R06: Jumatan Luar Biasa di Masjid Jami' Tarim

Tarim, 06 Ramadhan 1440 H.

Masjid Jami' Tarim, salah satu masjid besar yang terletak di jantung kota Tarim. Di sekelilingnya ada pasar tradisional dan pertokoan. Tepat di sebelah selatannya berdiri sebuah kastil kuno yang cukup megah. Yang dulu menjadi pusat pemerintahan. Dan kini kastil itu menjadi semacam museum yang di dalamnnya juga ada ruang pertemuan.

Jumatan di masjid ini terbilang unik. Luar biasa. Tak ada duanya. Dari segi pemandangan saja, nyaris seluruh jamaahnya berpakaian serba putih. Gamis-jubah putih, atau sarung-koko putih, dengan peci-imamah putih. Akan terlihat lautan warna putih sejauh mata memandang. Dari ujung ke ujung. Ada juga satu-dua jamaah yang berpakaian warna, dengan peci berwarna pula. Sangat terlihat mencolok. Layaknya satu titik di tengah kertas putih yang lebar.

Adzannya dua kali. Sama seperti masjid-masjid Aswaja lainnya. Bedanya, usai adzan pertama ada jeda waktu 15 menitan. Untuk para jamaah membaca amalan seperti surat Al-Kahfi, Ad-Dukhon dsb yang dinash dalam Hadits akan kesunnahan dan fadhilahnya. Di tengah-tengah 15 menit itu, oleh muazin dilantunkan salawat pada Nabi, dengan pelan dan ritme lambat. Memakai speaker luar masjid, tanpa speaker dalam. Membuat timbulnya suara yang menggema di dalam masjid. Merdu dan syahdu. Ada ketenangan yang khas, menemani jamaah membaca Alquran.

Setelah jeda 15 menit itu, khatib datang. Saat itu pula para relawan mengitari shaf demi shaf untuk mengambil mushaf-mushaf jamaah yang kemudian mereka tata di rak khusus. Sangat dibutuhkan jasa mereka seperti ini. Karena hampir semua jamaah, yang jumlahnya ribuan itu, membaca Alquran, yang andai tidak ada relawan yang berkhidmat keliling mengambil mushaf, dan membiarkan jamaah mengembalikannya sendiri, justru akan membuat suasana masjid kurang kondusif.

Lalu khatib menaiki mimbar. Ukuran mimbarnya cukup tinggi. Didesain khusus menjadi bagian dari bangunan masjid yang permanen. Tidak seperti di Indonesia yang pendek dan terbuat dari kayu atau sejenisnya. Khatibnya adalah ulama dari marga Al-Khatib, yang sejak zaman baheula turun temurun keluarga merekalah yang memegang khidmat dalam berkhotbah di masjid ini.

Cara berkhotbahnya khas sekali. Jelas, nada tegas, intonasi menekan, pelan, lambat dan tenang. Seperti membaca puisi. Yang pembacanya sangat meresapi. Dengan kitab khutbah khusus yang menjadi pegangan. Yakni kitab kumpulan khutbah karya Ibn Nubatah. Yang kalimat-kalimatnya kaya akan sastra. Dengan sajak-sajak akhiran yang teratur. Indah sekali. Berisi renungan hakikat hidup di dunia yang fana, akhwal penyakit hati dan obatnya, juga renungan momentum akhirat: antara nikmat surga dan siksa neraka.

Tak perlu ditanyakan lagi. Khutbah seperti ini tentu mampu menyihir jamaah seolah mereka betul-betul terbawa melayang ke alam sana. Tak jarang, dan sering sekali, terdengar jamaah yang reflek berucap "Allaah" secara lirih dan serentak. Dengan kepala menunduk sambil sesunggukan menahan tangis, dan tetesan air mata. Sungguh nuansa yang membuat hati terenyuh, merasakan ketenangan dan kesyahduan yang tiada tara.

Tiap kali khatib menyebut nama Nabi atau sifat-sifatnya, para jamaah serentak bersalawat dengan suara lirih. Berkali-kali setiap mendengar seputar Nabi. Dengan salawat yang penuh kerinduan hati. Juga saat menyebut khulafur rasyidin, jamaah serentak berucap radliyallahu anhu. Saat khatib berhamdalah, jamaah ikut berhamdalah. Puncaknya adalah saat wasiat taqwa, serentak jamaah berucap kalimat tauhid 'Lailahaillallah'.

Coba bayangkan, suara para jamaah itu, meskipun lirih, namun serentak dan kompak, dari ribuan jamaah di satu ruangan masjid, bagaimana gemuruh suaranya? Sungguh sangat menggetarkan hati dan jiwa. Yang aku yakin tak kan ditemukan di masjid lainnya. Momen mingguan inilah salah satu yang keindahan rohaninya tak terlupakan. Membuat orang yang dulu pernah merasakannya akan menangis rindu di kejauhan sana.

Shalat jumat dimulai. Para jamaah mengeluarkan siwaknya. Satu-dua yang tak bersiwak akan malu sendiri dibuatnya. Setelah shalat ada wiridan seperti biasa, lalu ada shalat ghaib di akhir usai imam berdoa. Di masjid ini selalu ada shalat ghaib, karena banyaknya permintaan dari luar Tarim. Mereka umumnya para perantau Tarim yang wafat di tanah rantauan, atau jenazah yang masih ada kerabat, atau ada ulama besar dunia yang wafat. Semua ingin ngalap berkah. Dari doa shalat ghaibnya masyarakat Tarim, di salah satu masjid yang penuh berkah di tanah Tarim yang berkah pula.

Usai shalat ghoib, para jamaah melakukan shalat sunnah bakdiyah. Ramai juga mereka yang sungkem salaman dengan para ulama dan habaib. Tentu, ulama dan habaib banyak sekali yang hadir jumatan disini. Mulai dari kalangan para mufti (seperti Grand Mufti Habib Ali Masyhur bin Hafidz dan Syekh Muhammad Ali Al-Khatib), juga para ulama pemuka marga habaib. Momen yang amat istimewa. Kesempatan emas. Untuk mengecup tangan mulia mereka.

Setelah jumatan rampung, jika itu di selain Ramadhan, para jamaah ramai membeli sesuatu, baik buah-buahan, atau sayuran hijau untuk lalapan buat makan enak di 'hari raya mingguan'. Atau memborong banyak es krim untuk anak-anak kecil mereka. Di sekitar masjid banyak sekali pedagang yang sudah standby. Seolah ada pasar dadakan yang memenuhi sekitaran pasar asli kota.

Budaya seperti ini bukan sekedar tradisi bertransaksi jual beli biasa. Tapi ini adalah budaya sunnah Nabi, yang dimplementasikan dari Surat Aljum'ah ayat 10:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (10)

Disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir, bahwa barang siapa yang berjual-beli di hari Jumat setelah rampungnya shalat, maka Allah akan memberkahinya sebanyak 70 kali.

Hari jumat bagi warga Tarim memang hari yang amat istimewa. Malam dan siangnya banyak kegiatan-kegiatan baik yang telah membudaya. Seperti pengajian, acara maulid, ziarah dsb. Dengan kata lain: sunnah-sunnah Nabi telah menjadi budaya dan tradisi. Hingga ada satu kitab/buku sangat bagus, berjudul: Adatu Tarim am Sunnah Nabawiyah? (Budaya Tarim atau amalan sunnah Nabi?)

Azro Rizmy,

Tarim, Sabtu, 11 Mei 2019

Komentar

  1. Dan tak ada yg bisa diungkapkan selain menetes nya air mata dan detak jantung yg tak biasa

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sanad Tertinggi di Muka Bumi

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai