Hampa
100 tahun yang lalu bagaimana wujudku, aku tak tahu. Yang jelas belum ada. Bahkan ayah-ibuku pun belum ada. Belum ada. Dan belum ada. Kalimat "belum ada" itu semakin banyak kuulang-ulangi semakin pula membuatku linglung. Sebetulnya apa hakikat hidup ini? Mengapa ada hidup dan ada mati, yang jauh sebelum keduanya hanyalah ketiadaan, kosong dan sepi?
Aku memandang cermin. Melihat diriku di seberang sana. Lantas bertanya-tanya, siapa gerangan kau yang di sana? Apakah itu kau wahai diriku? Apakah itu wajahmu, postur tubuhmu, dan mengapa kau bisa kugerakkan sesuai kemauanku? Wahai diriku, mengapa tubuh ini selalu butuh udara keluar-masuk? Mengapa dada sebelah kiri-tengah selalu ada detak berdegup?
Lagi-lagi aku menggerak-gerakkan tubuhku. Kepalaku, tanganku, jari-jariku, pinggulku, dan juga kakiku. Mengapa aku bisa terperangkap dalam kerangka ini? Mengapa aku tak bisa lepas dari ragamu? Kau ini apa, dan kau ini siapa? Sampai kapan kau selalu menyelimutiku? Apa kau tunggu sampai aku pergi, lantas kemudian kau lenyap termakan cacing dan ulat?
Lalu mereka yang berlalu-lalang di sekitarku itu siapa? Teman-temanku yang juga hidup di dunia ini? Apakah mereka juga merasakan hal yang sama sepertiku? Ah, sepertinya di dunia ini hanya ada aku. Tapi oh, aku pasti salah dan mengada-ngada. Aku bukan siapa-siapa, bukan pula apa-apa. Aku bermula dari ketiadaan, begitu pula mereka.
Namun satu persatu mereka mulai meninggalkanku. Siapapun itu. Atau barangkali aku lah yang akan lebih dulu meninggalkan mereka. Satu bulan lalu, teman dekat yang biasa bercanda lepas denganku, menghembuskan nafas terakhirnya. Entah apa istilahnya: dia pergi, atau dia berpulang. Lalu hari ini, teman yang biasa duduk bareng minum teh susu di pagi hari dan murah senyum itu, juga pergi, sekaligus berpulang.
Lalu bagaimana denganku? Kapan tiba giliranku? Seberapa setia raga ini akan menemaniku? Apakah hidup manusia senaif itu? Apakah manusia itu sesimpel komponen jiwa dan raga? Yang ketika jantung berhenti berdetak, dan nafas tak lagi berhembus, raga itu diam, tak mampu bergerak, dan lenyap untuk selamanya?
Tuhan, semakin linglung aku memikirkan. Aku hanyalah ketiadaan, aku adalah kekosongan, aku adalah kehampaan. Aku bukan siapa-siapa. Bukan pula apa-apa. Yang ada padaku adalah milikMu. Tubuh ini, pakaian ini, postur ini, keindahan, ketampanan, kecerdasan, kepintaran adalah murni milikMu. Kapan pun Kau berhak mengambilnya dariku. Kapan pun itu. Meski dalam sekejab. Walau tanpa sebab.
Tuhan, kuakui segala anugerah dan nikmatMu padaku. Baik yang kusadari, maupun yang tak kusadari. Kau Maha Tahu, Tuhan. Kau tahu segala perbuatanku di belakang layar manusia. Kau tahu pula detail aib-aibku. Yang andai Kau buka satu saja di antaranya, maka jangankan manusia sudi memujiku, sekedar mendengar namaku disebut pun mereka pasti akan muak dan jemu.
Ya Allah, ampuni dosa-dosa mataku, ampuni dosa-dosa mulut dan lisanku, hidungku, telingaku, tanganku, kakiku, kemaluanku, pikiranku, nafasku, dan semua bagian tubuh pemberianMu yang malah kerap kugunakan untuk berbuat maksiat kepadaMu. Lenyapkan dariku kenikmatan maksiat. Selalu berikan aku kenikmatan taat.
Ya Allah, aku sendirian di alam ini. Dulu aku belum ada, suatu saat akan tiada, dan sekarang kosong dan hampa. Hanya Kau Yang Ada. Maha Ada. Selalu Ada dan Kekal selama-lamanya.
Azro Rizmy,
Tarim, Rabu, 23 September 2020
Di hari wafatnya kawan kami, Sayyid Segaff bin Hasan Aljufri Palu. Sebulan setelah wafatnya sahabat kami, gus Arwani Asfiya Pasuruan. Rohimahumallah rahmatal abrar.
Komentar
Posting Komentar