Lelaki Ilham dari Surga
Bagi para
penikmat lagu slow, terlebih lagu-lagu yang liriknya mengandung nilai
sastra, judul di atas mungkin cukup familiar dan tak asing lagi di
telinga mereka. Iya, itu adalah judul salah satu lagu bernuansa puitis
karya Ebiet G. Ade yang amat menggugah jiwa. Tiap kali mendengar lagu
ini, seketika fikiranku langsung terarah pada sosok lelaki yang penuh
inspirasi, yang terus memotivasiku tiap kali keadaan kurang bersemangat.
Adalah dia, sosok lelaki yang lahir dari keluarga sederhana yang sangat menjunjung tinggi nilai keilmuan. Dia tumbuh besar di lingkungan santri yang relijius. Dalam hal keilmuan, ia tergolong paling unggul di kalangan kawan seusianya. Terbukti sejak usia yang terbilang amat muda, ia sudah diberi mandat untuk mengajar. Murid-murid yang ia ajar adalah kawan-kawan seusianya bahkan banyak juga yang lebih tua darinya.
Ia terkenal mempunyai otak encer yang super jenius. Orang-orang menjulukinya: manusia dengan dua otak di kepala. Tampak dari kejeliannya dalam bidang ilmu hitung dan kepakarannya dalam ilmu Faraid (ilmu pembagian harta waris). Bahkan saking cerdasnya, ia sering menghitung dan memprediksikan sebuah daun kapan ia jatuh dari tangkainya, dan nantinya benar-benar terbukti jatuh sesuai waktu yang telah ia prediksikan tersebut.
Namun di sisi lain, ia hidup dengan ekonomi finansial yang menengah ke bawah. Dia yang banyak mengajar di berbagai bidang ilmu itu ternyata ia sendiri tidak memiliki buku dan kitabnya. Terpaksa ia sering meminjam dari salah satu murid yang diajarnya. Tapi hal itu baginya bukanlah sesuatu yang membuatnya resah. Sebab di matanya, nikmat rizki berupa ilmu pengetahuan dan kecerdasan jauh lebih istimewa dibanding dengan sekedar urusan harta duniawi saja.
يزين الفتى في الناس صحة عقله * وإن كان محظورا عليه مكاسبه
Seorang pemuda terlihat istimewa di mata masyarakat dengan kejernihan akalnya * meskipun terbilang amat minim pendapatan ekonominya. [Diwan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra]
Tapi apa daya, umur manusia ada dalam genggaman-Nya. Ia wafat di usia yang terbilang muda, sekitar umur 30an. Ia wafat meninggalkan beberapa anak yang masih kecil dan seorang istri yang kesehariannya hanya mengajar ngaji pada beberapa santri. Sesekali sang istri menjahit dan menyulam kain yang dijadikannya taplak meja, kemudian menjualnya. Itu saja, sangat-sangat sederhana.
Pasca wafatnya lelaki ini, perjuangan hidup keluarganya terus berlanjut. Keluarga ini berhasil ia didik dengan basic keilmuan dan taat agama. Salah satunya, setiap anak wajib memulai awal bulan dengan membaca Alquran juz satu, akhir bulannya tuntas juz 30 dan mengkhatamkanny a. Terus
berjalan hingga mereka dewasa. Artinya, setiap malam tahun baru Masehi,
di kala anak-anak muda seusia mereka sedang berhura-hura dengan kembang
apinya, keluarga ini justru menggelar rutinan akhir bulan; khataman
Alquran.
Ada lagi yang menakjubkan. Tiap hari, anak-anak gadis itu berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki menempuh beberapa kilometer dari rumah mereka. Iya, aku tahu betul jarak dari rumah ke sekolahnya. Gadis muda seusianya tentu amat mengenaskan jika setiap harinya berjalan kaki dengan jarak sejauh itu. Lebih-lebih ketika sampai di sekolah, kadang kala gadis itu dihukum berdiri di luar kelas karena belum membayar SPP bulanan. Terpaksa ia dengarkan penjelasan guru dengan mengintip lewat jendela dari luar kelas. Sungguh tinggi sekali kesemangatannya menuntut ilmu.
Perlu diingat, bahwa tidak ada satu pun di muka bumi ini keluarga pecinta ilmu yang tidak menghargai hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, termasuk membayar SPP bulanan. Iya, tak ada! Mereka bukan tak mau membayar, tapi memang mereka sedang tak mampu dan tak berdaya. Jangankan untuk membayar SPP bulanan, makan sehari-hari saja kadang cuma mampu sekali-duakali!
Namun justru dengan perjuangan sedemikian itulah keluarga ini berhasil melahirkan pribadi-pribadi
yang tangguh. Pribadi dengan keluarga yang penuh kerukunan,
keromantisan dan keharmonisan. Pribadi yang masa bodoh dengan hal-hal
materiil di sekitarnya. Seakan mereka telah menegaskan sebuah prinsip;
bahwa tak apalah hidup dengan ekonomi berkecukupan, asal tidak hidup
menjadi orang bodoh yang sama sekali tidak mencicipi manisnya dunia
keilmuan.
Itulah dia dengan segudang kisah inspiratifnya. Dia yang oleh Allah tidak dikenalkan pada gemerlapnya dunia. Dia yang terlihat lebih miskin dari siapapun, dia yang lebih lapar dari siapapun, ternyata dia lebih tegap perkasa dengan kecerdasannya, dari siapapun. Dia yang otak dua manusia ada di kepalanya. Dia lelaki ilham dari surga.
Azro Chalim,
Tarim, 13 Maret 2017
Adalah dia, sosok lelaki yang lahir dari keluarga sederhana yang sangat menjunjung tinggi nilai keilmuan. Dia tumbuh besar di lingkungan santri yang relijius. Dalam hal keilmuan, ia tergolong paling unggul di kalangan kawan seusianya. Terbukti sejak usia yang terbilang amat muda, ia sudah diberi mandat untuk mengajar. Murid-murid yang ia ajar adalah kawan-kawan seusianya bahkan banyak juga yang lebih tua darinya.
Ia terkenal mempunyai otak encer yang super jenius. Orang-orang menjulukinya: manusia dengan dua otak di kepala. Tampak dari kejeliannya dalam bidang ilmu hitung dan kepakarannya dalam ilmu Faraid (ilmu pembagian harta waris). Bahkan saking cerdasnya, ia sering menghitung dan memprediksikan sebuah daun kapan ia jatuh dari tangkainya, dan nantinya benar-benar terbukti jatuh sesuai waktu yang telah ia prediksikan tersebut.
Namun di sisi lain, ia hidup dengan ekonomi finansial yang menengah ke bawah. Dia yang banyak mengajar di berbagai bidang ilmu itu ternyata ia sendiri tidak memiliki buku dan kitabnya. Terpaksa ia sering meminjam dari salah satu murid yang diajarnya. Tapi hal itu baginya bukanlah sesuatu yang membuatnya resah. Sebab di matanya, nikmat rizki berupa ilmu pengetahuan dan kecerdasan jauh lebih istimewa dibanding dengan sekedar urusan harta duniawi saja.
يزين الفتى في الناس صحة عقله * وإن كان محظورا عليه مكاسبه
Seorang pemuda terlihat istimewa di mata masyarakat dengan kejernihan akalnya * meskipun terbilang amat minim pendapatan ekonominya. [Diwan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra]
Tapi apa daya, umur manusia ada dalam genggaman-Nya. Ia wafat di usia yang terbilang muda, sekitar umur 30an. Ia wafat meninggalkan beberapa anak yang masih kecil dan seorang istri yang kesehariannya hanya mengajar ngaji pada beberapa santri. Sesekali sang istri menjahit dan menyulam kain yang dijadikannya taplak meja, kemudian menjualnya. Itu saja, sangat-sangat sederhana.
Pasca wafatnya lelaki ini, perjuangan hidup keluarganya terus berlanjut. Keluarga ini berhasil ia didik dengan basic keilmuan dan taat agama. Salah satunya, setiap anak wajib memulai awal bulan dengan membaca Alquran juz satu, akhir bulannya tuntas juz 30 dan mengkhatamkanny
Ada lagi yang menakjubkan. Tiap hari, anak-anak gadis itu berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki menempuh beberapa kilometer dari rumah mereka. Iya, aku tahu betul jarak dari rumah ke sekolahnya. Gadis muda seusianya tentu amat mengenaskan jika setiap harinya berjalan kaki dengan jarak sejauh itu. Lebih-lebih ketika sampai di sekolah, kadang kala gadis itu dihukum berdiri di luar kelas karena belum membayar SPP bulanan. Terpaksa ia dengarkan penjelasan guru dengan mengintip lewat jendela dari luar kelas. Sungguh tinggi sekali kesemangatannya
Perlu diingat, bahwa tidak ada satu pun di muka bumi ini keluarga pecinta ilmu yang tidak menghargai hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, termasuk membayar SPP bulanan. Iya, tak ada! Mereka bukan tak mau membayar, tapi memang mereka sedang tak mampu dan tak berdaya. Jangankan untuk membayar SPP bulanan, makan sehari-hari saja kadang cuma mampu sekali-duakali!
Namun justru dengan perjuangan sedemikian itulah keluarga ini berhasil melahirkan pribadi-pribadi
Itulah dia dengan segudang kisah inspiratifnya. Dia yang oleh Allah tidak dikenalkan pada gemerlapnya dunia. Dia yang terlihat lebih miskin dari siapapun, dia yang lebih lapar dari siapapun, ternyata dia lebih tegap perkasa dengan kecerdasannya, dari siapapun. Dia yang otak dua manusia ada di kepalanya. Dia lelaki ilham dari surga.
Azro Chalim,
Tarim, 13 Maret 2017
Komentar
Posting Komentar