Serba-Serbi Kuliah Pagi
Seperti biasa, rutinitasku tiap pagi pada semester terakhir di Al-Ahgaff ini adalah menikmati secangkir syahi halib (teh susu) ditemani sarapan roti-halawah ketika tak ada jadwal kuliah di jam pertama. Adik-adik kelas tampak berlalu lalang memulai aktifitas perkuliahan. Ada yang sarapan, ada yang persiapan berangkat. Ragaku hanya duduk stagnan di emperan depan dapur, tapi fikiranku tidak. Fikiranku berjalan, berlari hingga terbang kesana kemari menerka suasana asyik yang mungkin luput dari pandangan orang-orang.
Salah satu tangkapan fikiranku di pagi ini adalah gaya khas mahasiswa di tiap tingkatannya. Kulihat-lihat, model tingkatan kelas seorang mahasiswa di Al-Ahgaff ini ternyata bisa ditebak melalui kitab-kitab yang mereka bawa. Kusebut "kitab" (bukan buku) karena dalam kebiasaan masyarakat kita, penyebutan kitab adalah untuk buku bacaan berbahasa Arab atau buku pegangan suatu kepercayaan yang bersifat sakral. Sedangkan "buku" adalah literatur yang berbahasa Indonesia atau selain Arab.
Mahasiswa junior, tingkat dua atau tiga, bawaan mereka adalah kitab-kitab tebal seputar lintas mazhab yang lama kelamaan tangannya pun keberatan memikulnya. Tampak keren? Tunggu dulu. Di waktu yang bersamaan, kau akan lihat juga ada sekelompok mahasiswa yang berangkat kuliah hanya dengan membawa kitab kecil, tipis, fotokopian, atau bahkan tidak bawa kitab sama sekali. Mereka adalah mahasiswa tingkat akhir seperti kami. Kuliah tanpa bawa buku panduan, langsung memahami dan merangkum sendiri keterangan dosen secara mandiri.
Kalau yang bergaya hanya menenteng laptop dengan kabel charger yang bergelantungan di lengannya, mereka adalah mahasiswa pasca sarjana (magister), yaitu tingkatan mahasiswa paling -merasa- sibuk dan paling memiliki aura wibawa dibanding lainnya. Diskusi aktif di kelas, tugas makalah dengan referensi minimal sekian puluh kitab, sibuk sana-sini, adalah hal yang biasa mereka ceritakan pada kami para juniornya.
Ada dua gedung khusus untuk asrama mahasiswa. Saling berdekatan satu sama lain. Jarak masing-masing asrama ke kampus hanya kisaran beberapa puluh meter saja. Kalau meminjam istilah arek-arek Suroboyo; "sak pencolotan tok ae koen wes tutuk rek"; sekali loncat saja kau akan sampai. Dengan jarak sedekat itu, kita hanya membutuhkan setidaknya satu menit saja untuk sampai di gedung kuliah.
Pukul delapan pagi kuliah jam pertama dimulai. Terlambat sebentar saja kau akan dialfa. Mencoba alfa dua-tiga kali, kau akan terancam mahrum (tidak diperkenankan) mengikuti ujian semester alias langsung ke tahap remidi. Gagal satu mata kuliah saja di ujian remidi, mahasiswa tidak naik kelas, mengulang setahun dan membayar denda. Kejam bukan? Iya, kejam yang mendidik katanya.
Menurutku, sensasi pemandangan yang amat asyik terjadi di setiap pukul 07.59, satu menit sebelum pukul delapan tepat. Ratusan mahasiswa dengan gamis dan peci yang serba putih serentak memutihkan jalanan tanah-batu yang terjal. Orang berbondong-bondong melawan waktu untuk mengoptimalkan 60 detik yang tersisa. Aku? Hanya tersenyum melihat pemandangan kecil ini. Aku pun merasakan seperti mereka. Meskipun di pagi ini juga, masa studi bachelor kami hanya tinggal 6 minggu saja.
Tak ada yang tahu secara pasti apa yang akan terjadi setelah kelulusan nanti. Namun begitulah kehidupan ini terus berjalan. Kadang ada saatnya di satu waktu yang bersamaan, tetesan air mata yang mengalir di pipi dengan suara sesenggukannya, terjadi karena dua alasan yang ambigu. Satu bahagia, satu karena sedih. Bertemu untuk berpisah, dan berpisah untuk bertemu kembali. Tapi tenang kawan, semua kenangan indah yang telah kita jalani selama ini, suatu saat akan kita nikmati kembali bayangannya dengan kerinduan yang begitu anggun. Tak kan pernah hilang, dan akan terus ada sepanjang zaman. Bukankah begitu, kawan?
Azro,
Tarim, Kamis, 29 Maret 2018
*gambar kartun oleh Afif Abdul Halim, Magetan.
Allaah.. saya sebagai salah satu dari (pembaca) catatan mahasiswa tingkat akhir univ ahgaff terharu bacanya haha 😂 dan.... Salam Mumtaz
BalasHapusMumtaz jiddan yaa ustadzy
BalasHapusMemang ini lah hidup, bertemu untuk berpisah dan berpisah untuk bertemu
BalasHapus