Ketika Abu Lahab Bergembira Atas Kelahiran Baginda Nabi

Adalah Baginda Nabi Muhammad Saw, manusia istimewa yang dijanjikan Tuhan. Dinanti-nantikan kelahirannya oleh manusia di penjuru jagat raya. Manusia sempurna secara fisik dan akhlaknya, sang juru selamat dan penegak keadilan di seluruh dunia. Taurat dan Injil pun juga turut menjanjikan kemunculannya.

Malam kelahirannya banyak terjadi hal-hal yang luar biasa. Kota Mekkah yang semula gersang tiba-tiba menjadi subur tanahnya. Api abadi sesembahan kaum Majusi tiba-tiba padam setelah 1000 tahun lebih selalu menyala. Danau Sawa di Persia surut airnya hingga kering kerontang. Istana Kisra tergoncang, kekaisaran agung yang kerap berbuat zalim itu 14 balkon kastilnya roboh. Semua kejadian itu disadari banyak orang sebagai pertanda manusia agung telah dilahirkan.

Sayyidah Aminah, ibunda Baginda Nabi, ketika melahirkan, melihat sinar cahaya yang keluar dari perutnya. Bayi yang baru ia lahirkan itu sangat tampan, bola matanya indah, lahir dalam keadaan sudah tersunat, bersujud, dan kepala bayi itu menengadah ke langit.

Tsuwaibah seorang budak wanita yang melihat langsung kejadian itu, berlari-larian ingin segera mengabarkan berita gembira yang baru ia saksikan. Pertama menuju Sayyid Abdul Muthalib, ia kabarkan atas kelahiran cucunya yang sangat istimewa. Lalu kepada tuannya, Abu Lahab, ia kabarkan dan ceritakan hal-hal menakjubkan yang baru disaksikannya secara langsung.

Mendengar kabar itu, Abu Lahab teramat bahagia. Ia menghadiahkan kemerdekaan pada Tsuwaibah sebagai bentuk kebahagiaan atas kelahiran putra almarhum adiknya, Sayyid Abdullah itu. Dan memang, tradisi Arab kala itu, jika seseorang mendapat kabar gembira, maka ia balas dengan kebaikan yang menggembirakan pula.

Abu Lahab amat mencintai Muhammad kecil itu. Apalagi Muhammad yang tumbuh besar itu semakin tampak keindahan akhlaknya, kecerdasannya, kejujurannya, keamanahannya dan ketampanannya. Tak tanggung-tanggung, Abu Lahab pun menjodohkan dan menikahkan dua putranya, yakni Utbah dan Utaibah, dengan dua putri Muhammad, yakni Ruqayyah dan Ummu Kultsum.

Namun saat baru saja berbesan dengan Muhammad, Abu Lahab mendengar kabar bahwa Muhammad mendeklarasikan diri sebagai nabi dan rasul. Bukannya ia mendukung dan beriman pada Nabi Muhammad, Abu Lahab malah justru muntab dan kufur terhadapnya. Ia gengsi dan gumede ketika pihak besan sekaligus keponakannya itu menjadi manusia pilihan yang diutus oleh Allah Swt. Abu Lahab pun lantas memaksa agar dua putranya menceraikan dua putri Rasulullah Saw. Diriwayatkan, bahwa perceraian itu terjadi sementara dua putri Nabi masih “belum tersentuh”.

Hari terus lewat, kebencian Abu Lahab semakin menjadi-jadi. Ia bersama istrinya menjadi pimpinan yang memprovokasi, menfitnah serta mencaci maki Nabi Muhammad Saw di depan kaum Quraisy. Hingga Allah pun menurunkan firman-Nya, surah Al Lahab, berisi kemurkaan-Nya sebagai reaksi kelakuan tak senonoh Abu Lahab itu.

Dalam riwayat Shahih Bukhari dan beberapa sumber hadits lainnya, disebutkan bahwa ketika Abu Lahab wafat, Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib yang merupakan saudaranya, bermimpi bertemu Abu Lahab. Ia melihatnya dalam keadaan yang buruk dan mengenaskan. Ditanyakan, “Saudaraku, bagaimana kabarmu?”. Abu Lahab menjawab, “ Kabarku seperti yang kau lihat, namun setiap hari Senin siksaanku diringankan, sebab di hari itu aku pernah memerdekakan Tsuwaibah”.

Ini adalah poin yang menarik. Meskipun disadur dari mimpi Sayyidina Abbas bin Abdul Muthallib, namun kisah ini sengaja dimasukkan oleh Imam Bukhori ke dalam kitab Shahih-nya. Secara tidak langsung, Imam Bukhori menekankan bahwa effort kegembiraan Abu Lahab atas kelahiran Nabi itu ternyata “tidak dilupakan” oleh Allah Swt. Bahwa orang kafir selevel Abu Lahab, yang secara frontal menentang dan dimurkai Allah melalui surah Alquran-Nya saja, diringankan siksaannya berkat bergembira atas kelahiran Nabi. Bagaimana jika yang bergembira itu adalah seorang muslim, dan selalu bergembira sepanjang tahun bahkan seumur hidupnya?

Oleh karenanya, Imam Syamsuddin Ad-Dimasyqi berkata dalam syairnya:

إِذَا كَانَ هَذَا كَافِرًا جَاءَ ذَمُّهُ ... وَتَبَّتْ يَدَاهُ فِي الْجَحِيمِ مُخَلَّدَا
أَتَى أَنَّهُ فِي يَوْمِ الِاثْنَيْنِ دَائِمًا ... يُخَفَّفُ عَنْهُ لِلسُّرُورِ بِأَحْمَدَا
فَمَا الظَّنُّ بِالْعَبْدِ الَّذِي طُولَ عُمْرِهِ ... بِأَحْمَدَ مَسْرُورًا وَمَاتَ مُوَحِّدَا

Jika orang seperti Abu Lahab yang jelas-jelas kafir, dan dicela dalam surah Al-Lahab, serta kekal di neraka saja setiap hari Senin diringankan siksanya sebab ia bergembira atas lahirnya Nabi Muhammad Saw. Maka bagaimana jika yang bergembira adalah seorang yang sepanjang hidupnya bergembira atas lahirnya Nabi Muhammad Saw dan wafat dalam keadaan Islam?

Ekspresi kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad Saw tentu beragam dan bervariasi. Ada yang dengan memperbanyak shalawat, ada yang bersedekah lebih, ada yang mengadakan kajian sirah nabawiyah atau semacamnya. Perayaan maulid adalah satu di antara sekian banyak sarana dan ekspresi cinta kepada Baginda Nabi itu. Tentunya, mereka yang tak bermaulid pun punya cara tersendiri mengekspresikan cintanya. Bisa jadi yang tak bermaulid lebih besar cinta dan lebih dalam kerinduannya dibanding yang bermaulid. Bisa juga sebaliknya. Namun titik kesamaannya adalah: kita memiliki satu cinta yang sama, meski beragam ekspresi yang berbeda.

Kecintaan inilah yang akan mendekatkan kita kepada Baginda Nabi, apapun bentuk effort-nya. Sebab, tidaklah sempurna keimanan seorang mukmin, sehingga aku, kata Nabi, menjadi orang yang paling ia cintai, melebihi cintanya pada anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia.

Tak perlu berdebat soal hukum bermaulid. Bukan perkara wajib, bukan pula perkara haram yang keji. Namun yang pasti, Rasulullah tentu lebih bangga melihat umatnya bersatu, tanpa pandang apapun alirannya, dibanding mendapati sesama umatnya yang sibuk bertengkar, ribut dan saling caci maki.

Kesampingkan perbedaan. Fokuskan pada persatuan. Kesamaan kita jauh lebih banyak dibanding perbedaan. Sesama manusia, sesama muslim. Itu lebih dari cukup untuk alasan mengapa harus bersatu, bergandengan tangan, dan hidup harmonis tanpa cacian. Mari tegakkan kebhinekaan dan toleransi, lebih-lebih pada internal umat Islam sendiri. Cinta kita sama. Sama-sama cinta kepada Baginda Nabi, dan dengannya kita semua akan masuk surga membersamainya, dan selalu bahagia selama-lamanya. Insyaallah taala.

Azro Chalim,
Surabaya, 19 September 2024 M / 15 Rabiul Awwal 1446 H

Komentar

  1. tulisan yang selalu dinanti-nanti, terimakasi mas yai, semoga istiqomah

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sanad Tertinggi di Muka Bumi

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai