Migrasi; antara Nomaden, Anak Rantau dan Korban Penggusuran

*catatan anak rantau yang hidup serba gratis

Cinta tanah air memang tidak jauh beda dengan dunia percintaan pria-wanita. Lelaki playboy sekalipun, boleh berpindah-pindah semau dia, dari hati satu wanita ke hati wanita lain, namun kau harus tahu, kisah cinta yang paling mengesankan baginya hanyalah ada pada wanita pertama. Orang boleh berkelana ke manapun ia inginkan, namun tetap saja, kampung halaman dan rumahnya lah satu-satunya tempat ia berpulang dan yang selalu dirindukannya.

Hanya kaum nomaden yang menyalahi aturan manusia pada umumnya ini. Mereka sepertinya tak juga memiliki rumus hidup. Ah, nomaden kan kaum badui, apa urusannya soal beginian? Mereka tak peduli mau berpindah-pindah ke tempat manapun, asal nyaman dan hidup tentram. Itu saja. Tak peduli dengan rumus kebanyakan orang. Toh itu hanya rumus. Rumus kan hanya teori milik manusia alay yang hobi ikut-ikutan. Jika mereka bisa selalu hidup bahagia tanpa rumus yang tetekbengek itu, kenapa mesti dipermasalahkan?

Beda halnya dengan korban penggusuran. Jangan ditanya betapa menyedihkan nasibnya. Lama hidup tentram di rumah sederhana, mempunyai tetangga yang selalu menemani. Rumah adalah rumah mereka. Taman depan, teras, ruang tamu, dapur, ruang makan, kamar tidur, ranjang, meja dan lemari, mereka tata begitu rapi dan mengesankan. Itu semua milik mereka. Bukan milik manusia berdasi yang duduk manis di kursi pemerintahan.

Penggusuran itu, secara kasat mata memang hanya berpindah dari tempat satu ke tempat lainnya. Namun ada hal lain yang tak terpikirkan oleh mereka kaum yang sibuk rapat ini-itu. Kenangan masa kanak-kanak yang betapa gemilang indahnya itu, terenggut sudah, hanya dengan satu surat edaran! Lembaran kertas tipis hitam-putih dengan nomer surat resmi dari pemimpin negeri yang antah berantah. Pemimpin yang mengaku merakyat. Sedang rakyatnya sendiri tidak menyadari apa sebenarnya arti merakyat. Rakyat itu kaum melarat. Pemimpin yang merakyat ya justru yang memelaratkan!

Miris memang. Manusia berdasi yang mengaku produk bangku edukasi, ternyata hanya bisa bermain dengan surat-surat resmi, dengan sesuka hati. Orang rela bertahun-tahun sekolah dan kuliah kesana kemari, hanya mengimpikan satu-dua lembaran. "Suara ajaib" lembaran yang bagi mereka sangat sakral itu, lebih mereka dengarkan daripada "suara" hati nurani. Semakin tinggi studinya, semakin tinggi pula manusia mendewakan lembaran. Inilah produk pendidikan modern; memintarkan otak tapi membutakan nurani.

Masih soal migrasi. Anak rantau lebih akrab dengan hal ini. Ia berpindah dari tempat ini, kos-an ini, ke tempat itu, ke asrama itu yang belum tentu lebih baik dibanding sebelumnya. Meskipun ia berpindah kesana kemari sedemikian rupa, tapi ia tetap tenang, karena bagaimanapun juga ia masih mempunyai rumah dan kampung halaman tempat ia berpulang nanti. Selain tanah airnya itu, boleh lah mereka berkelana dan bersinggah ke manapun ia kehendaki. Bebas dan merdeka.

Jadi, kosakata "penggusuran" tentu tidak ditemukan dalam kamus mahasiswa beasiswa. Sebab kata "penggusuran" hanyalah terkait dengan hal-hal yang berbau pemaksaan, kekejaman dan kezaliman. Yang namanya hidup gratis, mau tidak mau harus menerima apa adanya. Sekali lagi, hidup gratis harus lilo legowo dan banyak-banyak bersyukur. Keputusan atasan, betapapun beratnya di hati kita, pasti ada sisi positifnya. Banyak, bahkan kadang semuanya berisi hal positif demi kebaikan kita pula.

Contoh sederhananya, ada para mahasiswa yang "dimutasikan" dari kota A menuju ke kota B. Atau hanya berpindah dari asrama A menuju asrama B. Atau lebih dekat lagi, dari kamar lantai sekian berpindah ke lantai sekian. Namun semua itu -sebenarnya- tak jadi masalah. Karena semakin banyak ia pergi berkelana semakin banyak pula ia dapatkan pengetahuan, kalaupun tidak, minimal ia dapat pengalaman. Soal tanah air dan kampung halamannya? Masih tetap ada meski berjarak nun jauh di seberang samudera, dan tak perlu khawatir lagi direbut koloni penjajah.

Nah kesimpulannya; ada tiga golongan manusia yang menjalani migrasi dalam kisah hidupnya. Pertama, nomaden yang tak punya kampung halaman tetap, berpindah kesana kemari sesuai musimnya. Kedua, anak rantau yang pergi berkelana, namun ia tetap akan berpulang ke kampung halamannya. Ketiga, korban penggusuran yang terusir dari kampung halamannya, selamanya.

Maka bersyukurlah jika kau adalah anak rantau, hidup serba gratis pula. Makan dan minum gratis. Pagi-malam dijatah minuman susu gratis. Kuliah gratis. Belajar ke lembaga manapun gratis. Tempat tinggal gratis. Tidur nyenyak. Kepanasan tinggal nyalakan AC kamar. Kedinginan ingin mandi tinggal nyalakan water heater/penghangat air, atau saat tidur; tinggal tarik selimut.  Begitu banyak nikmat gratisan untuk kita, para mahasiswa beasiswa, lalu kita hendak protes dan banyak ngomel? Duh, nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan, kawan?

*Edisi menghibur diri, pada hari terakhir di kamar tercinta dan hari pertama di kamar baru, 13 September 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Sanad Tertinggi di Muka Bumi