Moderasi Islam Indonesia dalam Sorotan


Oleh: Mas Agus Azro Chalim, Lc (Master Candidate, Al-Ahgaff University, Yemen, Rais Syuriah PCI NU Yaman)

Prolog

Baru-baru ini, isu radikalisme berkedok agama kembali muncul dan menjadi sorotan di dunia internasional, tak terkecuali di tengah masyarakat Indonesia. Hal itu tampak sekali dari keramaian dan perdebatan warganet di dunia maya, atau para aktivis dan akademisi pada diskusi-diskusi ilmiah di berbagai kampus perguruan tinggi, hingga munculnya kebijakan-kebijakan pemerintah demi menanggulangi gerakan radikalisme.

Sebetulnya, maraknya teror dan anarkisme yang mengatasnamakan agama bukanlah hal baru dalam sejarah peradaban manusia. Berabad-abad yang lalu, aksi-aksi sadis dan tak manusiawi sudah banyak terjadi, terlebih aksi yang membawa nama ajaran agama. Ambil contoh pada abad 7 Masehi di wilayah Syam dan Mesir. Di masa itu kerap terjadi perselisihan dan permusuhan antara Yahudi dan Kristen. Kaum Yahudi memulainya dengan pembantaian kaum Kristen secara sadis dan brutal disertai perobohan bangunan gereja. Lantas muncul reaksi, para pendeta Kristen mengumumkan perang terhadap Yahudi  sebagai bentuk pembalasannya. Terjadilah peperangan pelik yang melibatkan ribuan manusia menjadi korbannya.

Dewasa ini, isu radikalisme atas nama agama tersebut, terutama aksi bertopeng Islam, muncul kembali dan mencuat di permukaan. Hal itu dimulai dari terjadinya tragedi teror 11 September 2001 atas gedung WTC Amerika Serikat yang memakan ribuan nyawa manusia, dan sejak saat itu Islamlah yang sering disudutkan dan menjadi sorotan. Ditambah lagi, banyaknya perang saudara di negara-negara mayoritas muslim di Timur Tengah, yang lagi-lagi pemain utamanya mengatasnamakan diri mereka pejuang Islam. Padahal sebenarnya, agama apapun, terlebih Islam, tidak pernah mengajarkan aksi terorisme, radikalisme, dan segala macam tindakan brutal.

Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini, yang damai, aman dan tentram, kini mulai menjadi sorotan dunia internasional tentang keanekaragaman suku dan budayanya dengan kerukunan antar pemeluk agama yang pantas diacungi jempol. Dan hal itu berpotensi besar menjadi peredam gerakan islamophobia yang sedang marak di dunia, terutama di negara-negara Barat.

Dalam makalah esai ini, Penulis akan memaparkan beberapa pembahasan umum yang berkaitan dengan judul di atas. Di antaranya adalah seputar radikalisme dan ekstremisme yang merupakan lawan dari moderat, mengkritisi arti kata moderat yang cukup ambigu. mengenalkan moderasi Islam beserta lininya, lalu mengamati moderasi Islam dalam kontek keindonesiaan, dan sampai pada akhirnya, disajikan pula hasil dari rentetan pembahasan serta solusi seputar moderasi beragama.


Radikalisme Atas Nama Islam

Islam, dengan miliaran penganut dari abad ke abad, selalu relevan di manapun dan sampai kapanpun. Para ulama dan cendekiawannya selalu hadir menghadapi problematika kontemporer dengan menjawab hukum-hukum permasalahan melalui metodologi ijtihad. Mereka mengamati, memahami, dan menggali hukum dari teks-teks agama yang menjadi acuan dasar. Dan tidak dipungkiri, perbedaan dalam argumentasi selalu muncul di dunia keilmuan Islam, khususnya dalam persoalan parsial (furuiyah). Namun justru perbedaan itulah yang kerap menjadi sisi baik dan rahmat bagi umat.

Perbedaan pandangan itu terkadang pula keluar dari koridor syariat, yakni ketika pemilik argumen tersebut bukan orang yang ahli dalam berijtihad. Lalu muncul banyak pengikut argumen itu hingga sampai membentuk sebuah kelompok ideologi. Oleh karenanya, tidak menutup kemungkinan akan munculnya kelompok dengan pemahaman agama yang minim, yang berani menafsirkan teks-teks Alquran dan Hadits dengan arti yang keliru. Sampai berujung pada munculnya paham-paham ekstrem radikal yang mengatasnamakan ajaran agama.

Ekstremis itu semisal  kelompok Wahabi Takfiri dan Syiah ekstrim yang mudah mengkafirkan sesama muslim yang bersyahadat. Mereka bahkan tidak menganggap golongan di luar mereka sebagai bagian dari umat Islam hanya karena berseberangan pendapat dalam masalah parsial (furuiyah) yang masih dalam ranah ijtihad. Dari faham takfiri inilah muncul gerakan-gerakan radikal yang mengatasnamakan Islam, seperti kelompok Daesh (ISIS) dan kelompok Alqaedah. Awal mulanya mudah membid'ahkan amalan tertentu, lalu ringan memvonis kafir, dan akhirnya berujung pada penghalalan darah sesama muslim, dengan menebarkan kebencian, provokasi, hingga pembunuhan atas nama jihad.

Kelompok radikal seperti ISIS dan Alqaedah yang gerakannya mengatasnamakan Islam ini kerap membuat keributan dan kekacauan yang mengganggu stabilitas negara. Radikalis ini jelas mencoreng nama Islam, padahal tindakan mereka sama sekali tidak mewakili Islam. Bahkan disadari atau tidak, mereka sebetulnya telah dimanfaatkan oleh pihak tertentu dan rentan ditunggangi kepentingan politik kotor, baik dari dalam negeri maupun disertai campur tangan politik internasional.


Munculnya Reaksi Terhadap Radikalisme Berkedok Agama

Di lain sisi, akibat maraknya isu radikalisme dan teror atas nama agama, muncullah berbagai paham sebagai reaksi ketidaksetujuannya terhadap aliran-aliran keras tersebut. Seperti gerakan-gerakan sekularisme di Barat yang alergi pada agama dengan memisahkan ajarannya dari perpolitikan, sebagai bentuk perlawanan pada kelompok fundamental yang meletakkan kekuasaan politiknya ada di tangan pemuka gereja. Gerakan sekularisasi itu mulai tampak dalam perpolitikan sebuah negara dengan memisahkannya dari ajaran agama, lalu berkembang menjadi sekularisasi dalam skala lingkungan sosial, hingga pemisahan agama secara totalitas dari kehidupan pribadi manusia.

Begitu pula muncul paham liberalisme agama dengan menggalakkan kebebasan akal dalam memahami literatur agama. Salah satu agendanya adalah pluralisme teologis, yakni menyamabenarkan semua agama. Dengan artian bahwa semua agama mengajarkan pada jalan ketuhanan yang sama. Juga relativisme, yakni paham bahwa kebenaran bersifat relatif. Itu semua muncul sebagai reaksi dari betapa jumud dan kakunya kelompok konservatif yang terlalu keras dalam menjalani kehidupan beragama.

Sekularisme tidak bisa sepenuhnya dibenarkan. Terlebih jika yang disudutkan adalah Islam. Karena Islam adalah agama yang komprehensif, ajarannya mencakup segala aspek kehidupan, tak terkecuali dalam lingkungan sosial dan berbangsa. Begitu pula pluralisme teologis yang menyalahi hukum akal sehat, the law of noncontradiction. Sebab, menyamabenarkan agama yang berbeda adalah sebuah kontradiksi yang tak masuk akal. Juga relativisme yang menyalahi hukum sains, bahwa kebenaran bersifat absolut, hanya satu, dan tidak bersifat relatif.


Ekstremis Kanan dan Ekstremis Kiri

Usai menyoroti gerakan radikalisme dan terorisme berkedok agama, serta di sisi lain muncul gerakan reaksi terhadapnya seperti sekularisme dan liberalisme, tampaklah benang merah, bahwa kelompok pertama bisa dikategorikan ekstremis kanan, sedangkan kelompok kedua adalah ekstremis kiri.

Kelompok ekstrem kanan terlalu literal, tekstual, jumud dan keras dalam beragama. Sehingga orang yang berjalan sesuai ajaran agama, oleh  kelompok ini mereka anggap sebagai kaum yang tidak memerdulikan agama, tidak mempunyai semangat juang membela syariat dan lemahnya ghirah kecintaan pada agama. Dan di sisi lainnya, ada kelompok ekstremis kiri yang menyampingkan aturan agama. Orang yang memegang teguh ajaran agama, oleh kelompok ini mereka anggap sebagai kaum konservatif, terbelakang dan fundamental.


Ambiguitas Makna Moderat

Kata moderat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki dua arti. Pertama, selalu menghindar dari perilaku atau pengungkapan yang ekstrem. Kedua, berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah. Singkatnya, moderat adalah mengambil jalan tengah, atau antonim dari ekstrem. Sekilas, arti itu tampak jelas. Namun pada praktiknya, arti moderat ini masih cukup samar dan ambigu, sehingga muncul banyak sudut pandang yang berbeda dalam mengartikannya. Dan kini, istilah moderat menjadi bahan rebutan oleh banyak pihak. Masing-masing membuat pengertian sendiri dan mengaku paling moderat dengan perspektif yang ia kehendaki.

Dr. Hamid Fahmy dalam artikelnya yang berjudul “Moderat” menyuplik beberapa pengertian kata moderat dari banyak kalangan. Di antaranya: menurut Graham Fuller, bahwa muslim moderat adalah yang menolak literalisme dalam memahami kitab suci, tidak monopoli penafsiran Islam dan menekankan persamaan dengan agama lain dan bahkan tidak menolak kebenaran agama lain. Andrew McCarthy dalam National Review Online, August 24, 2010 dengan tegas menyatakan siapapun yang membela syariat tidak dapat dikatakan moderat. (No one who advocates shariah can be a moderate). Dan menurut Ariel Cohen moderat adalah menghormati hak menafsirkan al-Qur’an, hak menyembah Allah dengan caranya sendiri, atau tidak menyembah atau bahkan tidak percaya.

Ketiga pengertian moderat (atau muslim moderat) di atas sungguh tidak moderat. Sebab, jika itu dibenarkan, maka seorang muslim yang memegang teguh ajaran agamanya, dengan tetap menghargai perbedaan, menjaga kerukunan dan keharmonisan sesama manusia lintas agama, tidak melakukan aksi teror maupun ujaran kebencian, oleh pengertian di atas mereka tetap digolongkan sebagai kelompok ekstrem yang tidak moderat. Dan sekali lagi, pengertian mereka pada moderat sangatlah tidak moderat.


Moderat dalam Memaknai Moderat

Kita telah melihat betapa samar dan ambigunya makna moderat. Namun, setelah pemaparan bagaimana posisi ekstrem kanan dan ekstrem kiri, kita bisa menarik kesimpulan, bahwa memaknai moderat secara moderat adalah dengan mengambil titik tengah antara dua kutub ekstrem tersebut. Moderat posisinya tidak terjerumus ke kutub kiri dengan pola liberalisme, sekularisme dan pluralisme beragamanya, juga tidak ke kutub kanan dengan pola radikalisme dan fanatisme sempit dalam beragama.

Moderat dalam beragama adalah bagaimana seseorang memiliki prinsip dan konsisten pada ajaran agama yang ia anut, namun tetap bijak dalam menyikapi dan menghargai perbedaan. Dengan demikian, orang Islam dikatakan moderat ketika ia taat pada ajaran agamanya, dengan tetap menghargai perbedaan, menjaga keharmonisan dan menjauhi tindak kekerasan.


Moderasi Islam dalam Syariatnya

Dalam KBBI –seperti yang telah disebutkan di atas- kata moderat memiliki arti: mengambil jalan tengah, atau antonim dari ekstrem. Sedang dalam bahasa Arab, moderat dengan arti jalan tengah itu disebut dengan tawassuth, wasath, dan wasathiyah.
Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 143  وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا, yang artinya: “Dan demikian pula, Kami telah jadikan kalian umat yang wasath”. Singkatnya, ayat ini menegaskan bahwa umat Islam adalah umat yang wasath.

Dalam literatur kitab-kitab tafsir, para mufassir berbeda pendapat seputar arti kata wasath dalam ayat tersebut. Imam At-Thobari dalam tafsirnya berpendapat bahwa arti wasath adalah bagian tengah antara dua kutub ekstrem. Sedangkan menurut Imam Ar-Razi dalam tafsirnya, kata wasath berarti umat pilihan terbaik. Dan kedua arti wasath ini jika dikolaborasikan akan mengisyaratkan bahwa umat yang berada di tengah antara dua kutub ekstrem adalah umat yang terbaik.

Wasathiyah Islam yang dinyatakan dalam Alquran itu tampak jelas pada ajaran syariatnya. Dalam segala aspek, baik akidah, hukum vertikal (ubudiyah) maupun horizontal (ta’amul binnas), Islam datang membawa ajaran yang berada pada jalur tengah. Tidak ke arah ifrath (melebih-lebihkan hingga lewat batas), juga tidak ke arah tafrith (melepas tangan hingga menyia-nyiakan hal penting).

Seperti dalam persoalan pelampiasan syahwat manusia. Ketertarikan manusia pada lawan jenis adalah hal fitrah naluri, bahkan menjadi kebutuhan biologis seorang manusia. Dalam aspek ini, ajaran Islam ada di tengah-tengah antara dua ajaran ekstrem. Satu sisi menganggap bahwa pelampiasan hasrat pria-wanita meskipun melalui pernikahan yang sah adalah hal yang tabu dan kurang etis, seperti para pendeta Kristen dan para biksu yang memilih untuk membujang seumur hidupnya. Di sisi lain, ada kaum materialis yang menyetujui hubungan badan di luar nikah dengan dalih kebebasan berekspresi dan suka sama suka. Di sinilah Islam tampak sekali bersifat moderat, Islam tegas mengharamkan zina, tapi memberi solusi dengan kehalalan menikah, bahkan menganjurkannya.

Juga dalam sistem ekonomi. Ekonomi ala Islam berada di tengah dua paham ekonomi ekstrem di dunia. Ekonomi kapitalis dan ekonomi komunis. Islam memberi peluang dan kebebasan dalam mengais rezeki selama hal itu sesuai dengan koridor syariat, tidak ada kezaliman, dan tidak memakan harta yang batil, dengan kewajiban mengeluarkan zakat sesuai persentasenya, dan menyalurkannya pada orang yang berhak menerimanya. Poin ini yang membedakannya dari sistem kapitalis. Islam juga melegalkan kepemilikan harta pribadi setiap manusia, dan hal itu menjadi titik perbedaannya dari ekonomi komunis yang menganut sistem kepemilikan bersama dan merata. Dengan demikian, Islam berada pada posisi tengah. Tidak kapitalis ekstrem, juga tidak komunis ekstrem.


Islam rahmatan lil alamin

Selain berprinsip moderat atau ummatan wasathon, Islam juga disebut agama yang rahmatan lil alamin, syariatnya datang menjadi rahmat untuk seluruh alam. Baik lingkup internal muslimin, atau kepada nonmuslim sekalipun. Allah yang Maha Rahmat telah mewahyukan Islam sebagai agama pemungkas yang penuh rahmat pula.

Islam sebagai rahmatan lil alamin adalah agama yang bersifat universal, datang untuk semua manusia apapun bangsa dan sukunya. Islam juga bersifat komprehensif yang ajarannya menyeluruh pada segala aspek kehidupan. Tidak ada hukum atau aturan dalam Islam kecuali di situ terdapat hikmah dan kebaikan untuk manusia, baik kemaslahatan duniawi maupun ukhrawi. Dari situlah, tampak sekali bahwa Islam betul-betul agama yang rahmatan lil alamin.


Moderasi Islam dalam Bersosial Lintas Agama

Islam, dari perpekstif bahasa menunjukkan arti keselamatan dan kedamaian. Dan itu terbukti dari ajaran syariatnya yang amat menjunjung tinggi nilai perdamaian antara sesama manusia. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw bersabda : “seorang muslim adalah orang yang sanggup menjamin keselamatan orang lain dari gangguan lisan dan tangannya, orang mukmin adalah orang yang sanggup menjaga keamanan orang lain atas darah dan hartanya” (HR. An-Nasa’i, Ahmad dan At-Thabrani). Hadits ini menegaskan bahwa Islam adalah agama yang indah, cinta damai dan melarang umatnya untuk mengganggu dan menyakiti orang lain.

Islam juga sangat menjunjung tinggi nilai toleransi dalam berhubungan dengan nonmuslim, selalu menjaga perdamaian antara mereka, dan juga keharmonisan lintas agama. Rasulullah bersabda “Barang siapa yang menyakiti kafir dzimmi (nonmuslim yang tidak memerangi umat muslim), maka ia adalah musuhku. Barang siapa yang menjadi musuhku di dunia, maka ia musuhku di akhirat nanti”. (HR. Al-Khatib). Tidak hanya larangan menyakiti nonmuslim secara fisik, Islam pun juga melarang meski sekedar menggunjingnya dari belakang. Menurut Imam Al-Ghozali, hal itu karena tiga alasan. Pertama, menggunjing nonmuslim sama halnya menyakiti mereka, dan itu dilarang. Kedua, menganggap ada kekurangan pada ciptaan Allah. Dan ketiga, membuang-buang waktu untuk hal yang tak berfaedah.

Itulah sekelumit tentang betapa antusiasnya Islam dalam menggalakkan perdamaian, keharmonisan dan kerukunan antar umat beragama. Islam tegas melarang tindakan yang merusak, mengganggu, dan menyakiti orang lain, meski iu terhadap nonmulis, apalagi tindakan anarkisme dan terorisme. Adapun kisah-kisah peperangan antara umat Islam dan kaum kafir di zaman Rasulullah Saw, itu terjadi hanya dalam bentuk perang defensif sebagai langkah bertahan. Dan umat Islam tidak memulai menyerang kecuali pihak kaum musyrikinlah yang memulainya. Andai mereka tidak memulai dahulu peperangan, dan membiarkan dakwah Islam berjalan dengan damai, umat Islam tak kan memilih untuk berperang.


Tiga Lini Moderat

Moderat dengan arti mengambil jalan tengah dan antonim ekstrem terbagi menjadi tiga lini, yang tidak bisa dikategorikan sebagai seorang moderat kecuali ia memenuhi kriteria tiga lini tersebut.

Pertama, moderat pemikiran, yakni bagaimana cara berpikir secara bijak pada jalur tengah. Tidak terlalu keras, tidak pula terlalu lepas. Dalam aqidah Islam Ahlussunnah waljamaah misalnya, tidak mengkafirkan sesama muslim hanya karena perbedaan parsial, dan tidak mengakui keislaman dan keimanan orang di luar Islam (nonmuslim), dengan tetap menjaga hubungan harmonis antar kedua belah pihak.

Kedua, moderat sikap, yakni bagaimana cara bersikap secara bijak di jalur tengah. Seperti ketika dihadapkan pada sebuah kesalahan atau kekurangtepatan dari seorang tokoh atau kebijakan pemerintah, maka salah satu cara mengingatkannya adalah dengan mengkritik secara sehat. Tidak gegabah, tanpa disertai caci maki, serta menghindari penggunaan kata kotor dan kasar. Dan tidak pula bersikap acuh tak acuh membiarkan kesalahan. Semua butuh kritikan untuk maju. Acuh tak acuh pada kesalahan adalah bentuk ketidakpedulian dan Islam tidak mengajarkan demikian.

Ketiga, moderat tindakan, yakni bagaimana cara bertindak secara bijak di jalur tengah. menghindari tindakan anarkis, teror, brutal, menjauhi pertumpahan darah, melukai, menyakiti, dan sebagainya.

Tiga lini moderasi dalam beragama di atas, terlebih dalam moderat sikap dan tindakan, telah dijelaskan oleh Dr. Habib Abubakar Al-Masyhur Al-Adeni sebagai prinsip dakwah dalam Islam yang moderat. Yaitu:

hifdzul aidi minad dam atau menjaga tangan dari pertumpahan darah,

hifdzul alsinah minadz dzam atau menjaga lisan dari caci maki, dan

hifdzul qulub minal hamm atau menjaga hati dari ambisi duniawi.


Cerminan Moderasi Islam dalam Konteks Keindonesiaan

Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, saat ini menjadi sorotan dunia internasional dalam segi persatuan bangsa dan kerukunan umat beragama. Bagaimana tidak, Indonesia yang merupakan negeri majemuk dan plural, terdiri dari ribuan pulau, ratusan suku, ratusan bahasa, enam agama dengan bermacam aliran di dalamnya, mampu menjalin persatuan dalam satu naungan, dan mampu saling menghargai terhadap beraneka ragam perbedaan itu.

Indonesia memiliki empat pilar kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika. Empat pilar itulah salah satu faktor kuat terjalinannya persatuan bangsa Indonesia. Di samping itu, Islam sebagai agama mayoritas, juga patut dijadikan acuan dalam moderasi beragama di Indonesia. Islam bisa berjalan beriringan dengan empat pilar itu. Karena memang, para pejuang kemerdekaan dan para pendiri bangsa yang menyusun konsep pilar kebangsaan tersebut mayoritas adalah tokoh beragama Islam. Dan empat pilar itu, secara garis besar, adalah implementasi dari ajaran Islam itu sendiri.

Moderasi Islam di Indonesia juga tampak dari metode dakwah santun yang menjadi ciri khasnya. Yakni dakwah dengan melalui pendekatan budaya, yang sejak dahulu telah dicontohkan para Walisongo. Tradisi dan budaya yang menyimpang dari Syariat Islam oleh Walisongo diubah esensinya hingga tak lagi menyimpang, dengan tetap melestarikan kemasan budaya tersebut. Lalu dakwah ini dilanjutkan oleh para kyai-kyai penerus perjuangan Walisongo, sampai tradisi dan budaya yang telah membaur dengan ajaran Islam itu mendarah daging di masyarakat luas dari generasi ke generasi. Dakwah seperti ini terbukti efektif dan berhasil diterima masyarakat luas secara pesat, sehingga agama Islam berhasil menjadi agama mayoritas di bumi Nusantara sampai detik ini.

Budaya diskusi yang dicontohkan para pendiri bangsa ini juga mencerminkan moderasi beragama di Indonesia. Terlihat bagaimana mereka membahas konsep kebangsaan dan kenegaraan di awal kemerdekaan RI, dengan cara duduk bersama, bermusyawarah dan diskusi antar tokoh aliran. Hal itu juga merupakan implementasi dari ajaran Alquran QS As-Syura:38, wa amruhum syuro bainahum, bahwa umat mukmin yang diridhai Allah adalah umat yang urusannya diputuskan melalui musyawarah di antara mereka.

Poin-poin itulah yang saat ini menjadi sorotan dunia. Di tengah hiruk piruk kerusuhan dan keributan yang mengatasnamakan Islam, Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbesar, hadir menjadi teladan dunia dalam perdamaian dan kerukunan umat beragama. Meski sebetulnya, prinsip utama Islam Indonesia tidak ada bedanya dengan Islam selain Indonesia. Sama-sama mengajarkan kedamaian, keindahan, keharmonisan dan toleransi. Menolak segala tindak kekerasan, anarkisme, serangan brutal, dan juga terorisme. Tentunya hal itu jika ajaran Islam betul-betul dipahami dengan benar dan diaplikasikan secara sepenuhnya, sebagai implementasi hukum Alquran dan Hadits yang diajarkan Rasulullah Saw. Dan para dai-dai Nusantara terdahulu, patut dijadikan teladan Dunia Islam, dalam mengajarkan metode dakwah Islam dengan membaur pada budaya yang menjadi ciri khas moderasi Islam di Indonesia.


Epilog

Dalam makalah ini, tak disebukan oleh Penulis istilah Islam Moderat. Sebab, jika disebutkan Islam Moderat maka di situ ada Islam Radikal. Dan hal itu, menurut Penulis, tidak bisa dibenarkan. Karena Islam adalah agama moderat. Sama sekali tidak radikal dan tidak ada istilah Islam Radikal. Kalaupun ada, itu hanyalah ulah kelompok radikalis yang tidak mewakili ajaran Islam, dan disinyalir adanya kepentingan politik kotor, baik dalam negeri maupun campur tangan elite internasional.

Dengan mencuatnya tema moderasi Islam Indonesia, Dunia cukup terbantu dalam meminimalisir berkembangnya islamophobia, yang diakibatkan dari maraknya perang saudara di Timur Tengah yang mengatasnamakan Islam. Dunia tersadarkan bahwa Islam yang sebenarnya adalah agama cinta kasih yang menjunjung tinggi nilai perdamaian dan toleransi. Dan Indonesia, adalah satu dari banyaknya bukti atas itu semua.

Menjadi sosok muslim moderat cukup dengan mengamalkan ajaran syariat Islam, dan memiliki prinsip keyakinan yang kokoh, dengan tetap menghargai perbedaan keyakinan orang lain. Untuk menangkal paham ekstrem, fundamentalisme, radikalisme dan terorisme tidak perlu menjadi liberal dan sekuler. Begitu pula untuk melawan paham liberalisme dan sekularisme tidak perlu dengan cara ekstrem dan radikal. Berlaku moderat dengan penuh kebajikan dan kebijaksanaanlah kunci dari perdamaian umat manusia. Wallahu ta’ala a’lam wa ahkam, wa shallallahu ala sayyidina Muhammadin wa alihi wa shohbihi, walhamdulillahi rabbil alamin.



Daftar Pustaka

1. Az-Zawajir an iqtiraf al-Kabair, Ibn Hajar Al-Haitami, cetakan: Maktabah al-Ashriyah, Beirut, Lebanon, 1999 M – 1420 H.
 2. Fiqh Sirah, Dr. M. Said Ramadhan Al-Buthy, cetakan: Dar al-Fikr, Beiru, Lebanon, 1426 H.
 3. Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran, Muhammad bin Jarir At-Thobari, tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, cetakan:  Muassasah Ar-Risalah, 2000 M – 1420 H
 4. Madza khasira al-alam bi inhithatil muslimin, Abul Hasan An-Nadwi, cetakan: Darul Iman, Mesir
 5. Mafatih Al-Ghaib, Fakhruddin Ar-Razi, cetakan: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon, 2000 M – 1421 H.
 6. Moderat, artikel karya Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi.
 7. Nubdzah Sughro, Dr. Abubakar Al-Adeni Al-Masyhur, cetakan Dar al-Muin, Jordania, 2015 M – 1436 H

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sanad Tertinggi di Muka Bumi

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai