Pengaruh Alquran dan Qiraat Terhadap Kaidah Ilmu Nahwu
Adalah Alquran, satu-satunya kitab suci yang memiliki kualitas makna dan sastra yang tak tertandingi, dengan keautentikannya yang asli dan abadi. Alquran diwahyukan memakai bahasa Arab yang indah, fasih, benar dan baku. Oleh karenanya, ia menjadi sumber pertama dan utama dalam pembentukkan kaidah-kaidah linguistik bahasa Arab, atau yang dikenal dengan ilmu Nahwu.
Alquran dituliskan dalam mushaf dengan penulisan huruf yang seragam, namun bisa dibaca dengan versi yang beragam. Oleh karenanya, pada zaman Sayyidina Utsman ra., Alquran ditulis dengan model penulisan khusus yang disebut rasm utsmani. Dengan rasm ini, Alquran dapat dibaca dengan versi beragam, tanpa ada perbedaan huruf dan kalimat secara global. Versi bacaan Alquran tersebut saat ini dikenal dengan istilah Qiraat. Yakni cara baca Alquran dengan versi tertentu yang diajarkan langsung oleh Nabi, lalu diriwayatkan secara mutawatir oleh para Sahabat, Tabiin dan ulama setelahnya, kemudian dikenal sebagai bacaan salah seorang Imam.
Qiraat (versi bacaan) pada Alquran yang hingga saat ini digunakan, terkenal dengan istilah: Qiraat Sab'ah, yakni qiraat tujuh imam dengan masing-masing imam memiliki dua periwayat. Atau Qiraat Asyrah: qiraat sepuluh imam, yakni qiraat sab'ah (tujuh imam) ditambah qiraat tsalasah (tiga imam). Semuanya diriwayatkan secara mutawatir. Dan dipandang dalam segi bahasa Arab, semua qiraat itu dinilai adakalanya afsoh (sangat fasih), adakalanya fasih. Adapun versi qiraat yang banyak dipakai pada zaman ini, terutama di Indonesia, adalah qiraat Imam Ashim melalui riwayat Hafesh, satu dari sekian banyak versi qiraat.
Contoh sederhana qiraat beragam tersebut adalah lafaz: عليهم , ada versi dibaca alaihim seperti qiraat Imam Ashim dan banyak lainnya. Ada versi alaihum dengan dhommah pada ha', yakni qiraat Imam Hamzah. Ada juga versi alaihimuu, dengan menambahkan silah dhommah panjang pada mimnya ketika washol, yakni qiraat Imam Ibnu Katsir.
Perbedaan versi cara baca Alquran ini sangat berpengaruh pada pembentukan kaidah-kaidah linguistik Bahasa Arab. Baik ilmu Nahwu, Shorof, maupun Balaghoh. Sebab, Alquran beserta beragam versi qiraatnya adalah sumber utama dalam pembentukkan kaidahnya. Lalu disusul hadits Nabi yang diriwayatkan secara tekstual, kemudian syair-syair kuno Arab yang didendangkan orang-orang Arab tulen.
Termasuk di antara contoh kaidah Nahwu yang terbentuk atas dasar beragam versi qiraat adalah:
Huruf "IN" (إن) almukhaffafah bisa beramal seperti "INNA" (إنَّ), yaitu menasabkan mubtada dan merafakan khabarnya.
Kaidah ini terbentuk atas dasar qiraat surah Hud ayat 111:
وَإِنَّ كُلًّا لَّمَّا لَيُوَفِّيَنَّهُمْ رَبُّكَ أَعْمَالَهُمْ
Dalam versi qiraat lain, yakni qiraat Imam Nafi dan Imam Ibnu Katsir, lafaz INNA pada ayat tersebut dibaca IN dengan tetap beramal seperti INNA, yakni menasabkan mubtada dan merafakan khabarnya:
وَإِن كُلًّا لَّمَا لَيُوَفِّيَنَّهُم رَبُّكَ أَعْمَالَهُمْ
Atas dasar versi qiraat yang beragam di atas ini terbentuklah sebuah kaidah Nahwu terkenal, bahwa: lafaz IN bisa beramal seperti INNA.
Namun sebetulnya, ada juga perbedaan pendapat di kalangan ulama nahwu bahkan pernah terjadi perdebatan sengit antar satu sama lain. Itu terjadi pada bacaan Alquran versi qiraat yang dirasa asing dalam tatanan bahasa Arab. Ada yang menolak qiraat tersebut dan membantahnya. Ada juga yang menerima dan tetap menjadikannya sebagai rujukan utama. Semisal pada surat Al-An'am ayat 137. Dalam versi qiraat mayoritas para imam, ayat itu dibaca:
وَكَذَٰلِكَ زَيَّنَ لِكَثِيرٍ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلَ أَوْلَادِهِمْ شُرَكَاؤُهُمْ
Dalam versi lain, yaitu qiraat Imam Ibnu Amir As-Syamy:
وَكَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِكَثِيرٍ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلُ أَوْلَادَهُمْ شُرَكَائِهُمْ
Versi Imam Ibnu Amir ini, lafaz Zayyana dibaca Zuyyina. Dan yang lebih menarik lagi, di situ terjadi pemisahan antara mudhof dan mudhof ilaih-nya. Perhatikan dengan seksama, lafaz Qatlu adalah mudhof yang sekaligus naib fail marfu', dan Syurakaihim adalah mudhof ilaih-nya. Antara keduanya dipisah oleh lafaz lain, yakni lafaz Awladahum sebagai maf'ul bih yang memisahkan antara mudhof dan mudhof ilaih.
Timbullah perdebadan sengit atas sebuah kaidah nahwu, apakah mudhof dan mudhof ilaih boleh dipisah dengan lafaz lain?
Ada ulama Nahwu yang tegas menolaknya. Bahwa, tidak boleh mudhof dipisah dengan mudhof ilaih, kecuali pemisah itu berupa dhorof. Itupun hanya berlaku pada syair Arab, tidak boleh pada kalimat prosa biasa, dan tidak mungkin itu terjadi dalam lafaz Alquran yang suci. Dalil hanya dibolehkan dhorof sebagai pemisah susunan mudhof dan mudhof ilaih ada pada syair-syair Arab terdahulu. Selain syair, tidak ada dan tidak boleh.
Di antara yang tegas menolak itu adalah Imam Zamakhsyari. Ulama nahwu terkemuka penulis kitab fenomenal Tafsir Al-Kassyaf. Zamakhsyari menentang qiraat Ibnu Amir dan secara tidak langsung ia menganggap qiraat itu murni buatan Ibnu Amir, bukan asli dari Rasulullah Saw. Selain Zamakhsyari, ada juga Abu Ghonim Ahmad bin Hamdan. Ia juga menolak qiraat ini, ia berkata "sesungguhnya qiraat Ibnu Amir ini tidak diperkenankan dalam linguistik Bahasa Arab, itu adalah kekeliruan orang alim".
Namun, kubu yang menerima qiraat ini dan menerapkannya sebagai kaidah Nahwu pun jauh lebih banyak. Bahkan kalangan mayoritas. Mereka setuju dengan kaidah diperbolehkannya mudhof dan mudhof ilaih dipisah dengan lafaz lain. Dan jelas, dalil mereka adalah qiraat Alquran versi Imam Ibnu Amir ini.
Imam Ibnu Malik dalam Alfiyah-nya menyebutkan:
فصل مضاف شبه فعل ما نصب * مفعولا أو ظرفا أجز، ولم يعب
فصل يمين، واضطرارا وجدا * بأجنبي، أو بنعت، أو ندا
Dalam bait ini, Ibnu Malik menegaskan bahwa diperbolehkan memisahkan antara mudhof dan mudhof ilaih-nya dengan maf'ul atau dhorof. Oleh Ibnu Aqil dalam syarahnya dijelaskan dengan keterangan singkat namun padat. Dalil yang dipakai Ibnu Aqil juga adalah qiraat versi Ibnu Amir. Itu bukti bahwa Ibnu Malik dan Ibnu Aqil sangatlah berpegang teguh pada qiraat Alquran sebagai sumber utama kaidah Nahwu.
Imam As-Syatibi dalam kitab nadzomnya berjudul Hirzul Amani, atau yang dikenal dengan Syatibiyyah, menyebutkan:
وزيّن في ضمّ وكسر ورفع قت ... ل أولادهم بالنّصب شاميّهم تلا
ويخفض عنه الرّفع في شركاؤهم ... وفي مصحف الشّامين بالياء مثّلا
ومفعوله بين المضافين فاصل ... ولم يلف غير الظّرف في الشّعر فيصلا
كلله درّ اليوم من لامها فلا ... تلم من مليمي النحو إلّا مجهّلا
ومع رسمه زجّ القلوص أبي مزا ... دة الاخفش النّحويّ أنشد مجملا
Dalam bait-bait ini, Imam Syatibi di samping menjelaskan versi qiraat Ibnu Amir, beliau juga menyinggung soal perdebatan sengit di kalangan ulama nahwu. Imam Syatibi memaklumi kalangan yang mengkritik qiraat dengan alasan karena lafaz itu tidak sesuai dengan kaidah umum Bahasa Arab. Tapi beliau, Imam Syatibi, menegur tegas pada kelompok yang sampai membodoh-bodohkan seorang Imam Qiraat besar selevel Imam Ibnu Amir karena versi qiraatnya.
Di akhir lima bait itu, Imam Syatibi juga memberikan bukti, bahwa pemisahan antara mudhof dan mudhof ilaih dengan pemisah maf'ul adalah hal yang berdasar. Pertama, qiraat yang menjadi dasar diperbolehkannya pemisahan idhofah itu dikuatkan oleh rasm utsmani. Yakni hamzah pada شركائهم tertulis dengan wadah ya'. Itu bukti kuat bahwa lafaz شركائهم adalah mudhof ilaih yang terpisah dari mudhofnya. Kedua, bait syair yang diriwayatkan Imam Akhfasy. Bait itu menunjukkan adanya pemisahan antara mudhof dan mudhof ilaih-nya. Yaitu;
فزججتها زجّ القلوص أبي مزادة
Zajja زج adalah mudhof. Abi mazadah أبي مزادة adalah mudhof ilaihnya. Dan al-qalush القلوص adalah maf'ul bih yang memisahkan antara mudhof dan mudhof ilaihnya.
Selain Ibnu Malik, Ibnu Aqil dan Imam Syatibi, masih banyak sekali ulama-ulama yang melawan kritikan kubu Zamakhsyari yang menolak qiraat Ibnu Amir di atas. Seperti Imam Abu Hayyan penulis tafsir Bahrul Muhith. Beliau sangat keras mengkritik Zamakhsyari. Abu Hayyan berkata, "saya sangat heran pada satu orang non Arab lemah dalam keilmuan Nahwu (Zamakhsyari) membantah orang Arab asli dan fasih (Ibnu Amir) atas versi qiraat yang jelas-jelas mutawatir dari Rasulullah Saw".
Sebetulnya, faktor munculnya ulama yang menolak qiraat "unik" sebagai dasar ditetapkannya kaidah, adalah sang ulama itu beranggapan bahwa versi qiraat tersebut adalah bacaan buatan sang Imam, bukan bacaan Rasulullah Saw. Dan poin ini mudah dibantah. Semua ulama sepakat bahwa qiraat sab'ah adalah qiraat mutawatirah yang jelas-jelas adalah bacaan Rasulullah. Sanadnya mutawatir, kekredibilitasnya pun sangat kuat bahkan di atas level sohih.
Maka sangat mengherankan jika ada ulama Nahwu yang menjadikan syair-syair Arab sebagai dasar pengkaidahan, tapi di sisi lain ia menolak versi qiraat. Jika syair Arab yang tak diketahui siapa penyairnya dan sanad periwayatannya pun juga tidak selevel mutawatir saja ia gunakan sebagai rujukan, bagaimana mungkin qiraat yang tidak diragukan lagi kekredibilitasnya dan jelas-jelas itu bacaan Rasulullah Saw justru mereka tolak?
Sampai di sini sudah jelas, bahwa ulama Nahwu telah menjadikan versi qiraat sebagai rujukan utama dalam pembentukan kaidah Nahwu. Di artikel ini hanya saya paparkan satu kaidah saja sebagai contohnya, padahal masih ada puluhan bahkan ratusan kaidah Arab yang diadopsi dari Alquran dan beragam versi qiraatnya. Kalaupun ada perbedaan pendapat, itu sangatlah sedikit sekali terjadi. Hanya pada versi qiraat yang dirasa asing di telinga orang Arab, dan itupun hanya satu-dua ulama Nahwu yang mengkritiknya, lalu kritikan itu dibantah oleh mayoritas ulama.
Oleh karena kedudukan qiraat yang urgen sedemikian rupa, terutama dalam linguistik Bahasa Arab, maka mempelajari fan ilmu qiraat sangat direkomendasikan untuk para pelajar agama. Terlebih untuk para santri yang mencintai ilmu nahwu. Dengan menguasai qiraat, kita akan paham bahwa khazanah bahasa Arab sangatlah luas dan indah. Dan dengan belajar qiraat, nahwu akan terasa asik, seru dan dahsyat.
Azro Rizmy,
Tarim, Rabu, 9 September 2020, tepat di hari khataman Qiraat Sab'ah di Ma'had Al-Aydrus Tarim.
Referensi:
1. Ilmu Qiraat nasy'atuhu athwaruhu atsaruhu fil ulum syar'yah, karya Dr. Nabil bin Muhammad Ibrahim Al Ismail.
2. Tafsir Al-Kassyaf, karya Imam Az-Zamakhsyari.
3. Tafsir Bahrul Muhith, karya Imam Abu Hayyan Al-Andalusi.
4. Al-Wafi fi Syarah Syatibiyah, karya Abdul Fattah Al-Qadhi.
5. Syarah Ibn Aqil ala Alfiyah Ibn Malik
masya Alloh atas ilmunya guru
BalasHapussangat bermanfaat
Jazakumulloh khoiro
Semoga diistiqomahkan dalam berbagi ilmu
BalasHapus