R03: Jadi Tukang Gahwah di Masjid Baharmi

Tarim, 03 Ramadhan 1440 H

Qahwah alias kopi, atau dalam lahjah Hadhramaut disebut Gahwah (karena Qaf di sini dilafazkan Gaf, seperti assaqqaf, menjadi assegaff, juga Al-Ahqaf, menjadi Al-Ahgaff). Tapi gahwah yang biasa diminum orang Hadhramaut bukan kopi warna hitam yang sering kita jumpai di Indonesia. Melainkan minuman kental berwarna hijau, kadang kecoklatan.

Dalam sejarah tercatat bahwa qahwah ditemukan pertama kali di Yaman sekitar abad 15 Masehi silam. Atau sekitar 600 tahun yang lalu. Namanya Qahwah Albun Akhdhor. Kopi Albun Hijau. Lalu dengan cepat ia terkenal dan tersebar di penjuru dunia. Termasuk versi biji-bijian kopi hitam.

Biasanya, budaya di Hadhramaut, kopi hijau dihidangkan saat acara-acara religius di masjid atau pesantren. Manfaatnya adalah untuk munabbih (penyemangat agar melek atau tidak ngantuk). Di acara seperti itu urutan suguhannya adalah pertama: air putih es, kedua: air mawar untuk diusapkan ke wajah, lalu ketiga: bukhur (sejenis pewangi yang dibakar, bisa berupa dupa, kayu gaharu atau juga serbuk pewangi yang dipanggang pakai arang). Baru yang terakhir: minuman gahwah.

Kalau di musim Ramadan seperti ini, bermacam-macam suguhan itu (kecuali air mawar, yang hanya ada ketika acara besar tertentu) biasa dihidangkan seusai salat witir. Di hampir semua masjid. Tepatnya ketika pembacaan qasidah dan bait-bait syair yang menggugah jiwa. Ohya, di sini, usai salat witir para jamaah tidak langsung bubar, tapi masih ada sesi tambahan. Doa bersama dan pembacaan qasidah. (insyaallah di tulisan lain akan aku ceritakan lebih detail).

Aku menulis tentang gahwah ini, karena tadi malam aku diajak kawanku, 'Mimin' Huda, untuk berkhidmat di masjid Baharmi, masjid tua dan keramat yang saat ini dipegang guru tilawahku, Syekh Ali Abdurrahman Baharmi. Huda bagian vokal yang melantunkan qasidah. Aku bagian tukang bagi gahwah. Yah begitulah nasib di dunia, kalau menyumbang suara dirasa mustahil, nyumbang tenaga masih bisa kok :)

Saat selesai salat witir, dan masuk ke sesi pembacaan qasidah, putra guruku, namanya Muhammad, yang masih kecil dan imut, seumuran anak TK bertanya: "siapa yang sekarang bagian bagi gahwah?"

"Ana", aku menyahuti.

"Yalla ilad dar" (ayo ke rumah), jawabnya dengan nada seperti keumuman anak kecil seumurannya. Menggemaskan.

Anak itu mengajakku ke rumahnya. Yang jaraknya dari masjid sekitar 50-an meter. Sampai sana, diserahkan padaku satu teko berisi minuman panas yang sudah siap saji. Untuk aku bawa ke masjid. Dan nantinya akan disajikan dengan gelas-gelas kecil seukuran gelas air zamzam, yang sudah disediakan di dalam masjid.

Aku pun memulai tugas. Mengitari shaf demi shaf sambil menuangkan gahwah ke gelas kepada satu persatu jamaah. Aku sedikit terkejut. Ternyata isi teko itu bukan gahwah yang aku kenal. Itu minuman cokelat panas, rasanya manis kental, dan tentunya enak sekali. Anehnya, istilah gahwah itu masih melekat. Mereka masih saja menyebutnya gahwah, meskipun ternyata yang dihidangkan bukan lagi kopi.

Setelah rampung, aku pulang menuju asrama, dengan satu motor berboncengan sama Hamdan, temanku lain yang tadi juga jadi vokal qasidah.

"Zro, baru pertama kali ya jadi tukang gahwah?"

"Iya", jawabku. "Kenapa emang?"

"Keliatan banget. Tanganmu masih kaku. Agak gemeteran. Aku jadi khawatir melihatnya, takut tumpah, haha". Dia tertawa lirih.

"Hahaha", aku ikut tertawa. "Sebetulnya aku pernah sih. Dulu. Pas acara maulid tahunan di Ahgaff, itu tanganku betul-betul gemeteran. Awal-awal sampe ada yang ketumpahan. Gara-gara gerogi. Capek banget. Hampir keram. Sekarang sudah mendingan". Kataku sambil mengenang kejadian setahun yang lalu.

Menjadi tukang gahwah memang tidak mudah. Harus terbiasa. Tangan dan gerakan harus cekatan. Atur posisi. Harus rileks dan jaga kesopanan. Tangan nanti akan betul-betul capek. Punggung juga berasa seperti keseleo. Efek kebanyakan menunduk. Apalagi masih pemula sepertiku. Tapi kalau khidmat seperti ini dilakukan berulang kali insyaallah akan terbiasa juga.

Sampai asrama, Hamdan turun. Aku masih di atas motorku. Saat itu pukul 21.30. Aku ingat, di Darul Mustofa jam segitu tarawehnya belum selesai. Di sana bacanya dua juz. Dari jam setengah 9 sampai setengah 11. Masih ada waktu, pikirku. Aku pun meluncur ke Darul Mustofa. Masih mendapati salat taraweh ketujuh. Setelah witir, seperti biasa, dihidangkan air es dan gahwah. Kali ini suguhannya minuman gahwah dengan arti yang sebenarnya. Secangkir kecil kopi kental berwarna hijau. Enak dan sedap.

Jadi, yakin nggak pingin nyeruput kopi hijau? Di sini, di Tarim yang syahdu ini? (Azro Rizmy)

Tarim, Rabu, 8 Mei 2019

Komentar

  1. Jadi, yakin nggak pingin nyeruput kopi hijau? Di sini, di Tarim yang syahdu ini?


    jangan bertanya seperti ini 😭😭😭😭😭
    یاتریم و اهلها

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sanad Tertinggi di Muka Bumi

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai