"Pulang Bawa Ilmu, Bukan Budaya"

Mencari ilmu merupakan tugas yang harus diemban oleh setiap manusia. Tanpa ilmu -juga adab, manusia tak ada bedanya dengan binatang. Islam begitu memotivasi umat manusia agar terus belajar dan menuntut ilmu. Tidak hanya memotivasi, Islam bahkan mewajibkannya. Baik wajib individual (fardlu ain) seperti: ilmu agama dengan kadar yang bisa membenarkan aqidah, mengesahkan ibadah, dan yang membersihkan hati. Ada juga yang wajib kolektif (fardlu kifayah), seperti ilmu kedokteran, ekonomi, arsitektur dsb yang mana profesi dalam bidang ilmu tersebut harus ada dalam satu masyarakat, agar mampu mandiri tanpa bergantungan total pada bangsa lain. Dan jika dalam satu masyrakat tidak ada profesi itu sama sekali, maka semua penduduknya akan berdosa.

Demi mendapatkan ilmu-ilmu yang wajib tersebut (baik fardlu ain maupun fardlu kifayah), seseorang diharuskan untuk mencari dan mempelajarinya meskipun itu harus bepergian ke luar kampungnya. Atau ke luar kota. Atau bahkan ke luar negeri. Rasulullah Saw bersabda: uthlubul ilma walaw bis-shin, tuntutlah ilmu meski sampai ke negeri Cina. Artinya, sejauh apapun itu, carilah ilmu, demi kemaslahatan pribadi, keluarga, maupun kemaslahatan umat dan masyarakat luas.

Oleh karenanya, saat ini banyak sekali pelajar-pelajar Tanah Air yang berjuang merantau hingga ke luar negeri. Untuk mencari ilmu dan melanjutkan studi. Totalnya hingga ribuan. Mereka dinaungi oleh organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), baik dalam skala wilayah (semisal PPI Hadhramaut), skala negara (PPI Yaman), skala kawasan (PPI Timtengka), hingga skala dunia (PPI Dunia).

Di antara nilai positif lanjut studi di luar negeri adalah: di samping unggul dalam segi keilmuan, merantau ke luar negeri juga memberikan banyak pengalaman hebat, memperluas wawasan, melancarkan bahasa, mengenal banyak budaya, juga memahami watak manusia yang bervariasi sesuai asal daerahnya. Dan yang paling dominan adalah: bahwa adaptasi di lingkungan luar negeri menumbuhkan tenggang rasa dan toleransi pada perbedaan budaya setempat. Sehingga kita bisa belajar menghormati, menghargai dan mematuhi adat istiadat daerah yang kita singgahi. Seperti wejangan pepatah "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung".

Sejatinya, budaya dan kultur suatu daerah musti saling berpengaruh dengan budaya daerah lain. Dalam artian: budaya itu mempengaruhi dan dipengaruhi antara satu sama lain. Saling mengadopsi dari daerah luar, lalu sedikit demi sedikit akan melekat, hingga mengakar kuat di tempat itu, lantas menjadi bagian dari budaya mereka sendiri. Dan tukar menukar budaya sedemikian rupa adalah hal yang sangat lumrah di dunia ini. Tinggal bagaimana cara adopsi masyarakat itu dengan bagus dan cermat. Budaya luar yang baik dan maju, seyogyanya mereka ambil dan terapkan. Sedangkan budaya buruk dan menyalahi norma, mereka tolak dan buang jauh-jauh.

Oleh karenanya, sebagai perantau yang hidup di negeri orang dan jauh dari Tanah Air, mereka --terkhususkan saya sendiri, musti menekankan beberapa poin:

Cari dan bawa ilmu sebanyak mungkin

Jauh dari keluarga dan kampung halaman adalah perjuangan tinggi yang tak ternilai harganya. Tak bisa ditukar dengan harta, tak bisa pula dibayar dengan uang. Maka, selama masih di negeri rantauan, gunakan waktu seoptimal mungkin. Gali semua ilmu yang bisa digali. Jangan biarkan satu hari pun lewat tanpa belajar. Walau sedang dalam liburan. Meski hanya melalui bacaan buku santai atau tontonan video berfaedah. Hadiahkan ilmu itu kepada masyarakat, kampung halaman, dan negeri tercinta. Pahala mencari ilmu sangatlah luar biasa. Baik ilmu yang fardlu ain, maupun ilmu yang fardlu kifayah. Sayap-sayap malaikat selalu menaungi para penuntut ilmu, seraya mendoakan dan memintakan ampunan untuknya.

Selektif pada budaya lingkungan sekitar

Lahir dan tumbuh di negara berkembang, lalu merantau ke negeri yang lebih maju, diakui atau tidak ia akan merasakan silau dan terkagum pada peradaban tempat ia singgah yang lebih memukau. Hingga kadang kala ia lupa memilah mana perilaku baik dan mana yang buruk. Tidak semua kebiasaan warga negara maju menjadi tolak ukur kebaikan suatu hal, tidak pula keburukannya.

Negara yang lingkungannya sangat mendukung untuk hidup berkebiasaan baik, suasananya khas keilmuan, wilayah yang masyarakatnya beradab dan berakhlak, maka teladani, ambil pelajaran, lalu adopsi agar menjadi budaya yang melekat pada diri sendiri. Dan sebaliknya, negara yang lingkungan pergaulannya didominasi perbuatan-perbuatan melenceng, sebagai perantau kita harus mempunyai prinsip kuat, untuk tetap selalu menjaga pergaulan, menjaga makanan halal, dan menjauhi perilaku yang menyimpang

Jangan impor budaya negatif

Budaya negatif yang dimaksud di sini adalah budaya yang melanggar norma agama, menyalahi norma masyarakat dan/atau melenceng dari adat istiadat Nusantara yang notabene bernuansa ketimuran.

Budaya-budaya negara maju --terutama Barat, banyak sekali yang bertolak belakang dengan budaya khas ketimuran Nusantara. Budaya pergaulan bebas tanpa batas, lumrahnya perilaku seks di luar nikah, cara berpakaian minim bahkan telanjang bulat, adalah beberapa contoh budaya yang buruk menurut perspektif peradaban timur, dan tertolak secara naluri manusia.

Semerta-merta meniru tingkah laku mereka hanya karena silau akan peradaban Barat, lalu membawanya pulang ke Tanah Air adalah tindakan bodoh dan kurangnya bersyukur atas nikmat peradaban timur negeri Nusantara.

Jangan impor pemikiran yang menyimpang

Pengalaman dan wawasan memang banyak didapat oleh para perantau yang studi di luar negeri. Tak terkecuali pemikiran-pemikiran modern yang berkembang di negeri rantauan. Ada yang positif, ada pula yang negatif.

Indonesia telah memiliki Pancasila sebagai asas bernegara dan standar cara berpikir masyarakatnya. Di luar negeri, akan kita jumpai paham-paham yang menyimpang dari lima sila Pancasila. Baik pemikiran ekstrem kanan --dalam hal ini seperti radikalisme atas nama agama yang berkembang di sebagian negara Timur Tengah, maupun ekstrem kiri seperti liberalisme yang berkembang di negara-negara Barat.

Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai poin pertama pada Pancasila adalah asas penting, bahwa Indonesia adalah negara yang berketuhanan dengan masyarakatnya yang religius. Maka, budaya Barat semacam paham sekularisme --pemisahan agama dari politik, masyarakat dan kehidupan pribadi- adalah paham yang menyimpang dari poin penting Pancasila. Dan di negeri Indonesia ini, tak ada masalah jika mengajukan hukum agama menjadi hukum negara, asal melalui jalur konstitusi yang sah dan disetujui parlemen.

Begitu pula paham tentang legalisasi LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) yang semerbak di negara-negara Barat. Dalam konteks keindonesiaan perilaku ini jelas tertolak. Melegalkan pernikahan LGBT adalah sesuatu yang tak beradab menurut perpektif ketimuran. Menolaknya adalah suatu keharusan. Meski tetap menghormati para pengidap seks menyimpang itu sebagai saudara sesama manusia, dengan mendukung mereka agar berusaha berhenti dan berjuang untuk sembuh dari hal yang menyalahi naluri-tabiat manusia itu.

Maka, pulanglah bawa ilmu, bukan budaya

Dalam artian: pulanglah membawa ilmu dan pengetahuan yang bermanfaat untuk umat, memajukan peradaban negeri, dan memakmurkan masyarakatnya. Bawa pula budaya positif. Tanamkan pada diri sendiri, lalu tebarkan pada lingkungan sekitar. Hingga melekat, mendarah daging dan mengakar kuat. Jangan adopsi budaya-budaya buruk dari luar. Jangan pula kau bawa itu pulang ke kampung halaman.

Sekali lagi, pulanglah membawa ilmu. Bawa juga budaya positif, dan buang jauh-jauh budaya negatif.

Azro Rizmy,
Rabu, 5 Agustus 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sanad Tertinggi di Muka Bumi

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai