Senja Kota Tarim

Senja Kota Tarim

Tiap sore hari, kota Tarim, kota kecil seluas tiga kecamatan di Indonesia ini terlihat hidup dan ramai. Pancaran sinar matahari pun terlihat amat anggun, terbias indah di antara tebing-tebing wadi Hadramaut. Di saat seperti ini, udara musim panas tidak begitu panas, udara musim dingin pun tidak sedingin waktu pagi dan malam.

Pasar ramai pembeli. Anak-anak muda main bola di lapangan, ada juga yang nongkrong di pinggir jalan dengan motor modifnya, dan anak-anak kecil asyik bermain mainan tradisional entah apa namanya. Di mag-ha (warkop), orang-orang sepuh sedang menikmati senja dengan segelas syahi halib (teh susu). Banyak juga santri-mahasiswa yang berjalan menuju pesantren tahfidz Al-Aydrus atau Ubadah dengan mulut yang berkomat-kamit melantunkan hafalannya. Syahdu sekali suasananya.

Kota ini memperlihatkan keajaibannya saat adzan maghrib berkumandang. Sahut-sahutan suara adzan dari ratusan masjid amat menggema di antero kota, terpantul dari tebing sebelah utara dan tebing sebelah selatan. Iya, ada ratusan masjid di kota mungil ini, meskipun banyak di antaranya hanya seukuran musalla di Indonesia, dan tentunya hanya beberapa masjid saja yang digunakan untuk shalat jumat.

Sekejap saja, suasana kota ini berubah 180 derajat. Penduduk kota ini mulai berhamburan. Mulai dari orang-orang tua, anak muda sampai anak kecil berbondong-bondong menuju masjid terdekat. Toko-toko, warung makan, institusi, konter hape semuanya tutup. Bahkan pom bensin dan warnet pun ikut tutup. Semuanya pergi ke masjid. Seketika itulah jalanan kota Tarim menjadi sepi. Kota Tarim menjadi "kota mati".

Ambil contoh masjid Maher. Masjid yang baru berumur satu tahun ini selalu padat jamaah, tidak jauh beda dengan masjid lainnya. Namun kalau kita ingin bisa shalat maghrib di dalam masjid Maher ini, kita musti datang paling lambat saat adzan berkumandang. Umpama kita baru datang pas iqamah ya kemungkinan besar kita akan shalat di luar masjid.

Tikar-tikar pun digelar untuk jamaah di luar masjid. Dan kita akan dibuat takjub saat persediaan tikar yang satuannya bisa muat belasan jamaah itu tidak mencukupi jamaah yang membeludak. Mereka rela shalat di luar masjid tanpa tikar. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang berpakaian rapi dan akademis macam orang kantoran tapi jidat dan pakaian mereka langsung bersentuhan dengan kerikil-batu yang berdebu dan cukup kasar.

Begitulah mindset penduduk kota Tarim yang amat religius. Sunnah sudah menjadi budaya, penuh kesadaran tanpa pemaksaan maupun aturan. Di kota asal nenek moyang walisongo ini juga tak pernah terdengar berita kasus-kasus kriminal macam pemerkosaan, perampokan atau hanya sekedar perkelahian. Tak pernah kudengar. Semua hidup rukun dan tentram.

Tak heran jika banyak santri atau kyai-kyai di Indonesia ber-tabarruk dengan kota Tarim beserta penduduknya. Tahukah kita, arti dari tulisan "Darkah ya Ahlal Madinah, Ya Tarim wa Ahlaha" adalah bertawassul dan bertabarruk dengan penduduk kota Madinah, dan juga kota Tarim beserta penduduknya.

Kota Tarim yang juga berjuluk Al-Ashimah Ar-Ruhaniyah (pusat kota rohani) ini hampir seluruh penduduknya berlandaskan islam Ahlus sunnah wal jamaah madzhab fiqih Syafii, Aqidah Asy'ari dan bertasawuf yang santun dan moderat. So, kalau ada orang bilang lembaga pendidikan di kota Tarim ini beraliran islam garis keras dan agen radikalisme bisa dipastikan dia lagi kurang ngopi dan kurang piknik. Jewer saja kupingnya, biar dia melek dunia hehe.

بلاد طاب مسكنها وطابت * مباركة لها رب رحيم
فلو نظرت فلاسفة إليها * لقالوا جنة الدنيا تريم

Negeri yang tentram nan anggun * diberkahi oleh Tuhan yang maha kasih.
Andai para filosof melihat kota ini * niscaya mereka akan berkata "surga dunia adalah kota Tarim".

M. A. Azro Chalim, Santri Univ. Al-Ahgaff.
Tarim, 4 September 2016

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sanad Tertinggi di Muka Bumi

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai