Menjadi Wali, Cita-Cita Ahlu Tarim Sejak Usia Dini

Cita-cita berbeda dengan angan-angan. Cita-cita adalah titik target. Untuk mencapainya harus dengan rancangan, rencana, fokus tujuan dan usaha ekstra. Seorang yang bercita-cita, artinya dia memiliki target level yang harus ia capai, dan ia yakin akan berhasil meraihnya.

Beda halnya dengan angan-angan. Hal mustahil, hal yang sulit tercapai, atau harapan yang tak dibarengi usaha dan keyakinan, masuk kategori angan-angan. Ia hanyalah bayangan. Tanpa tekad dan keseriusan, angan-angan hanyalah fatamorgana dan isapan jempol belaka.

Anak kecil atau seusia remaja seringkali memiliki cita-cita hidup. Mereka yang bercita-cita, bukan sekedar berangan-angan, tentunya memiliki tekad kuat untuk mencapai tujuannya. Apapun jalannya, ia akan selalu berjuang melewati segala rintangannya.

Bercita-cita menjadi dokter misalnya. Jika sejak usia SD seorang anak kecil ingin menjadi dokter, maka tentu pandangan hidupnya akan lebih jauh ke depan. Dia akan belajar bersungguh-sungguh. Menargetkan nilai yang tinggi. Agar nanti bisa melanjutkan sekolah di SMP favorit. Lalu masuk SMA favorit jurusan IPA. Dan selama itu pula dia akan selalu berusaha menjaga nilai pelajarannya. Hingga masuk perguruan tinggi jurusan kedokteran dan berhasil lulus dengan predikat memuaskan.

Begitu juga dengan cita-cita menjadi pemain sepak bola. Anak kecil yang memiliki cita-cita tersebut akan memiliki tekad kuat. Ia ikuti perkembangan dunia sepak bola. Tampak juga kesehariannya dengan kerasnya latihan, antusias tinggi, menikmati proses dan mempelajari berbagai trik memainkan bola. Hingga pada akhirnya dia akan mencapai level kemampuan bermain bola yang mengagumkan.

Anak kecil kota Tarim pun demikian. Ketika tanah kelahirannya dikenal dengan kota sejuta wali, mereka pun memiliki cara berpikir yang luar biasa. Adalah bercita-cita menjadi wali. Bermakna: kekasih Allah. Artinya: seorang hamba yang dicintai Tuhan. Seorang wali bukanlah sembarang hamba. Levelnya di atas orang saleh biasa. Wali adalah orang saleh yang amat dekat dengan Allah, dan Allah pun sangat mencintainya.

Aku pernah mengobrol bersama anak remaja Tarim. Namanya Yahya. Dari keluarga fam Bafadhol. Ketika kami bercerita tentang adat istiadat Tarim dan pola hidup warganya, aku menceletuk, "Yahya, Tarim ini kan terkenal tanah para wali, apa kamu juga pingin jadi wali?"

Yahya sontak menengadahkan tangannya ke atas dan mengangkat kepalanya. Bergumam "Yaa Rabb" sambil memejamkan mata.

"Kami ini", lanjut Yahya, "dari kecil memiliki cita-cita itu. Kami semua ingin jadi wali. Menjadi seorang kekasih Allah dan memiliki level kesalehan yang tinggi".

Aku mendengarnya seketika itu langsung terpukau. Aku serasa baru tersadar, bahwa cita-cita anak kecil menjadi wali itu benar adanya. Dan aku temukan di kota Tarim ini. Menjadi wali bagi mereka bukan hanya angan-angan belaka, tapi sudah menjadi target hidup yang harus mereka capai.

Sama seperti bercita-cita menjadi dokter atau pemain bola, bercita-cita menjadi wali tentu akan tampak di kehidupan sehari-harinya. Jika bercita-cita menjadi dokter akan membuatnya menjadi rajin belajar dan berusaha mendapat nilai tinggi, maka bercita-cita menjadi wali pun akan membuatnya semangat belajar agama, dan berjuang untuk menguasai ilmu-ilmunya. Baik ilmu intelektualnya, maupun ilmu spiritualnya.

Jika bercita-cita menjadi pemain bola profesional akan membuatnya memiliki antusias tinggi, semangat latihan dan berjuang menguasai trik-trik memainkan bola, maka bercita-cita menjadi wali pun juga akan membuatnya rajin beribadah, semangat bermujahadah, berdzikir, wiridan, meningkatkan kualitas salat malam, menangis karena Allah, dan juga memperbanyak salawat kepada Nabi kekasih-Nya.

Dan hal itu semua terlihat di sela-sela kehidupan masyarakat Tarim. Baik dari kalangan tua, remaja, hingga anak-anak kecil. Antusias mereka dalam mengaji sangat tinggi. Cara mereka meneladani kehidupan orang-orang saleh juga tinggi. Semangat mereka dalam beribadah tak kalah tinggi. Ratusan masjid ada di sekeliling rumah mereka. Antara dua masjid kadang berjarak hanya hitungan meter saja. Tapi tidak sepi. Selalu ramai dan bahkan banyak anak-anak kecil yang menghidupkannya.

Prinsip dan cita-cita besar jika dimiliki sebuah masyarakat secara kolektif, tentu akan mengubah pola kehidupan sosial masyarakat tersebut. Lingkungannya akan menjadi dunia yang selaras dengan cita-cita mereka. Masyarakat Tarim, mayoritas bercita-cita menjadi wali. Maka tak ayal, kota ini menjadi lingkungan yang sarat nuansa kesalehan, keagamaan, dan tradisi para wali. Cita-cita itu benar-benar ada. Tekad kuat dan usaha mencapainya pun ada. Maka, inilah kota Tarim, kota sejuta wali. Menjadi wali adalah cita-cita masyarakat kota sejuta wali.

Azro Rizmy,
Tarim, 25 Maret 2021



Komentar

  1. عسى الله ان يحبنا و ان يجمعنا مع اولياءه في الدرين امين

    BalasHapus
  2. Masya Allah , barokallah fiikum ❤️ cerita yg begitu indah dengan bahasa yg mudah di fahami .

    BalasHapus
  3. salah satu wasilah yang mengantarkan saya mencintai Tarim lebih dalam adalah dengan membaca pengalaman orang-orang yang dengan izin-Nya bisa menginjakkan kaki ke tanah terindah. jazakallah khair... telah berbagi cerita seputar Tarim, banyak hal yang ingin saya tahu lebih dalam. semoga Gus Azro terus menulis. karena saya selalu menunggu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Sanad Tertinggi di Muka Bumi