Agustusan di Yaman, Bukti Nasionalisme Santri Garuda

300 tahun lebih negeri kita dijajah. Oleh negara-negara Barat. Dan oleh Jepang beberapa tahun di masa akhir penjajahan. Mereka kaum penjajah mengaku berpendidikan tinggi dan berperadaban maju. Tapi naifnya, yang ia gaungkan sebagai ilmu dan peradaban, justru melegalkan penjajahan, merampas kekayaan alam yang bukan miliknya, menindas tuan rumah dan melecehkan perikemanusiaan. Manusia oleh mereka dibagi berkasta-kasta. Dalam pemberlakuan hukum, juga dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Bangsa Eropa (kaum penjajah) sebagai kasta tertinggi. Disusul bangsa Indo (blesteran Eropa-pribumi). Lalu kasta terbawah: kaum pribumi.

Sepanjang ratusan tahun itulah, para pendahulu kita --sebagai kaum pribumi- berjuang mati-matian. Jihad bertumpah darah memerangi segala bentuk penjajahan. Melawan segala macam penindasan. Demi tanah air tercinta. Tak peduli anak-anak menjadi yatim karena kematiannya. Tak peduli pula istri menjadi janda. Yang terpenting adalah mereka, atau setidaknya anak-cucunya, harus merasakan kemerdekaan yang hakiki, tidak diperbudak oleh kaum penjajah yang layaknya binatang tak manusiawi.

Hingga pada akhirnya, perjuangan itu berada pada puncaknya. Pertengahan abad ke-20, setelah terjajah 350 tahun, terjadilah momen pertempuran antara hidup dan mati. Dengan pasokan senjata ala kadarnya. Bambu runcing, batu, balok kayu, maupun jimat kesaktian. Ribuan masyarakat syahid dalam pertarungan. Demi satu kata berjuta makna, yaitu: kemerdekaan.

الحرية تاج على رؤوس الأحرار ، لا يعرفه إلا العبيد

Kemerdekaan adalah mahkota di atas kepala bangsa yang merdeka, tak bisa melihatnya kecuali bangsa yang terjajah.

Dan sampailah pada hari yang lama dinantikan. Jumat, 17 Agustus 1945. Pada bulan Ramadan. Proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. Indonesia menjadi negara merdeka, berdaulat dan diakui Dunia. Meski setelah 17 Agustus tidak lantas negeri kita menjadi aman dan tentram seketika. Masih berlanjut perjuangan dan perlawanan pada pihak penjajah yang masih ingin mempertahankan kekuasaan. Namun semua bisa teratasi, berkat keringat-darah pendahulu kita. Hingga anak-cucu mereka akhirnya merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya, yang lama dicita-citakannya.

Oleh karenanya, 17 Agustus adalah tanggal yang amat istimewa dan momen yang kita nanti-nantikan kedatangannya. Meskipun saat ini kami sedang tak berada di tanah air, bukan berarti kami melupakan tentangnya. Justru kerinduan negeri tercinta yang menggebu-gebu inilah menjadikan kami semakin merasakan betapa istimewanya.

Di Yaman, di tanah rantau ini, kami pun merayakan gegap gempitanya. Sama seperti para perantau Indonedia di negara lainnya. Walaupun Yaman tampak tidak seistimewa perhelatan Agustusan di negara selainnya. Ambil contoh Jerman dan Maroko. Yang kawan-kawan di sana juga meramaikan acara HUT RI. Di area KBRI. Merayakannya bersama Dubes dan staf-stafnya. Dijamu dengan hidangan makan gratis dengan menu kuliner khas Nusantara. Di Yaman? Boro-boro dijamu sedemikian rupa, dihadiri pihak KBRI saja tidak pernah. Tapi jangan salah, Agustusan kami tak kalah istimewa, jika dilihat dari sisi perjuangannya.

17 Agustus 2014. Upacara pertama kali yang kuhadiri. Bertempat di pantai kota Mukalla. Ya, di sebuah pantai. Sebuah pesisir samudera tak tampak ujungnya, yang jika kau berlayar lurus ke arah jarum jam setengah lima, akan sampai di ujung pulau Sumatera. Ide upacara berlokasi di pantai itu cukup mendadak. Dan kami saat itu masih belum punya bendera untuk dikibarkan. Malam sebelum hari H, kawan-kawanku lantas mencari kain di pasar pusat kota. Tidak dapat, toko-toko kain tidak ada yang buka malam hari. Tak ada pilihan lagi. Kawanku pun nekat. Baju koko warna merah miliknya ia potong. Begitu juga dengan baju putihnya. Ia jahit potongan dua baju itu hingga menjadi sebuah bendera merah-putih. Tepat tanggal 17 Agustusnya, kawan-kawan Indonesia di Mukalla sukses mengadakan upacara di pantai pesisir samudera. Kisah ini oleh kawanku ditulis dan diposting di NU Online dengan judul "Di Mukalla, Sang Saka dari Baju Koko Berkibar".

Agustus 2018. Malam hari. Entah tanggal berapa tepatnya. Upacara yang seharusnya tanggal 17 itu akhirnya diundur. Karena pada minggu-minggu itu kami sedang pada waktu yang kurang memungkinkan. Hanya diundur, tidak ditiadakan. Itu pun diselenggarakan pada malam hari. Lokasinya di lapangan kampus Al-Ahgaff Tarim. Dikemas dengan upacara, lomba-lomba kerakyatan dan pentas seni. Juga dimeriahkan dengan bazar masakan Nusantara. Yang dimodel lapak-lapak jualan santri dan mahasiswa. Tidak seperti di negara lain yang serba digratiskan KBRI. Tapi kami mandiri. Dan justru itu yang membuat suasana lebih seru, kompak dan terasa nuansa kekeluargaan.

17 Agustus 2019. Malam hari. Sama seperti tahun sebelumnya. Acara dimulai dengan upacara. Lalu pentas seni dan pengumuman juara lomba. Dimeriahkan pula dengan bazar masakan Nusantara. Bedanya, upacara tahun 2019 itu saat tengah prosesi pengibaran bendera terjadi hujan deras ditambah angin yang cukup kencang. Dan itu berlanjut sampai sesi sambutan inspektur upacara. Namun kami, para pelajar Indonesia yang hadir saat itu, sedikit pun tidak goyah. Tetap khusyu mengikuti jalannya upacara.

17 Agustus 2020. Juga malam hari. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Bedanya, lokasi upacara tidak di lapangan Al-Ahgaff. Tapi di lapangan mahad Al-Aydrus. Dengan konsep yang sama: upacara, pentas seni dan bazar masakan Nusantara. Namun uniknya, pimpinan mahad dan guru-gurunya yang merupakan orang asli Yaman, ikut hadir dalam upacara kali ini. Pembawa acara tidak hanya menyampaikan kalimat berbahasa Indonesia, tapi juga menambahkannya dengan terjemah bahasa Arab. Dan uniknya lagi, kulihat ada orang Somalia-Afrika turut serta upacara. Dia hafal lagu Indonesia Raya. Saking dekatnya dia sama teman-teman Indonesia. Kadang kalau sedang bercanda, dia ganti "Indonesia" menjadi "Somalia tanah airku, tanah tumpah darahku".

Itu hanya sekelumit cerita acara upacara. Belum lagi bagaimana suasana di balik layar ketika mempersiapkannya. Mulai dari izin tempat, perizinan teman-teman Indonesia di setiap lembaga agar bisa hadir, latihan baris-berbaris, persiapan pentas seni dari jauh hari, menyiapkan lapangan dan otlet-otlet bazar, hingga merakit tiang bendera, dan masih banyak lagi. Itu semua dilakukan secara mandiri. Dan dengan biaya PPI sendiri. Kalaupun ada bantuan dana dari KBRI, mungkin hanya beberapa persennya saja.

Perjuangan menyukseskan acara HUT Tanah Air bagi kami adalah suatu kenikmatan. Puncak kenikmatan itu adalah ketika pengibaran bendera merah putih, seraya hormat tegap pada bendera, dan bersama-sama menyanyikan Indonesia Raya. Kecintaan pada bumi pertiwi semakin menyala. Kerinduan pada kampung halaman semakin membara. Jiwa nasionalisme ada, dan tambah berlipat ganda.

Santri Garuda. Itulah sebutan yang sangat membanggakan untuk kami. Kami para santri yang studi di luar negeri, dengan nasionalisme yang amat tinggi. Tak peduli meski kami sering dituduh yang tidak-tidak. Hanya karena hidup di negara konflik. Di negara Timur Tengah pula. Kadang dituduh radikal. Kadang juga dituduh kearab-araban. Padahal anak muda-mudi di Tanah Air pun --yang tidak pernah ke luar negeri- juga kerap kebarat-baratan, atau kekorea-koreaan, minimal dalam hal berbahasa dan berpenampilan. Namun semua tuduhan itu bagi kami hanyalah gonggongan belaka. Toh, kecintaan pada Indonesia dari sosok penuduh itu belum tentu lebih besar dibanding orang yang dituduh.

Cinta tanah air sebetulnya adalah fitrah dan naluri manusiawi. Terlebih kampung halaman yang menyimpan berjuta memori. Masa kanak-kanak, berkumpul bersama keluarga, dan bermain bersama teman. Tak kan terlupakan. Dan tak tergantikan. Meski kau telah merantau di negara maju yang menyilaukan. Penyair berkata:

نقل فؤادك حيث شئت من الهوى * ما الحب إلا للحبيب الأول

Alihkan hatimu kepada siapapun yang kau mau * tidak ada cinta sejati, kecuali untuk kekasih pertamamu

كم منزل في الأرض يألفه الفتى * وحنينه أبدا لأول منزل

Betapapun banyak singgahan yang menentramkan hati seorang pemuda * namun kerinduan sejatinya tetap hanya untuk tanah airnya.

Azro Rizmy,
Tarim, Rabu, 19 Agustus 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sanad Tertinggi di Muka Bumi

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai