Maafkan Aku, Nabi Hud

"Maafkan aku, Nabi Hud, maafkan aku", secuil kalimat yang paling sering kuulang-ulangi tiap kali berziarah di makam Nabi Hud As. Kutatap kuburan sepanjang belasan meter itu, kudekati, kusentuh, kukecup, sesekali sambil menunduk malu, terus kuulang-ulangi lagi permintaan maafku itu.

Ziarah Akbar tahunan Nabi Hud memang momen luar biasa dan dahsyat. Acara besar masyarakat Hadhramaut yang amat dinanti-nantikan. Ratusan ribu peziarah datang berombongan. Dengan konvoi unta berhias, rombongan bis, ataupun mobil biasa. Berangkat bersama masing-masing klan atau fam yang menaungi keluarga mereka. Baik dari kalangan Sayyid-Habaib, kalangan marga Masyayikh, maupun fam qabilah.

Aku yakin, Rasulullah tersenyum melihat momen ini. Momen dimana ratusan para ulama pewaris ilmu dan perjuangannya, ribuan cucu yang mengalir darahnya di nadi mereka, ribuan santri, ratusan ribu umat pencintanya, berkumpul, berzikir, bermunajat, berselawat dengan penuh kerinduan kepadanya, dan juga kepada Nabi Hud As.

"Tidak mungkin Rasulullah tidak hadir di momen ini", kataku mantap di hati. Logikaku ikut bermain; di majelis mana ada ribuan bahkan puluhan ribu keluarga Nabi dan ulama-ulama besar berkumpul menjadi satu, kalau bukan di lembah Nabi Hud ini? Bukankah jika ada satu muslim saja yang merindukan Rasulullah, maka Rasulullah pun merindukannya bahkan dengan rindu yang berlipat ganda? Bagaimana jika perindu itu tidak hanya satu-dua muslim, tapi ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan banyak dari anak-keturunan Nabi sendiri? "Tidak mungkin Rasulullah tidak hadir. Tidak mungkin", aku, pikiranku, dan hatiku, kompak dalam satu keyakinan.

Itulah mengapa, saat mengikuti ziarah akbar Nabi Hud --yang diselenggarakan tiap bulan Syaban itu, yang hadir dalam pikiranku pertama kali adalah sosok Rasulullah Muhammad Saw. Aku yakin idolaku; manusia sempurna akhlak dan parasnya, manusia terbaik, tertampan, termulia itu sedang berada di dekatku. Aku seolah merasakannya. Meski tak bisa melihatnya dengan mata kepala. Mata hatiku pun telah terhijab, sebab noda-noda hitam maksiat yang kerap kuperbuat.

Tapi, bukankah Alquran telah menjelaskan, jika datang kepadamu, wahai Muhammad, seorang yang bergelimang maksiat, lalu meminta ampunan kepada Allah, dan kau pun memintakan ampunan kepadaNya, maka akan ia dapati Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih? Maka, aku datang kepadamu, di lembah Hud ini, ya Rasulallah, dengan banyak noda hitam dan mengaku penuh kerinduan. Mintakan ampunan kepada Tuhanmu untukku, ya Rasulallah. Anggap aku umatmu. Pegang erat tanganku. Izinkan aku selalu ada dalam barisanmu, di bawah liwaul hamdi di akhirat nanti.

Dan teruntukmu, wahai Nabi Hud, salam hormat dariku. Rahmat Allah dan ridhoNya selalu tercurah untukmu. Aku datang ke makam dan lembahmu ini untuk menemui teman sesama nabimu, Rasulullah Muhammad Saw. Beliau pasti datang. Dan aku yakin itu. Kuakui, diriku terlalu kotor untuk ditakdirkan sampai ke negeri kekasihku, Madinah. Tapi saat ini aku telah sampai di tanahmu, tanah yang sekarang dipenuhi umat Nabi. Maka inilah kesempatan terbaikku, untuk berjumpa -- atau minimal bisa satu majelis, dengan Rasulullah.

Maafkan aku, Nabi Hud, maafkan aku. Jujur, aku belum bisa mencintaimu dengan sepenuh hati, aku belum bisa merindukanmu sepenuh jiwa. Cinta dan rinduku masih terbatas untuk kekasihku Rasulullah Muhammad. Sekali lagi, Maafkan aku. Kerinduanku saat ini hanya untuk kekasihku, Rasulullah Muhammad. Sholawatullah wa salamuhu alaihi wa ala alihi, wa alaika, ya Nabiyallah Hud.

---

Itulah secuil catatanku tentang apa yang kurasakan dan kualami saat ziarah akbar Nabi Hud As. Pada tahun lalu. Dua tahun lalu. Dan tiga tahun yang lalu.

Namun kali ini, momen luar biasa itu terpaksa diliburkan. Ziarah Hud resmi ditiadakan oleh para ulama, atas instruksi dari Pemerintah dan otoritas terkait.

Kenangan tentang momen indah dan syahdu itu kembali terngiang-ngiang di pikiranku. Aku rindu momen itu. Rindu ziarah akbar Nabi Hud As. Rindu pada kekasihku, Rasulullah Muhammad Saw.

Azro Rizmy,
Tarim, 6 April 2020 M - 13 Syaban 1441 H.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Sanad Tertinggi di Muka Bumi

Mana yang Benar, Ziarah Akbar, Kubra atau Qubro?