjung mendapatkan buah hati. Menanti dengan penuh sabar dan harapan. Bertahun-tahun, belasan tahun, bahkan puluhan tahun lamanya. Hingga di usia 86 tahun yang terbilang cukup tua itu, Allah baru menjawab doanya, dan mengkaruniakan seorang anak bernama Ismail, dari rahim istrinya yang bernama Siti Hajar. Sungguh kebahagiaan tiada tara. Seperti mendapati oase dengan sumber air segar di tengah padang pasir luas.

Ismail kecil mulai tumbuh besar. Nabi Ibrahim melihatnya sebagai anugerah yang amat istimewa. Anak itu tumbuh menjadi semakin tampan, semakin pintar, semakin tampak berbakti kepada ayah-ibunya. Kebahagiaan hidup bersama sang buah hati itu senantiasa menemani hari-hari Nabi Ibrahim As. Di puncak kebahagiaan dan kecintaan pada anaknya itu, Allah uji Nabi Ibrahim As. Seolah-olah Allah berkata, mana yang lebih kau cintai, Aku ataukah anak semata wayangmu itu?

Pada situasi yang amat berat itu, Nabi Ibrahim mulai membicarakannya pada anaknya, dengan pembicaraan seorang ayah kepada buah hatinya, dengan dialog yang keluar dari hati, dan sampai pula ke hati.

"Duhai anak tersayangku, aku bermimpi aku menyembelihmu, bagaimana pendapatmu, Nak?" Ujar Nabi Ibrahim kepada Ismail kecil, putra semata wayangnya, dengan nada penuh kasih sayang.

Mendengar itu, Ismail kecil menjawab dengan lugas tanpa ragu. "Wahai Ayahanda, lakukan apa yang telah diperintahkan! Ayah akan mendapatiku sebagai anak yang tegar nan sabar, insyaallah".

Pada dialog itu, Nabi Ibrahim sebagai ayah memberikan ruang berpendapat kepada anaknya. Tidak memaksa, tidak pula memerintah. Begitu pula putranya, Ismail. Anak sekecil itu, masih baru menginjak usia 13 tahun, tanpa ragu, tanpa takut, langsung menjawab dengan jawaban lugas. Bukan sekedar "lakukan apa yang Ayah inginkan", tapi tegas mengatakan "lakukan apa yang diperintahkan, Ayah!", jawaban yang menguatkan hati ayahnya, dan juga menegarkan hatinya sendiri.

Singkat cerita, ketika eksekusi penyembelihan hendak dilakukan, Nabi Ibrahim membaringkan anaknya, lantas Ismail kecil itu berkata untuk permintaan terakhirnya:

"Wahai Ayah, ikatlah tubuhku, dan eratkan talinya, agar tubuhku nanti tidak kejang-kejang".

"Ayah, gulung lengan baju Ayah dan ikatlah, jangan sampai ada bercak darahku menciprati dan membekas di baju Ayah, lantas membuat Ibu menangis histeris melihatnya".

"Ayah, palingkan aku dari wajahmu, agar Ayah tak menatap wajahku, lantas timbul rasa kasihan padaku. Dan aku tak ingin melihat langsung sebilah pisau itu Ayah, aku tak ingin merasa panik dan ketakutan".

"Ayah, tajamkan pisaunya, dan percepatlah gerakan pisau itu di leherku, agar aku lebih ringan merasakan sakitnya kematian".

"Ayah, jika nanti Ayah bertemu Ibu, sampaikan salamku kepada beliau. Dan jika Ayah ingin memberikan gamisku pada Ibu, maka berikan pada beliau, barangkali gamisku ini bisa menjadi penghibur hatinya."

Sungguh, dialog yang sangat luar biasa. Ucapan anak sekecil itu telah memancarkan makna ketegaran hati dan kesabaran, yang dibungkus dengan rasa kasih sayang.

Dengan menguatkan hati, Nabi Ibrahim bersiap mengeksekusi. Pisau oleh beliau ditempelkan di leher sang buah hati. Namun saat itulah keajaiban ilahi muncul. Tubuh Ismail kecil oleh Allah diganti dengan domba besar yang putih bersih tak ada cacatnya.

"Allahu akbar, Allahu akbar!", para malaikat meneriakkan suara takbir.

"Laailahaillallah huwallahu akbar, Allahu akbar walillaahil hamd", Nabi Ibrahim menyahutnya dengan kalimat tauhid, takbir dan hamdalah.

Allah pun berfirman, "wahai Ibrahim, kau telah membenarkan mimpi wahyumu. Demikianlah Aku membalas kebaikan orang-orang yang berbuat baik. Ini adalah ujian yang nyata. Salam sejahtera untukmu wahai Ibrahim". [Sumber: QS As-Shaffat: ayat 100-112, Tafsir al-Baghawi]

Dengan ini, totalitas tunduknya Nabi Ibrahim As kepada Allah Swt telah teruji dan terbukti. Nabi Ibrahim sangat mencintai anak semata wayangnya melebihi apapun, namun Ibrahim lebih memilih Allah yang tentu jauh lebih mencintai hambaNya, dan berhak dicintai oleh hamba-hambaNya.

Totalitas kesabaran Ismail kecil pun juga sangat mengagumkan. Usia masih 13 tahun namun ketaatan dan kebaktiannya kepada orang tua sangatlah luar biasa. Kebijaksanaan dan kecerdasannya telah menghiasai perangai bocah seusia itu.

Allah pun membalas kehebatan Nabi Ibrahim dengan lahirnya Ishaq dari rahim Siti Sarah yang juga menginjak usia senja setelah puluhan tahun mengidamkan seorang buah hati. Dan Allah pun memberi kemuliaan pada Nabi Ismail, bahwa, suatu saat nanti, akan lahir dari anak turunnya, seorang manusia sempurna, yang dinanti-nantikan kemunculannya oleh manusia sejagat raya, yang akan menjadi nabi terakhir untuk seluruh umat manusia. Dialah Sang Baginda Nabi Muhammad Saw.

Kisah ini pun diabadikan oleh Islam. Selalu diperingati pada setiap tahunnya, sejak lebih dari 1400 tahun yang lalu, sampai tahun ini, dan hingga ratusan atau ribuan tahun ke depannya. Kisah dua nabi sebagai ayah dan anak itu akan abadi. Senantiasa dipelajari dan direnungi. Dan akan selalu menjadi teladan bagi siapa pun sepanjang masa. Kita pun bisa menjadi sosok "Ibrahim" di zaman milenial ini, sedangkan harta, tahta, jabatan, dan semua hal duniawi yang kita cintai menjadi "Ismail"-nya. Berani berkurban terhadap apa yang kita cintai, maka Allah pun akan memberikan gantinya yang lebih besar dan lebih kita cintai. Sebab sudah menjadi jaminan, bahwa Allah tak kan mungkin menyia-nyiakan perjuangan hambaNya, walau sekecil apapun itu.

Azro Chalim,
Surabaya, 26 Juni 2023

Komentar

  1. Suwun gus, izin pake materinya untuk kajian

    BalasHapus
  2. Semangat trus Gus,
    Sangat membantu sekali 🙏😊🙏

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sanad Tertinggi di Muka Bumi

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru