Lebaran Istimewa Ala Ahli Tarim

Kemenangan itu telah datang. Setelah sebulan penuh berjuang melawan nafsu. Selama bulan Ramadhan yang penuh berkah nan syahdu. Idul Fitri kini tiba dengan muka berseri. Masyarakat Tarim membalasnya dengan senyuman berseri-seri. Namun ada juga raut kesedihan. Karena berpisahnya Ramadhan. Meski ia pasti datang kembali tahun depan. Tapi soal umur manusia, siapa gerangan yang berani memastikan?

Malam tadi belum diketahui apakah 30 Ramadhan ataukah 1 Syawal. Tergantung rukyah hilal. Pada saat menjelang dan sesudah matahari tenggelam. Yang nanti jam 8 malam akan disahkan kementrian. Masjid-masjid Tarim yang jadwal isyanya di awal waktu, langsung melaksanakan tarawih. Sambil menunggu pengumuman. Ada yang sampai menuntaskan tarawih-witirnya seperti masjid Sulton. Ada yang memang belum sama sekali. Ada yang di pertengahan tarawih, baru mendengar kabar pengumuman hilal Syawal.

Seperti masjid Baharmi. Jamaah tarawih masih salat keempat atau rakaat ke-8, kabar itu datang. Penetapan hilal Syawal oleh kementrian agama Yaman. Seketika tarawih dihentikan, dilanjutkan dengan mengumandangkan takbiran. Sama seperti masjid-masjid lain. Serentak bertakbiran. Untuk meramaikam kedatangan malam baru itu. Namun tidak lama, takbiran itu berhenti. Atau masih sisa satu-dua masjid yang lanjut takbiran. Meski masjid kebanyakan tak terdengar lagi. Saat itu warga Tarim memang sedang sibuk menyiapkan lebaran.

Bagi ahli Tarim, atas arahan Rasulullah, malam hari raya adalah malam yang istimewa. Malam yang mustajab. Kesempatan emas untuk banyak berdoa dan munajat. Ahli Tarim tidak menyia-nyiakan momen itu. Malam pamungkas Ramadhan yang harus sukses seperti permulaannya. Atas dawuh Nabi:

من أحيى ليلة العيد لم يمت قلبه يوم تموت القلوب

"Barang siapa yang menghidupkan malam hari raya, maka hatinya tidak akan mati, pada hari dimana kebanyakan hati telah mati"

Ahli Tarim di awal malamnya fokus menyiapkan kebutuhan lebaran. Namun di tengah atau dini hari, mereka memulai ibadah menghidupkan malam istimewa ini. Masjid-masjid Tarim mulai ramai pada jam 1 atau 2-an dini hari. Ada agenda Ihya' lailatil ied. Kegiatan menghidupkan malam hari raya. Dengan salat qiyamullail berjamaah, disertai salat witir. Lanjut lagi tadarus Alquran. Kemudian takbiran dilantunkan kembali. Ditemani minuman kopi dan makanan snack ringan.

Iya. Pada jam 2-an dini hari itu, masjid-masjid Tarim memulai lagi lantunan takbirannya. Serentak. Masyarakat meramaikannya. Tak pandang siapa itu. Bahkan anak-anak kecil, di waktu dini hari seperti itu, justru penuh semangat dan antusias. Mengumandangkan takbiran. Dengan suara nyaring yang menggema seantero kota, melalui ratusan speaker-speakernya.

Ibadah terus. Takbiran terus. Sampai salat subuh berjamaah. Khataman Alquran. Dan doa khotmil quran. Lalu di akhir acara ada sesi makan bersama. Dengan menu syurbah: sejenis bubur gandum, dengan lauk daging atau ikan tuna yang dicampuradukkan di dalamnya, dengan racikan bumbu khas Arab. Ditambah suguhan secangkir minuman coklat panas. Itu di masjid Baharmi, tempat aku mengabdi. Di masjid-masjid lain juga sama, tapi dengan menu sarapan yang berbeda. Semua ikut sunnah. Bahwa sebelum salat idul fitri ada anjuran sarapan atas tuntunan Nabi.

Usai agenda ihya' lailatil ied hingga sarapan bakda subuh itu, masyarakat Tarim bersiap-siap untuk melaksanakan salat ied. Mandi. Berpakaian baru, bagus dan rapi. Memakai wewangian. Berangkat menuju masjid bareng-bareng bersama keluarganya.

Ada dua masjid yang menjadi rujukan kawan-kawan Indonesia di Tarim. Masjid Raudhoh di distrik Aidid. Dan masjid-musalla Jabanah di distrik Khuleif depan komplek pemakaman Zanbal. Masing-masing ada nuansa lebaran yang berbeda. Dan keduanya sangat berkesan.

Di masjid Raudhoh, salat ied bersama Habib Umar bin Hafidz. Pada pukul 06.30 pagi. Sekitar setengah jam sebelum salat ied, ada pawai akbar. Dipimpin langsung Habib Umar. Dimulai dari pelataran Darul Mustafa, tepatnya di depan rumah Habib, hingga finish di masjid Raudhoh. Ramai sekali. Bendera-bendera hijau bertuliskan nama Rasulullah dan khalifah-khalifahnya dikibarkan. Berjalan bareng diiringi lantunan takbiran. Sampai masuk ke masjid, langsung salat dilaksanakan. Juga usai khutbah ied, ada pawai akbar lagi. Mengiring para ulama. Mulai dari pelataran masjid, sampai kembali ke Darul Musthafa.

Beda halnya di masjid Jabanah. Tak ada pawai akbar. Namun tak kalah ramai. Jika di masjid Raudhoh suasananya bernuansa santri yang memakai jubah dan imamah (serban kepala), maka di Jabanah nuansanya lebih kental ke arah kemasyarakatan. Suasananya merakyat. Berbaur menjadi satu. Orang tua. Anak muda. Anak-anak kecil dengan baju baru mereka. Wajahnya tampak ceria. Ditambah munculnya bazar dadakan di sekitaran masjid. Kebanyakan berjualan mainan. Membuat semakin ramai anak-anak kecil riangnya.

Usai salat ied, masyarakat Tarim bersalam-salaman. Berpelukan. Dan foto bersama. Di dalam masjid Jabanah. Atau di pelataran luarnya. Kemudian dilanjut sesi ziarah nyekar ke makam Zanbal-Furait-Akdar yang lokasinya berdampingan dengan masjid. Orang sini bilang: sebelum silaturahim kunjung-kunjung keluarga 'hidup', alangkah baiknya sowan dulu pada keluarga yang telah mati.

Baru setelah itu silaturahim antar keluarga. Berkunjung ke rumah-rumah sanak saudara. Menyambung tali silaturahim. Bermaaf-maafan. Seperti halnya tradisi Indonesia. Bagi yang di sini tak punya keluarga, seperti kami para perantau, cukup berkeliling ke kamar-kamar asrama, mengunjungi dan menyalami teman, setelah itu makan sarapan bareng, bercanda gurau menghilangkan penat, kemudian tidur. Iya, tidur. Kecapekan begadang karena masak-masakan bareng semalaman. Akhirnya tidur nyenyak. Sampai bangun salat dzuhur.

Azro Rizmy,
Tarim, Selasa, 4 Juni 2019 - 1 Syawal 1440 H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sanad Tertinggi di Muka Bumi

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru