Menengok Sistem Perbankan Syariah di Yaman

Kata Bank diambil dari bahasa Italia 'banco', yang berarti bangku atau meja panjang. Hal itu karena pada abad pertengahan dulu, para bankir melakukan transaksi mereka dengan duduk di hadapan meja panjang di tempat-tempat khalayak umum. Awalnya hanya kios-kios sederhana, lalu berkembang menjadi institusi besar terstruktur seperti bank-bank yang dikenal saat ini. Bermula hanya sekedar jasa penitipan dan penukaran uang, kegiatan bank berkembang ke bidang investasi, hingga jasa peminjaman uang dengan bunga dan jaminan tertentu.

Dalam praktek transaksi yang dilakukan bank-bank tersebut, banyak di antaranya yang menyalahi hukum syariat Islam. Seperti pemungutan bunga pinjaman, yang dalam Islam dikategorikan sebagai riba, cara jalannya transkasi yang menyalahi hukum muamalah syar'iyah, juga pergerakan investasi bank yang menggeluti bidang bisnis benda haram atau yang tidak sejalan dengan prinsip dasar ajaran Islam. Dan kegiatan perbankan itu pun terus menggurita dengan pesat dan mulai menjadi kebutuhan penting di tengah masyarakat, yang pada akhirnya berdirilah bank-bank semacam itu di negara-negara mayoritas muslim.

Kegiatan perbankan yang menyalahi syariat inilah menjadi sebab lahirnya bank-bank yang berbasis syariah (masharif islamiyah). Di antara tujuan didirikannya adalah: menyediakan pelayanan jasa bank yang sistem jalannya sesuai koridor syariat. Yaitu menghindari praktek transaksi riba, menjauhi transaksi yang mengandung unsur ghoror (ketidakjelasan atau manipulatif) dan unsur perjudian, juga tidak berinvestasi melalui perniagaan barang-barang yang diharamkan syariat Islam.

Dalam tulisan kali ini, akan dibahas sekelumit tentang sistem perbankan syariah yang dipraktekkan di bank-bank Yaman. Catatan ini diangkat dari rihlah ilmiah mata kuliah islamic finance (tamwil islami) yang juga menyinggung sistem muamalah perbankan syariah. Studi lapangan atau rihlah ilmiah ini kami jalani pada 25 Desember 2019 lalu. Dengan mengunjungi dua bank yang berada di kota Seiyun, provinsi Hadhramaut, Yaman. Yaitu: Bank Saba' Islami (Saba Islamic Bank) dan Bank Tadhamon.

Rihlah ilmiah dipimpin langsung oleh dosen kami, Syekh Dr. Ahmad bin Soleh Bafadhol, seorang pakar fiqih, ushul dan ekonomi Islam (ekis). Karya-karyanya dalam bidang Ekis banyak disanjung dunia internasional. Bahkan salah satu karyanya pernah menjadi juara buku Ekis terbaik se-Timur Tengah dan mendapatkan hadiah yang nominalnya cukup besar. Hal itu terbukti, saat kami mengunjungi dua bank itu, pimpinan tertingginya sangat takzim dan hormat pada beliau. Buku-buku karya dosen kami itu juga terlihat dipajang menjadi muka lemari di maktab dewan pengawas syariah Bank. Kepala Bank Saba mengatakan, "buku-buku karya Dr. Bafadhol inilah yang menjadi acuan dan pegangan bank kami dan beberapa bank syariah lainnya".

Dalam ulasan ini, akan saya bahas beberapa akad transaksi yang saat ini banyak dipraktekkan di bank-bank syariah. Tidak semuanya akan dibahas, melainkan hanya akad-akad unggulan yang membedakan antara bank berbasis syariah dan bank konvensional. Yaitu: murabahah lil-amir bissyira, tawarruq munadzom, ijarah muntahiyah bit-tamlik, mudlarabah musytarakah dan qaradl hasan.

Pertama, murabahah lil-amir bissyira'.

Dalam literatur fiqih klasik, murabahah berarti: menjual barang kepada orang yang tahu harganya, dengan tambahan untung. Misal, Zaid membeli mesin cuci dengan harga 300 dollar. Amar tahu harga mesin cuci yang dibeli Zaid. Lalu Zaid menjualnya kepada Amar dengan harga lebih, baik memakai nominal langsung (laba 50 dollar, misalnya, dan harga menjadi 350 dollar), atau dengan persentasenya (laba 10% dari harga asal, maka menjadi 330 dollar). Jual-beli murabahah ini hanya ada dua pihak: penjual dan pembeli. Para ulama sepakat bahwa murabahah hukumnya sah.

Namun ada sisi perbedaan antara murabahah lil-amir bissyira dan murabahah klasik di atas. Murabahah lil-amir bissyira' adalah transaksi murabahah kepada orang yang menyuruh penjual membeli barang untuk dirinya, dengan membayar secara angsuran. Misal, Amar berkata pada Zaid: "Zaid, belikan mesin cuci untukku, nanti aku beli secara murabahah". Lalu Amar membeli mesin cuci di toko dengan harga 300 dollar, dan menjualnya kepada Amar dengan harga 350 dollar melalui angsuran selama 12 bulan.

Jika contoh di atas diaplikasikan pada konteks perbankan, maka menjadi: Amar ingin beli mesin cuci tapi tak punya uang. Dia mendatangi bank, dan mengajukan murabahah. Kepada pihak bank dia berkata, "belikan mesin cuci untukku, nanti kubeli secara murabahah dan kubayar dengan angsuran". Dan Amar mengisi formulir akad. Pihak bank pun membeli mesin cuci di toko seharga 300 dollar. Lalu menjualnya kepada Amar 350 dollar nontunai, dan cara melunasinya melalui angsuran selama 12 bulan.

Secara sekilas, akad ini tampak tak ada masalah sama sekali. Namun ketika ditelaah lebih lanjut, murabahah lil-amir bissyira' adalah hilah atau trik menghindari transaksi riba. Seolah Amar meminjam uang kepada bank 300 dollar dan mengembalikannya 350 dollar secara berangsur. Tapi akad murabahah ini diperbolehkan dan dinilai sah selama proses jalannya tidak ada yang menyalahi syariat. Seperti keharusan pihak bank membeli barang itu secara langsung serah-terima, kemudian menjualnya kepada klien. Bukan dengan cara klien sendiri yang mengambil mesin cuci itu di tokonya.

Dalam akad murabahah kontemporer ini juga ada unsur ilzam waed (kewajiban menepati janji) kepada nasabah/klien -dalam contoh ini adalah Amar- untuk membeli barang yang telah dibeli bank untuknya. Dalam mazhab Syafii, tidak dibenarkan akad murabahah yang meng-ilzam-kan atas klien untuk membeli barang itu. Ia boleh membelinya, atau tidak jadi membelinya. Namun untuk mengatasi hal ini, para ulama muashirin mengambil pendapat mazhab maliki yang mewajibkan klien untuk menepati janjinya dengan cara membeli barang itu.

Murabahah lil-amir bissyira' ini menjadi usaha andalan bank-bank syariah. Bisa dikata, 90% transaksi yang dijalankan oleh bank-bank syariah adalah murabahah kontemporer ini. Karena di samping prosesnya cepat dan mudah, transaksi ini bisa dipastikan menghasilkan laba bagi pihak bank. Tapi yang perlu digarisbawahi adalah: pihak bank harus membeli barang itu dengan mengunjungi tokonya secara langsung dengan serah-terima, baru kemudian ia menjual dan menyerahkannya kepada klien. Persis seperti pihak Bank Saba yang kami kunjungi. Mereka sangat menjaga prosedur muamalah syar'iyah ini. Meskipun banyak di antara bank-bank syariah yang "nakal", dengan hanya memberikan nota pembelian barang kepada klien, lalu klien sendiri yang mengambil barang itu ke tokonya. Ini tidak sesuai prosedur syariat. Dan perlu ditegur bank yang menjalankan traksaksi sedemikian rupa.

Kedua, tawaruq munadzom.

Gambaran akad Tawaruq dalam fikih klasik, terutama fikih mazhab hanbali adalah seseorang membeli barang dengan pembayaran nontunai, lalu ia menjual barang itu pada orang lain dengan harga yang lebih murah secara tunai. Motif dari pelaku transaksi tawaruq adalah ingin mendapatkan utangan atau dapat uang secara kontan. Contoh Zaid membeli mesin cuci dari Ahmad dengan harga 300 dollar secara nontunai alias utang. Lalu Zaid menjual mesin cuci itu kepada Amar 250 dollar secara tunai. Para ulama berpendapat, jika transaksi tawaruq berjalan dengan alur yang benar, dalam artian: Zaid dan Ahmad serah terima secara langsung, begitu pula dengan Zaid dan Amar, maka tidak masalah dan hukumnya sah.

Namun pada zaman ini, akad tawaruq berkembang menjadi transaksi yang terorganisir dan sistematis. Namanya: tawaruq munadzom (tawaruq yang terorganisir). Yaitu: bank membuka jasa tawaruq untuk klien yang membutuhkan uang tunai. Dengan cara menawarkan klien untuk membeli barang dengan harga lebih tinggi secara nontunai, lalu klien mewakilkan pada pihak bank untuk menjualkan barang itu dengan harga yang relatif lebih murah secara kontan/tunai. Dengan demikian, si-klien mendapatkan 'utangan' uang tunai. Lalu nantinya klien melunasi pembayaran dengan harga lebih tinggi itu dengan cara kredit atau angsuran.

Misalkan, Zaid butuh uang 300 dollar. Ia datang ke bank untuk melakukan transaksi tawaruq. Bank menjual mesin cuci pada Zaid dengan harga 350 dollar secara nontunai/hutang. Lalu Zaid mewakilkan pada pihak bank untuk menjualkan mesin cuci itu dengan harga 300 dollar dibayar kontan. Dengan demikian, Zaid mendapatkan uang tunai 300 dollar, dan berhutang pada bank 350 dollar yang pembayarannya dengan cara kredit atau angsuran. Ini juga bentuk hilah atau trik untuk menghindari akad utang dengan bunga yang merupakan akad riba.

Namun dalam praktek lapangannya, pihak bank sering kali memanipulasi jalannya transaksi. Secara kenyataannya tidak terjadi transaksi jual beli "mesin cuci" itu. Proses itu hanya omong kosong belaka. Pihak bank hanya memberikan "pinjaman" uang tunai pada klien, lalu klien nantinya akan membayarnya dengan nilai lebih tinggi secara angsuran. Itulah mengapa, mayoritas ulama kontemporer tegas melarang dan mengharamkan tawaruq munadzom ala perbankan ini. Dan bank-bank di Yaman yang kami kunjungi pun --yakni Bank Saba dan Bank Tadhamon- tidak menjalankan praktek transaksi ini dalam kegiatan perbankannya.

Murabahah lil-amir bissyira' diperbolehkan dan dijalankan di bank-bank syariah. Sedangkan tawaruq munadzom diharamkan oleh mayoritas ulama kontemporer dan tidak diterapkan di banyak bank syariah terutama di Yaman. Mengapa demikian?

Karena perbedaan mendasar antara murabahah lil-amir bissyira dan tawaruq munadzom ada pada motif utama pelaku transaksi. Bahwa dalam murabahah lil-amir bissyira, motif utama pelakunya (klien) adalah mendapatkan barang/komoditas yang diinginkan. Sedangkan dalam tawaruq munadzom, motif utama pelakunya (klien) adalah mendapatkan utangan uang secara tunai dan membayarnya dengan nilai lebih. Dan dalam tawaruq munadzom ini juga rentan terjadi manipulasi yang tidak direstui syariat Islam.

Ketiga, ijarah muntahiyah bit-tamlik.

Dengan artian: jasa penyewaan barang (mobil atau rumah misalnya) dengan tempo waktu yang telah ditentukan, dengan total harga/upah sewa lebih tinggi dibanding harga pasaran, dengan ketentuan nanti di akhir masa sewa dan klien telah melunasi semua, barang itu akan menjadi milik si-klien. Hukum akad ini diperbolehkan oleh ulama kontemporer dengan beberapa syarat. Di antaranya: di akhir masa sewa itu pihak bank harus menjalankan transaksi hibah kepada klien sesuai kesepakatan janji antara dua belah pihak.

Transaksi ijarah muntahiyah bit-tamlik banyak dijalankan di bank-bank syariah. Bank Saba' meskipun saat ini sudah tidak menyediakan transaksi ini, namun dulunya pernah menjalankannya. Adapun bank Tadhomun sepertinya belum mempraktekkan akad ini.

Keempat, mudlarabah musytarakah.

Mudlarabah dalam fikih klasik adalah kerja sama bisnis antara dua pihak: pekerja dan pemilik modal. Laba yang dihasilkan dibagi dua belah pihak secara persentase. Kerugian ditanggung pemilik modal. Namun praktek mudlarabah musytarakah berbeda dengan mudlarabah klasik. Mudlarabah musytarakah terdiri dari tiga belah pihak: pemilik modal, bank dan pengusaha. Pemilik modalnya pun tidak hanya satu orang, tapi cukup banyak dan nilai investasinya tergolong besar. Keuntungan dibagi antara ketiga belah pihak dengan acuan persentase. Namun bank akan menjamin pada pemilik modal jika terjadi kerugian bisnis.

Transaksi model ini banyak diperdebatkan para ulama kontemporer. Termasuk di antaranya karena: adanya campur tangan bank sebagai pihak ketiga, dicampurnya seluruh modal dari banyaknya investor, cara pembagian laba berdasarkan waktu, dan jaminan bank terhadap modal investor ketika terjadi kerugian. Banyak diskusi terkait beberapa poin ini. Dan hasilnya: mayoritas ulama membolehkan model transaksi ini dan menjawab semua isykal yang ada pada poin-poin itu.

Transaksi mudlarabah musytarakah ini banyak dijalankan di bank-bank syariah. Termasuk bank Saba dan bank Tadhomun. Namun akad ini tidak menjadi prioritas utama. Karena dalam mudlarabah musytarakah keuntungan pihak bank tidak terjamin. Beda halnya dengan murabahah yang pasti menghasilkan laba.

Kelima, qaradl hasan.

Artinya: utang tanpa bunga. Akad ini juga banyak disediakan di bank-bank syariah. Meskipun ada syarat-syarat tertentu dan nominal utangnya pun ada batas maksimalnya. Di Bank Saba pernah menyediakan jasa ini, namun untuk sekarang tidak ada. Karena sebenarnya, bank syariah didirikan juga ada unsuf mencari laba, sedangkan qaradl hasan murni memberi utangan tanpa ada laba bunga sama sekali. Beda halnya dengan Bank Tadhamon. Bank ini membuka jasa qaradl hasan tapi hanya sebatas untuk kalangan internal karyawan banknya saja.

Itulah beberapa akad kontemporer yang dijalankan bank-bank syariah saat ini. Tidak sesimpel dan sesederhana akad-akad yang dikenalkan dalam kitab fikih klasik. Perlu ada telaah lebih dalam lagi melalui khazanah fikih lintas mazhab. Kepala Dewan Pengawas Syariah Bank Saba saat menemui kunjungan kami, berkata: "saya sangat senang sekali setiap ada kunjungan santri atau mahasiswa syariah ke sini. Studi lapangan di bank-bank berbasis syariah ini penting. Agar tidak gegabah dan buru-buru menilai buruk seluruh transaksi perbankan syariah. Lantas menyamakannya dengan sistem bank konvesional dan menghukumi haram mutlak tanpa menelaah lebih dalam jalannya transaksi perbankan syariah itu".

Memang betul. Santri perlu mempelajari praktek perbankan syariah. Karena bab muamalah dalam kitab kuning klasik saja tidak cukup untuk menghadapi problematika zaman ini. Perlu juga membuka wawasan fikih lintas mazhab. Kalau perlu ambil pendapat ulama klasik minoritas yang mu'tabar, yang sesuai kondisi dan kemaslahatan umat. Karena berpacu 100% pada muamalah mazhab syafii untuk diterapkan pada zaman modern ini sangat sulit sekali, bahkan bisa dikata nyaris mustahil. Sebetulnya, setiap ada larangan, Islam pasti memberikan solusi dan jalan keluar. Agama ini adalah agama yang mudah dan memudahkan. Syariatnya tidak mungkin menyulitkan. Wallahu a'lam wa ahkam.

Azro Rizmy,
Tarim, Rabu, 12 Agustus 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Sanad Tertinggi di Muka Bumi