Catatan Olimpiade Matematika SMP Amtsilati Tingkat Provinsi Tahun 2009
SMP Amtsilati, tempat dulu aku sekolah, berdiri pada tahun 2007 dan aku adalah murid angkatan pertamanya. Sekolah ini berada di lingkungan pesantren dalam naungan Ponpes Darul Falah Amtsilati Jepara Jateng. Di tahun 2009, di saat SMP Amtsilati belum genap dua tahun umurnya, sekolahku ini sudah mulai menunjukkan taringnya. Salah satu siswanya berhasil menjuarai olimpiade matematika tingkat kabupaten melawan lebih dari 50 SMP/MTs Negeri maupun Swasta se-Jepara.
Di tahun itu, Jepara mengirimkan dua siswa sebagai delegasinya untuk ajang olimpiade matematika tingkat provinsi Jawa Tengah. Dua siswa tersebut adalah aku dari SMP Amtsilati, satu lagi bernama Felix siswa salah satu SMP Negeri favorit di Jepara. Tentu bukan karena pintar atau cerdas aku menjuarai tingkat kabupaten ini. Hal itu lebih disebabkan oleh dua faktor utama. Satu, karena faktor kebetulan dan keberuntungan saja. Dua, berkat bimbingan guruku pak Nanang Aries, sang master matematika.
Langkah awal beliau adalah menyeleksi murid-murid dari semua kelas, lalu memilih beberapa dari mereka yang dirasa mumpuni dalam bidang matematika. Setelah menemukan beberapa anak, mulai saat itu juga beliau langsung pegang dan selalu diawasi belajarnya. Cara beliau membimbing pun cukup asyik dan sama sekali tidak membosankan. Kami diberi ruangan khusus dan nyaman, diberi buku-buku persiapan olimpiade sambil beliau bimbing langsung. Juga, di kanan-kiri kami siap saji aneka makanan minuman yang cukup istimewa di mata santri :D. Dengan begitu, otak kami berjalan santai menyusuri deretan angka, sementara mulut sibuk mengunyah dan perut asyik dengan sistem metabolisme-nya hehe :D.
Alhasil, hampir semua murid didikannya tampil di berbagai perlombaan matematika. Beliau juga telah mendirikan kelompok belajar yang dinamai "Malida Mathematics Olympiad". Belum genap 10 tahun beliau berkecimpung di dunia olimpiade ini, 80 medali telah berhasil diraih anak didiknya, baik kancah provinsi, kejuaraan nasional maupun tingkat internasional seperti olimpiade matematika yang digelar tahun lalu di Singapore melawan 15 negara, anak didiknya yang membawa nama baik Indonesia ini sukses meraih beberapa medali internasional. So, murid didikannya yang hanya menang di tingkat kabupaten lalu kalah di tingkat provinsi seperti aku ini, bisa dikata termasuk murid beliau yang cukup memalukan.
Tidak hanya di tahun 2009, kejuaraan matematika tingkat kabupaten selalu ada di tangan SMP Amtsilati hingga dua tahun berikutnya dan dengan siswa yang berbeda. Aku di tahun pertama (2009), dan di dua tahun setelahnya (2010 dan 2011) adik kelasku Sakho Feyruz Adabi yang melanjutkan studi di Turki, juga Labib Marzuqi yang saat ini kuliah di Jerman. Dan bisa dikata, SMP Amtsilati yang merupakan sekolah swasta dalam naungan pesantren salaf itu, dalam waktu tiga tahun berturut-turut tersebut menjadi "Singa Matematika" di wilayah Jepara Jawa Tengah. Sekali lagi, itu semua berkat jasa dan bimbingan pak Nanang Aries, juga guru-guru yang lain.
Kembali ke cerita. Setelah ditetapkan sebagai delegasi Jepara untuk kancah provinsi, selain terus dibimbing pak Nanang, aku juga rutin mengikuti les privat tambahan sama pak Basuki, guru matematika yang juga berpengalaman di dunia olimpiade. Tiap sore, aku yang tinggal di pesantren ini dijemput dan diantar oleh pak Ebiet menuju rumah pak Basuki di komplek perumahan kota Jepara. Pak Ebiet ini adalah guru fisika dan kimia-ku, beliau juga dulunya pernah menjadi peserta olimpiade sains saat masih SMA. Pernah juga kami bertiga (aku, Felix dan pak Ebiet) diajak belajar bareng di ruang VIP khusus siswa favorit RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) di sekolah tempat pak Basuki mengajar.
Saat itu aku duduk di kelas 8 (kelas 2 SMP) mau naik ke kelas 9, sedangkan Felix di kelas 7 (kelas 1 SMP) mau naik ke kelas 8. Dalam olimpiade matematika memang tidak pandang ia duduk di kelas berapa, beda halnya dengan lomba cerdas cermat. Jika cerdas cermat materinya ada dalam kurikulum, maka olimpiade sebagian besar materinya justru tidak ditemukan di kurikulum SMP maupun SMA. Bahkan tidak jarang kita mendapati materinya ternyata diambil dari pelajaran matematika setingkat perguruan tinggi. Artinya, ajang olimpiade matematika tidak terlalu mementingkan kelas pesertanya. Tergantung pada pribadi pesertanya dan di tangan siapa dia dilatih.
Selasa 23 Juni 2009, kami berempat berangkat dari Jepara dengan mobil milik pak Basuki menuju ke kota Surakarta, tempat dimana olimpiade waktu itu diselenggarakan. Di tengah perjalanan kami berhenti di sebuah masjid. Kami bertiga turun kecuali Felix.
"Kamu nggak turun lix?", kutanya dia.
"Duluan aja", jawabnya.
"Kalau Felix pingin sembahyang juga, nggak papa, itu loh ada di seberang jalan", kata pak Basuki sambil menunjuk ke sebuah gereja.
Felix tersenyum dan mengangguk.
Dalam hati, aku mulai bertanya-tanya. Kenapa Felix tidak ikut shalat bersama kami, bukankah shalat itu wajib bagi setiap muslim? Juga tawaran pak Basuki sembahyang di gereja. Ah pasti cuma bercanda, pikirku.
Tibalah kami di lokasi perlombaan yakni asrama haji Donohudan Boyolali. Aura istimewa dan wibawa terlihat di wajah-wajah siswa yang mulai berdatangan dari berbagai kota. Tentu mereka adalah siswa-siswa terbaik di kotanya. Pertama yang harus kami lakukan adalah ceck in atau daftar ulang. Aku dan Felix duduk berdampingan saat mengisi lembaran biodata. Namun aku sempat terperanjat saat melihat lembar biodata Felix yang tertulis Katolik di kolom agamanya. Ternyata betul, Felix yang saat perjalanan tidak shalat dan tawaran pak Basuki ke gereja adalah karena Felix merupakan pemeluk agama Katolik, bukan Islam. Tak kusangka. Dan memang, nama Felix adalah sebuah nama Katolik, seperti nama Felix Siauw seorang ustadz muallaf yang dulunya beragama Katolik.
Selanjutnya kami masuk ke sebuah kamar yang cukup luas dengan beberapa ranjang susun bertingkat. Di kamar ini sudah ada kawan-kawanku dari kota yang berbeda. Kami berkenalan dan cepat akrab karena kita disatukan dengan hobi yang sama; otak-atik angka. Agenda di hari pertama memang hanya check in, dan selebihnya buat persiapan peserta menjelang hari H yang diadakan di hari kedua, Rabu 24 Juni 2009.
Di tengah-tengah asyiknya membahas soal matematika yang rumit bersama kawan-kawan baru, tiba-tiba Felix menghentikan belajar kami.
"Zro, kamu shalat dulu aja, kita tunggu"
"Sudah lix, aku sudah shalat"
"Belum zro, kamu belum shalat, aku tahu, itu loh shalat yang baru masuk malam, apa itu namanya, lupa".
Seketika aku melihat jam dinding. Ternyata betul, yang dimaksud Felix shalat awal malam adalah shalat Maghrib dan waktunya telah tiba.
"Oke, makasih", kataku lalu bergegas menuju mushalla.
Usai shalat, aku termenung sejenak. Temanku yang baru kutahu dia nonmuslim, ternyata dia mengingatkanku bahkan menyuruhku untuk segera shalat. Bukankah itu indah sekali? Kisah sederhana inilah yang akan selalu menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Kemudian di tahun 2011 aku berjumpa lagi dengan Felix di kota Pati di ajang Olimpiade Matematika tingkat karasidenan (wilayah lima kabupaten/kota meliputi Jepara, Pati, Kudus, Rembang dan Blora). Saat itu aku sudah duduk di kelas satu SMK dan dia kelas tiga SMP. Namun ketika ajang tingkat provinsi yang digelar di Universitas Diponegoro Semarang (itu kali keduanya aku ikut serta olimpiade matematika di kancah provinsi), aku tidak bertemu dengannya. Aku tak tahu, entah dia memang tidak masuk nominasi atau barangkali memang kebetulan kami tidak bertemu.
Dan sampai saat ini, tiap kali aku ingat nama Felix, segera kuberdoa agar Allah memberinya hidayah Islam. Dia yang telah berjasa mengingatkanku untuk shalat semoga dia juga bisa mendirikannya dengan sepenuh hati, dan semoga suatu saat nanti dia bisa shalat berjamaah denganku, insyaallah itu akan menjadi hari yang indah. Doaku, ya Allah sebagaimana Kau jaga wajahku dari sujud kepada selain-Mu, maka berikan juga anugerah ini pada kawanku, Felix, agar wajahnya tidak lagi menyembah kepada selain-Mu. Amien.
Terakhir, kuucapkan berjuta terimakasih kepada semua yang telah mengisi hari-hari indah kala itu. Abahyai Taufiq sang mahaguruku. Ibuku, seorang wanita cerdas penuh inspirasi yang selalu memotivasiku lahir batin. Kawan-kawanku Geofista (angkatan perdana SMP Amtsilati), kalian adalah sahabat terbaikku sampai kapanpun. Dan tak kalah penting adalah jasa guru-guru SMP dan SMK-ku terutama pak Nanang, pak Ebiet, pak Aziz, pak Munif, pak Agus dan semua guru yang tak dapat kusebutkan satu persatu di tulisan ini. Semoga kisah ini menjadi memori indah dan terkenang sepanjang masa. Karena dengan tulisan, kisah indah akan menjadi abadi, jauh lebih abadi dibanding penulisnya sendiri.
M.A. Azro Chalim,
Mahasiswa Universitas Al-Ahgaff Yaman, Alumnus SMP Amtsilati (2010) dan SMK Multimedia Amtsilati (2013) Jepara Jawa Tengah.
Tarim, 25 Mei 2017
Komentar
Posting Komentar