Jihad Perantau di Hari Lebaran

"Besok lebaran!", kata salah satu orang yang mendatangi jamaah masjid Baharmi. Yang sedang tarawih. Masih di rakaat ke delapan.

Penetapan hilal idul fitri oleh kementerian Yaman memang agak lambat. Jam 8 malam baru diumumkan. Masjid-masjid Tarim yang jadwal salat isyanya di awal waktu, sudah menuntaskan tarawih saat kabar itu datang.

Masyarakat Tarim gegap gempita. Ramai bahagia. Anak-anak kecil berlarian riang dan ceria. Masjid yang mulanya masih tarawih itu, akhirnya berhenti, lantas mengumandangkan takbiran. Penuh nuansa gembira.

Kontras dengan suasana yang kami, para perantau, rasakan. "Aduh, besok udah lebaran aja, belum nyuci baju nih", kata temanku, dan aku mengangguk setuju. "Iya, aku juga. Berarti malam ini kudu nyuci, pagi harus kering", tambahku.

Betul juga. Malam itu ruang jemuran asrama mendadak penuh. Teman-teman lagi ramai-ramainya mencuci pakaian buat besok lebaran.

Memangnya tidak ada baju baru buat lebaran? Ah. Tidak ada budaya beli baju baru di kalangan kami, para santri perantau. Ada, tapi sebagian saja. Cukup mengenakan pakaian putih, atau jubah gamis, disetrika rapi, tambah peci putih, dan sorban. Sudah. Berangkat salat ied. Foto-foto. Selesai. Sesederhana itu momen lebaran kami.

Pada pagi idul fitri itu, sebetulnya Ahli Tarim sama seperti masyarakat di Tanah Air. Semua berlebaran. Memakai baju baru, rapi dan bagus. Berangkat keluar rumah bareng keluarga. Berkunjung-kunjung ke tetangga dan sanak famili. Menjalin kembali ikatan silaturahim. Nuansa itu sama. Sebagaimana tradisi yang ada di Indonesia.

Namun beda untuk kami. Kami yang tak punya keluarga di tanah ini. Usai salat ied, kami foto bersama teman senasib seperjuangan. Riang gembira. Diposting di media sosial. Menampakkan kebahagiaan bersama kawan-kawan sesama rantauan. Tapi, betulkah mereka bahagia?

Sepulang dari masjid, kami keliling kamar-kamar di asrama. Saling berjabatan tangan. Berpelukan. Maaf-maafan. Kami saling menganggapnya masih keluarga. Sesama saudara. Kadang merasa terharu aku menyaksikannya. Itu lah anak rantau. Jauh dari keluarga. Teman pun menjadi gantinya. Teman yang 24 jam selalu bersama. Di kala suka maupun duka.

Masih dengan suasana haru itu, kami makan bersama. Sarapan pakai menu nasi. Iya, pakai nasi. Itu momen yang cukup langka. Setiap hari, sepanjang tahun, menu sarapan kami adalah roti. Dengan manisan yang bervariasi. Namun untuk kali ini, kami makan nasi. Hasil tangan sendiri. Dengan menu masakan khas Nusantara. Ada yang masak gulai. Ada yang opor ayam. Ada juga daging krengsengan. Ditambah es buah plus susu. Yang juga khas minuman favorit ibu pertiwi.

Makanan untuk sarapan itu kami masak pada malam harinya. Kami begadang. Bareng-bareng masak. Sampai matang dan siap saji. Lalu di akhir malamnya, berangkat ke masjid-masjid Tarim. Mengikuti agenda ihya' lailatil ied. Yang sudah mendarah daging dalam budaya religi masyarakat Tarim. Sampai subuh.

Hari itu Indonesia belum lebaran. Masih puasa Ramadhan hari ke 30. Andai lebaran Yaman dan Indonesia bebarengan di hari yang sama, usai salat ied, usai sarapan, kami akan telfon video dengan keluarga. Melepas rindu. Saling meminta maaf dan meminta restu doa.

Namun kali ini tidak. Lebaran Yaman dan Indonesia tidak bebarengan. Di sini lebaran. Di Indonesia masih Ramadhan. Suasana pagi itu begitu hening. Tak ada telfonan, ataupun ucapan-ucapan dari keluarga di tanah kelahiran. Itu lah yang terjadi pada lebaran kali ini. Terasa sunyi, sepi dan kosong.

"Rasanya seperti bukan hari lebaran", kata satu kawanku.

"Iya. Lebaran kali ini sunyi dan hening", ujar yang lain.

Begitulah secuil kisah yang kami rasakan. Aku sendiri sudah berkali-kali merasakannya. Berturut-turut. Tiga kali puasa, tiga lebaran. Senasib dengan Bang Toyyib. Dan itu tergolong masih beruntung. Karena pertengahan studi S1 aku pernah pulang ke Indonesia. Lain halnya kebanyakan teman-teman S2-ku di sini. Yang dari awal keberangkatan S1 tak pernah pulang. Terhitung jalan 7 tahun. 6 kali puasa, 6 kali lebaran, berturut-turut. Kami menyebutnya: Bang Toyyib Kuadrat.

Kehidupan di dunia ini memang tak sepenuhnya berisi kebahagiaan. Tentu ada sisi ujian. Buat apa hidup jika tak ada ujian dan tak ada rintangan? Untuk apa surga di akhirat nanti, jika hidup di dunia tidak ada yang perlu diperjuangkan?

Anak-anak muda banyak yang ingin studi di Tarim. Kota penuh berkah ini. Seperti kami. Namun jelas, tak semua bisa menggapai angan-angannya itu. Banyak persyaratannya. Dukungan keluarga. Sanggup berbahasa. Sehat jasmani rohani. Dan mampu finansial. Sungguh betapa bahagianya menjadi yang terpilih di antara mereka itu. yang bisa menikmati belajar di sini. Di sekeliling manusia-manusia berjiwa suci. Yang ramah, yang tentram, yang  damai nan syahdu.

Namun jauh dari keluarga adalah taruhannya. Orang mengira: semakin jauh, semakin lama tak jumpa, orang akan terbiasa, lama-lama juga lupa. Tapi tidak untuk kami. Semakin jauh berkelana, semakin lama tak jumpa, keluarga di kampung halaman semakin terasa amat berharga, sangat istimewa, begitu bernilai agungnya. Betul kata pepatah. Bahwa sesuatu akan tersadari keistimewaannya, ketika kita kehilangannya.

Maka:

Jika kau menjumpai orang yang rela berpisah dari keluarga, tanah air dan orang-orang yang ia cintai, demi mencari ilmu, demi memperbaiki diri, lillahi taala, maka ketahuilah, dia adalah mujahid.

Mereka yang berpisah dari hijaunya alam, segarnya aliran sungai, sejuknya hembusan udara, berpindah ke tanah yang kontras dengannya, adalah mujahid.

Mereka yang sabar atas dunia pengasingan dan kerasnya perantauan, adalah mujahid.

Mereka yang kala sakit, tak menemukan belaian hangat seorang ibu. Dan saat kelelahan, tak temukan ketegaran dan motivasi seorang ayah, adalah mujahid.

Dan mereka. Yang berlebaran di hari raya jauh dari orang-orang yang dicintainya, lalu memori ingatannya memutar berjuta kenangan indah bersama mereka, lalu tabah dan bertahan, adalah mujahid.

Sungguh. Tiap hembusan nafas mereka. Setiap butir kerinduan yang melintas di hati mereka. Setiap getaran jiwa mereka. Setiap air mata yang menggenang di kelopak matanya, lalu mengalir dengan syahdunya, adalah jihad. Jihad yang sungguh Allah tak akan menyia-nyiakan perjuangan besar itu. Malaikat berebutan untuk memintakan ampun dan mendoakan mereka.

Itu lah mereka para perantau.

Itu lah mereka para mujahid.

Kebanggaan sejati ada pada pundak mereka.

Azro Rizmy,
Tarim, Sabtu, 8 Juni 2019

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sanad Tertinggi di Muka Bumi

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai