Metode Dakwah Kontemporer Habib Abubakar dalam Fiqih Tahawwulat-nya

Prolog:
Islam adalah agama yang bersifat universal, datang untuk semua manusia apapun bangsa dan sukunya. Islam bersifat komprehensif yang menyeluruh pada segala aspek kehidupan, mampu menjawab segala problematika apapun yang terjadi di dunia ini, maka, tak ada satu pun permasalahan dalam kehidupan manusia kecuali ada hukum Islam di dalamnya. Islam juga  bersifat relevan yang bisa berjalan beriringan dan ajarannya selalu layak di manapun dan kapanpun. Oleh karenanya, setiap era atau generasi selalu saja ada cendekiawan-cendekiawan Islam yang lahir sebagai pembaharu dalam berbagai bidang keilmuan.

Adalah Gurunda Dr. Habib Abubakar bin Ali Al-Masyhur Al-Adeni, satu dari ulama abad 21 masehi yang menjadi pembaharu dalam pemikiran kontemporer. Selain pujangga yang nyaris setiap hari lahir syair-syair indahnya, Habib Abubakar juga merupakan penulis puluhan buku karya ilmiah kontemporer, terutama dalam bidang pemikiran Islam. Karya-karya fenomenalnya pun bahkan dijadikan sebuah fan ilmu tersendiri yang dikenal dengan ilmu Fiqih Tahawwulat.

Mengenal Fiqih Tahawwulat

Fiqih Tahawwulat, atau Fiqih Transformasi, adalah pemahaman agama seputar hal-hal yang berkaitan dengan transformasi kehidupan manusia, pergerakan alam semesta, perkembangan sains modern, hingga kejadian-kejadian mulai dari era sebelum terciptanya kehidupan hingga hari setelah kiamat nanti, baik dalam lingkup umat Islam, maupun seluruh umat manusia.

Ilmu ini disusun guna memperbaharui metode dakwah Islam untuk menghadapi berbagai problematika kontemporer dengan mengedepankan asas hikmah dan mauidhoh hasanah, dengan tetap menjaga hal-hal prinsipil agama yang bersifat final yang tak mungkin dirubah, serta tetap menjaga keautentikan ajaran agama melalui silsilah guru-murid yang tersambung hingga Rasulullah Saw. Ilmu ini dirancang untuk para pelajar atau dai pemula agar mampu bersikap bijak menghadapi tantangan medan dakwah, begitu pula untuk para akademisi yang bergelut dengan sains modern, agar tidak mengesampingkan peran agama dalam riset dan pemikirannya.

Empat Pilar Agama Menurut Fiqih Tahawwulat

Dalam Fiqih Tahawwulat, Arkanuddin atau Pilar Agama dengan arti hal-hal urgen dalam agama, ada empat. Pertama Islam, dengan kelima rukunnya: syahadat, salat, puasa Ramadan, zakat dan haji. Kedua Iman, dengan keenam rukunnya: iman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, hari akhir, dan qadha-qadar. Ketiga Ihsan, dengan aplikasi kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya, hingga ia beribadah seolah melihat Allah atau senantiasa menyadari bahwa Allah selalu mengawasinya. Keempat Alamatussa'ah atau mengetahui perihal hari kiamat dengan mengkaji tanda-tandanya.

Pembagian empat arkanuddin ini diintisarikan dari hadits Nabi yang dikenal di kalangan ulama dengan sebutan ummussunnah (induk hadits) yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya. Bahwa suatu ketika malaikat Jibril as. menyamar sebagai lelaki asing datang kepada Rasulullah Saw yang sedang duduk bersama para sahabatnya. Lelaki itu menanyai Nabi seputar apa itu Islam, apa itu Iman, Ihsan dan alamatussaah. Setiap kali Nabi tuntas menjawab, ia berkata “kau benar”. Para sahabat pun terheran, bagaimana seseorang bertanya lalu ia sendiri yang membenarkannya. Nabi Saw berkata: “Jibril datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian”. Hadits inilah salah satu dalil kuat bahwa hal-hal urgen dalam agama ini (arkanuddin) ada empat. yaitu Islam, Iman, Ihsan dan alamatussaah.

Fiqih Tahawwulat terfokus pada rukun keempat, yakni alamatussaah. Melalui ilmu ini, pelajar diantar untuk memahami perihal tanda-tanda kiamat dengan mengkaji perkembangan zaman dan bagaimana cara menyikapinya, serta tantangan dakwah di medannya. Dengan tiga fokus kajian: pertama, kajian spesifikasi era Rasulullah Saw (khususiyat marhalah istidlaliyah), kedua, kajian seputar ayat Alquran atau hadits yang berkisah tentang kejadian-kejadian yang akan datang (nusus istibaqiyah), ketiga, mengkaji ayat-hadits yang bercerita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, mulai dari kisah-kisah umat manusia sebelum Islam, hingga awal mula penciptaan alam semesta (nusus istiqraiyah).

Prinsip Dakwah ala Fiqih Tahawwulat

Dengan modal utama tiga aspek kajian itulah, Fiqih Tahawwulat yang disebut juga Fiqih Mutaghayyirat hadir untuk mengkaji solusi berbagai problematika kontemporer dan cara menyikapinya, serta metode dakwah dalam menghadapi tantangannya, dengan berpegang teguh pada tiga prinsip dakwah ala Fiqih Tahawwulat, yakni:

Hifdzul aidi minad dam (menjaga tangan dari pertumpahan darah),

Hifdzul alsinah minadz dzam (menjaga lisan dari caci maki), dan

Hifdzul qulub minal ham (menjaga hati dari ambisi duniawi).

Secara garis besar, dalam ilmu Fiqih Tahawwulat ada dua bab penting yang menjadi pokok andalannya. Yaitu Sunnah Mawaqif dan Sunnah Dilalah.

Sunnah Mawaqif adalah langkah dan cara Rasulullah atau salah satu Khulafaurrasyidin-nya dalam menyikapi suatu permasalahan, baik itu yang sesuai syariat maupun yang menyalahinya, dengan kelapangan akhlak dan penuh kebijaksanaan.

Seperti sikap Rasulullah dan cara berinteraksinya dengan para munafiq yang berada di lingkup kaum muslimin. Meskipun Rasulullah tahu dan mengerti satu persatu orang munafiq, tapi beliau tidak membunuh atau memeranginya, hal itu dilakukan agar tidak ada salah sangka kaum nonmuslim yang beranggapan bagaimana Rasulullah memerangi sahabatnya sendiri. Begitu pula sikap Rasulullah saat hari pembebasan kota Makkah (fathu makkah), bagaimana perlakuan Rasulullah kepada kaum musyrik Makkah yang lebih dari 20 tahun telah memeranginya dan menyiksa pengikutnya, tapi Rasulullah saat itu tidak membalasnya, justru langsung membebaskan dan memaafkan mereka secara cuma-cuma.

Juga Sayyidina Ibnu Abbas ketika dimintai fatwa. Seseorang datang kepada Ibnu Abbas, dan bertanya, apakah seorang pembunuh diterima taubatnya? (a lil qatili taubah?) Ibnu Abbas menjawab "iya". Lalu datang lagi orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama, apakah seorang pembunuh diterima taubatnya? Ibnu Abbas menjawab, "tidak, dia disiksa di neraka". Lalu para sahabat yang ada di sekitarnya menanyakan bagaimana bisa satu pertanyaan yang sama tapi jawaban Ibnu Abbas berbeda. Lantas beliau menjelaskan, bahwa orang pertama telah melakukan pembunuhan dan ingin bertaubat, sedangkan orang kedua berniat hendak membunuh.

Termasuk contoh Sunnah Mawaqif pula adalah sikap Imam Ali bin Abi Thalib karramallahuwajhah menerima sepenuhnya keputusan khilafah yang diberikan kepada selain dirinya, yakni Sayyidina Abu Bakar ra., Sayyidina Umar ra. dan Sayyidina Utsman ra., meskipun dalam satu versi Imam Ali-lah yang lebih berhak mendapatkan posisi itu. Namun demi tegaknya kestabilitas masyarakat dan maslahat kaum muslimin beliau bijak dalam mengikuti kekhalifahan tiga sahabat sebelumnya.

Juga putranya, Sayyidina Hasan bin Ali ra. rela melepas jabatan khalifahnya meskipun mayoritas umat muslimin saat itu telah berbaiat kepadanya. Dan Sayyidina Husein bin Ali ra. yang memilih keluar dari Makkah menuju Iraq tanpa ada niat berperang dan bertempur, meskipun beliau tahu betul dirinya akan terbunuh. Hal itu dilakukan agar meminimalisir keributan dan menjauhi terjadinya peperangan dan pertumpahan darah antar sesama kaum muslimin di tanah suci Makkah.

Adapun Sunnah Dilalah adalah ketentuan syariat yang mengatur sikap dan langkah dalam menghadapi problematika kontemporer yang belum pernah terjadi di zaman sebelumnya, dengan opsi melakukan suatu hal atau meninggalkannya, melalui kajian sikap dan langkah yang dicontohkan Rasulullah atau para khulafaurrasyidin-nya, baik secara eksplisit maupun implisit.

Hal itu dapat diaplikasikan dengan memandang hukum asli suatu problematika, disertai melihat sisi maqasid syariah dan juga konsekuensi dari problematika tersebut. Jika hal itu tidak ada hukum secara eksplisit dari syariat, tak ada perintah maupun larangan, maka bisa dilihat dari sisi maslahat dan mafsadatnya, juga konsekuensi atau dampak dari permasalahan itu, dengan diiringi sikap yang bijaksana dan adil dalam berpikir. Jika satu hal yang mulanya diperbolehkan, tapi andai difatwakan kebolehannya akan berpotensi muncul dampak negatif, maka seyogyanya ditutup pintunya, seperti apa yang dilakukan Ibnu Abbas saat menjawab pertanyaan orang kedua seputar taubatnya pembunuh. 

Dalam bab ini, Habib Abubakar juga membantah bahwa semua yang tidak ada atau tidak dilakukan pada zaman Rasulullah adalah bid'ah. Itu pemahaman yang keliru. Sebab agama Islam ini telah sempurna asas ajarannya. Maka hal-hal baru pada zaman setelah kenabian bisa dimasukkan ke dalam kaedah-kaedah umum syariat Islam. Adapun hal-hal baru atau kontemporer yang ternyata sesuai dengan langkah dan sikap Nabi serta khulafa-nya meskipun secara implisit, tidaklah bisa dimasukkan kategori bid’ah, bahkan Fiqih Tahawwulat tegas mengatakan bahwa hal itu masuk kategori sunnah yang disebut sunnah dilalah.

Misalkan langkah para ulama dalam merayakan momen maulid Nabi Muhammad Saw. Di dalamnya dikaji perjalanan hidup Nabi, perjuangannya, akhlaknya, kasih sayangnya, sifat terpujinya, hingga ketampanan fisiknya. Itu karena mereka melihat problematika umat Islam yang semakin lalai akan Nabinya, oleh ulama didekatkan kembali melalui acara semisal maulid itu hingga tumbuh dalam benak mereka kecintaan, kerinduan, dan semangat dalam mengikuti jejak Rasulullah Saw.

Termasuk Sunnah Dilalah pula, sikap terhadap kemajuan dan kecanggihan teknologi, serta media-media modern yang tumbuh pesat di zaman ini. Bahwa Fiqih Tahawwulat mengajarkan pentingnya menyikapi hal tersebut dengan bijak, yakni dengan  memanfaatkan kecanggihan itu untuk media khidmat dalam berdakwah demi agama.

Fiqih Tahawwulat, Agama dan Sains

Dalam ilmu Fiqih Tahawulat, Habib Abubakar juga memasukkan satu bab tersendiri yang konsen membahas bagaimana posisi agama menghadapi pesatnya perkembangan sains modern. Baik dari segi kebudayaan, peradaban, sosiologi, biologi, astronomi dan lain sebagainya. Bahwa, umat Islam seyogyanya mengambil manfaat dan konten positifnya, meski itu hasil penelitian orang nonmuslim. Sebab, agama Islam tak kan pernah bertentangan dengan fakta sains. Justru Islamlah yang kerap menampakkan mukjizatnya melalui fakta-fakta yang baru disadari oleh ilmuwan setelah belasan abad lamanya. 

Begitu pula dengan penelitian histori alam semesta. Terlebih kajian-kajian metafisika yang sukar dianalalisa oleh akal manusia, yang hasilnya hanya berupa teori maupun asumsi. Baik berkaitan dengan masa lampau, maupun masa yang akan datang. Seperti sejarah terciptanya alam semesta, awal-mula hidup manusia, hingga masa setelah kematian dan hari kiamat. 

Akal manusia tidak cukup dan tidak mampu menerka hal-hal bersifat metafisika tersebut. Untuk itu, perlu hadir sumber informasi yang dapat dipastikan 100% kebenarannya. Adalah agama Islam, dengan sumber Alquran yang hingga sekarang terjamin keautentikannya. Tak ada distorsi dan tak ada yang mampu menandinginya dalam segala aspek, baik segi bahasa, ilmiah maupun mukjizat lainnya. Fiqih Tahawwulat tegas mengedepankan Alquran dibanding apa yang disebut hasil sains. Karena sains sendiri banyak yang masih sebatas teori atau asumsi yang masih perlu dikritisi, bahkan tak jarang sains terdahulu berkontradiksi dengan riset sains terbaru. Sedangkan Alquran tak pernah bertentangan dengan riset-riset fakta yang ada dalam sejarah umat manusia.

Epilog

Sebetulnya, ajaran Fiqih Tahawwulat dipandang dari sisi substansi dan penerapannya, telah ada sejak zaman Nabi, para sahabatnya dan ulama salaf pengikut mereka. Ilmu ini telah mereka praktekkan dalam menghadapi problematika. Hanya saja, ajaran ilmu ini oleh umat Islam zaman sekarang mulai kurang diperhatikan urgensinya, padahal di zaman inilah Fiqih Tahawwulat lebih diperlukan untuk diterapkan kembali. Karenanya, oleh Habib Abubakar, ajaran ini disusun kembali hingga rapi menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Sama halnya dengan sejarah munculnya fan-fan ilmu syariat yang ada. Semisal ilmu Nahwu, bahwa masyarakat Arab dahulu telah mempraktekkan ajaran Nahwu hingga mendarah daging dalam kehidupan mereka. Kemudian terjadi kemerosotan hingga perlu adanya penyusunan kembali tata bahasa menjadi sebuah fan ilmu tersendiri. Begitu pula ilmu Usul Fiqih, ajarannya telah dipraktekkan para imam mazhab terdahulu. Namun kebutuhan untuk memahami ilmu ini di era setelahnya makin mendesak, lantas ajaran ini pun dibukukan menjadi sebuah fan ilmu yang rapi.

Perbincangan seputar Fiqih Tahawwulat dalam ulasan kali ini sebetulnya hanyalah satu tetes dari luasnya samudera. Karena yang Penulis bahas hanyalah satu-dua bab dari fan ilmu ini. Fiqih Tahawwulat cukup luas pembahasannya, bahkan Habib Abubakar telah menuliskannya hingga mencapai belasan buku. Untuk pengenalan Fiqih Tahawulat saja ada buku Nubzah Sughra sebagai pijakan awal, lalu dilanjukan buku Al-Iqlid, kemudian Talid wa Tharif, Usus Munthalaqat dan masih banyak lagi. Wallahu ta’ala a’lam.


Azro Rizmy,
Tarim, 20 Desember 2019

Komentar

  1. Alhamdulillah Gus, jazaakumullah khayr atas sharingnya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sanad Tertinggi di Muka Bumi

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru