Guruku yang Tawadhu

Di sela-sela munaqasyah makalah-makalah harian di kelas, seperti biasa, kami menemukan hal isykal yang sepertinya perlu dikaji lebih dalam lagi. Dosenku, Sayyid Dr. Alawi Abdul Qadir Alaydrus langsung menunjukku untuk meriset dan membuat makalah. Tentang sudut pandang Syiah terhadap Qiyas dan Maqasid Syariah.

Dalam kitab Maqasid karya guruku, Dr. Habib Zein Alaydrus, mazhab Syiah disebutkan bebarengan dengan kelompok yang mengedepankan akal atas nas-nas Alquran dan Hadits. Mereka meyakini di balik nas-nas itu ada makna tersirat yang jika ia berlawanan dengan teks, maka teks itu boleh jadi dikesampingkan.

Permasalahannya adalah; mazhab Syiah Imamiyah terkenal sebagai kelompok yang menolak Qiyas dalam daftar dalil agama. Dengan alasan, bahwa nalar argumen manusia, yang termasuk di antaranya adalah qiyas, tidak bisa dijadikan dalil untuk menetapkam hukum agama. Jadi, bagaimana mungkin mereka mengedepankan akal atas nas-nas, sementara mereka sendiri dikenal frontal menolak dalil qiyas?

Aku melakukan riset. Menulis makalah seputar itu. Dengan referensi kitab Ushul Fiqih ulama Syiah terdahulu, yakni kitab Al-Uddah karya Syekh At-Thusi, karya ulama pra-kontemporer, dan juga pendapat ulama Syiah kontemporer. Hasilnya jelas. Bahwa mazhab Syiah menolak penggunaan akal (dzonn mutlaq) dalam istinbat hukum sya'i. Termasuk di antaranya: qiyas, istihsan, maslahah mursalah dsb.

Lalu dalam maqasid syariah, pandangan ulama syiah di satu sisi menolak, di lain sisi menerimanya. Menolak maqasid sebagai dalil penggalian hukum syar'i, dan menerimanya sebagai langkah bagus cara berfikir maqasidi dalam bersyariat. Dan kesimpulan makalahku adalah: pernyataan yang ada di kitab guruku Dr. Habib Zein Alaydrus yang mengisyaratkan bahwa Syiah mengedepankan akal atas nas-nas Alquran Hadits adalah pernyataan yang perlu dikaji ulang.

Saat masih riset, aku sempat bertemu beliau. Di Mukalla. Saat acara pernikahan kawanku. Kami berdua berbincang tentang masalah ini. Tidak lama. Beliau meminta untuk dilanjutkan via WhattsApp. Beberapa minggu setelahnya, makalahku tuntas. Aku kirimkan file makalah itu pada beliau. Lewat WhattApp. Karena beliau berada di Mukalla, sedang aku ada di Tarim. Aku meminta beliau supaya berkenan mengoreksi makalah yang aku yakin masih banyak kekurangannya.

Setelah mengoreksi, beliau beri setidaknya 5 poin 'bantahan'nya terhadap isi makalahku. Aku pun dengan bahasa sopan menjawab tiap poin itu. Terjadilah diskusi hangat antara kami berdua. Hingga mencapai titik sepakat: bahwa betul Syiah menolak argumen akal, tapi kadang juga mereka mengedepankan argumen atas nas-nas Alquran Hadits jika argumen itu keluar dari seorang imam ma'shum. Karena pendapat para imam, menurut Syiah, adalah salah-satu landasan hukum agama, sebab mereka mampu memahami makna tersirat yang ada di balik teks-teks Alquran & Hadits.

Perbincangan ini memang seputar mazhab Syiah Imamiyah. Tapi jelas. Aku dan semua guru-guruku disini adalah kaum Ahlussunnah wal Jamaah asli. Dan tentunya bukan Syiah. Bahkan tegas menolak dan membantahnya. Namun, jika suatu ketika ada orang menggambarkan satu kelompok (salah satunya Syiah, atau lainnya) dengan gambaran yang keliru, maka tugas kita adalah meluruskannya. Meski dia guru kita sendiri. Itulah yang namanya amanah ilmiah. Prinsip utama kaum terpelajar.

Diskusi kali itu amat indah. Antara murid dan gurunya. Aku dengan bahasa sopan. Guruku dengan penuh ketawadukan. Perlu diketahui, beliau (Dr. Habib Zein Alaydrus) adalah ulama besar. Karya kitabnya puluhan. Mengajar di banyak tempat. Universitas Al-Ahgaff, Universitas Hadhramaut, Institut Imam Syafi'i dan masih banyak lagi. Ulama besar, cerdas, dan tentu berwawasan luas, namun kepada murid yang ingin berdiskusi, beliau membuka lebar dengan penuh ketawadukan.

Di akhir diskusi kami via WA, beliau berkata dengan kalimat yang sungguh amat menyentuh:

أخي العزيز أنت تلميذ الماضي وأنت صديق اليوم ! العلم رحم بين أهله ! أستفيد منكم أكثر مما تستفيدون مني . مناقشة الأحباب تثري علما نافعا . لا تنسني أخي من دعائكم ، فما أحوجني إليه .

"Akhi, dulu kau muridku, tapi sekarang kau adalah teman (diskusi)ku. Ahli ilmu adalah sebuah keluarga. Aku mengambil faedah darimu lebih banyak dibanding kamu mengambilnya dariku. Diskusi antara sesama kekasih sungguh membuahkan ilmu yang manfaat. Jangan lupa doakan aku. Sungguh betapa aku sangat membutuhkan doamu".

Kalimat yang begitu indah. Terenyuh hatiku dibuatnya. Simbol sebuah ketawadukan yang adiluhung. Sekaligus mengajarkanku, bahwa: suatu saat nanti, ketika punya murid, maka bersikaplah terbuka. Semangati mereka untuk terus riset. Ajak diskusi. Berfikir kritis terhadap apapun dan siapapun. Itu bagus. Selama antara dua pihak saling terbuka, masing-masing berargumen dengan riset, ilmu dan bukti ilmiah. Tanpa emosi dan tanpa gengsi. Dengan tetap mengedepankan akhlak sopan-santun seorang murid kepada gurunya.

Inilah yang diajarkan guru-guruku disini. Bahwa berfikir kritis dan menjaga adab-tatakrama adalah dua hal yang bisa berjalan bersama. Tidak bertentangan. Mereka guru-guruku justru sangat senang dan bangga saat melihat muridnya mengkritisi mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang berbobot. Itu tanda semangat dan antusias keilmuan murid yang tinggi. Lalu tugas guru adalah menjawabnya dengan ilmiah, hingga kami para muridnya bisa tersenyum lega.

Sungguh beruntung aku belajar di tempat penuh berkah ini. Mengaji di tangan guru-guru alim yang keilmuan lahir-batinnya tak diragukan lagi. Yang tawaduk. Yang terbuka. Apapun tanyakan. Diskusikan. Hingga tak ada lagi sebiji pun kebimbangan di hati kalian, begitulah dawuh beliau-beliau yang sering diucapkan kepada kami. Tinggal bagaimana kita nanti, akankah akan menjadi sosok berkepribadian layaknya beliau-beliau yang terbuka dan tawaduk, ataukah tertutup, tinggi hati dan merasa keilmuannya tak tersaingi? Yang jelas semuanya kembali pada diri kita masing-masing.

Azro Rizmy,
Tarim, Ahad, 5 Mei 2019 M - 30 Syaban 1440 H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Sanad Tertinggi di Muka Bumi