R24: Cara Berpakaian Antara Ahli Tarim dan Santri Nusantara

Tarim, 24 Ramadhan 1440 H

Setiap negeri atau daerah pasti mempunyai budaya setempat. Asli maupun adopsi. Itulah realita kehidupan sosial manusia. Masing-masing mempunyai tradisi budaya dan adat istiadat yang khas. Namun tak dipungkiri juga terjadinya campur aduk yang saling mempengaruhi budaya antar daerah.

Di banding negara-negara Timur Tengah lainnya, Yaman termasuk negeri yang masih berpegang teguh pada tradisi-tradisinya yang original, asli, dan tak banyak terpengaruh. Berbeda dengan negara-negara tetangga, seperti Dubai, Saudi dan lainnya yang kemajuan zaman dan teknologi telah mengubah gaya hidupnya. Tak terkecuali cara berpakaian mereka yang mulai kebarat-baratan.

Tapi tidak untuk Yaman. Tradisi dan budaya Yaman masih kuat dipegang masyarakatnya. Mulai dari kegiatan-kegiatan religi, gaya hidup keseharian yang diturunkan dari nenek moyangnya, hingga cara mereka berpakaian. Di seluruh Yaman pada umumnya. Terlebih provinsi Hadhramaut, dan kota Tarim khususnya.

Pakaian ahli Tarim selain gamis dan jubah adalah sarung, koko, dan peci. Gamis itu pakaian terusan dari atas hingga kaki. Jubah sama seperti gamis. Bedanya, gamis tertutup rapat, sedangkan jubah bagian depan tengahnya terbelah dari atas sampai bawah. Biasanya jubah diletakkan di atas gamis. Seperti yang biasa dipakai para ulama Yaman. Sementara 'orang biasa'nya memakai sarung, baju koko dan peci putih.

Konon, dulu pakaian Islam adalah gamis. Pakaian yang paling disukai Rasulullah. Orang Hadhramaut pun bergamis. Namun, karena mereka kesehariannya sibuk bekerja, mengenakan gamis sambil bekerja pun dirasa cukup menyulitkan. Akhirnya mereka memotong gamis itu separoh. Menjadi baju koko yang kita kenal saat ini. Tapi pakaian khas Tarim adalah koko polos. Tanpa bordir. Mereka tak menyukai bordir, karena menurut mereka, bordir baju itu menyerupai gaya perempuan.

Iya. Persis dengan pakaian santri Nusantara. Sarungnya. Baju kokonya. Dan memakai peci. Itu kalangan santri. Sedangkan ulama Nusantara pengasuh pesantren-pesantren salaf, di zaman baheula, atau sampai sekarang, kebanyakan memakai imamah (sorban kepala). Yang cara pelingkaran di kepala pun mengikuti gaya ulama Hadhramaut. Bukan gaya Mesir, Mourtania, Sudan, ataupun Suriah. Namun untuk baju koko berbordir, yang masyarakat Tarim tak menyukainya itu, barangkali koko Indonesia terpengaruh dengan budaya pakaian Tionghoa. Ada perpaduan antar lintas budaya. Dan itu hal yang lumrah.

Abuya (Prof. Habib Abdullah Baharun, rektor Al-Ahgaff) pernah bercerita pada kami. Pernah Abuya naik pesawat di Indonesia. Beliau memakai sarung, baju koko putih dan peci putih. Seperti pakaian keseharian orang Tarim. Di sampingnya, ada orang Indonesia asli, mengira Abuya orang Indonesia, lantas mengajaknya mengobrol dengan bahasa Indonesia. Abuya pun menjawabinya dengan bahasa Indonesia yang sedikit terbata-bata. Lalu orang di sampingnya baru menyadari bahwa Abuya bukan orang Indonesia, tapi orang Yaman.

"Saya ini dikira orang Indonesia, hanya karena pakai baju seperti ini", kata Abuya dengan tertawa lirihnya, sambil menunjuk pakaian yang beliau kenakan. Sarung, baju koko putih, dan peci putih.

Cara berpakaian seperti itu memang budaya Hadhramaut, khususnya Tarim. Buktinya, Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi, salah seorang ulama musnid terkenal itu pun dulu memakai pakaian seperti ini. Yang hingga kini peninggalannya berupa baju koko itu masih tersimpan rapi.

Gaya bersarung, baju koko dan peci ini, di negeri-negeri Arab sudah tidak dipakai lagi. Kecuali di Yaman. Di Saudi tidak ada yang berpakaian seperti itu. Di Oman umumnya memakai gamis tanpa kerah khas mereka. Atau yang lebih mengherankan lagi, di Mesir, memakai sarung di tengah umum adalah hal yang aib. Tabu dan kurang pantas. Bahkan bisa jadi dibuat bahan tertawaan oleh anak-anak kecil. Karena sarung bagi mereka adalah pakaian tidur untuk suami-istri.

Lalu, santri Nusantara mengapa cara pakaiannya bersarung, koko dan peci? Menurutku, itu pasti terpengaruh tradisi keislaman Hadhramaut, khususnya Ahli Tarim. Itu kemungkinan terbesarnya. Karena penyebar Islam di Nusantara adalah para Walisongo, yakni para sayyid keturunan Ammul Faqih dari marga Azmatkhon, yang datang dari Hadhramaut Yaman. Dakwah ini lah yang mempengaruhi tradisi dan budaya Nusantara, dengan kentalnya adat istiadat Tarim-Hadhramaut. Dakwah ini lalu diteruskan oleh para kyai-kyai Nusantara yang notabene merupakan keturunan dari Walisongo.

Dan tak hanya soal berpakaian, amalan Aswaja, wirid dan dzikir santri-ulama Nusantara pun banyak mengadopsi tradisi Ahli Tarim. Seperti maulid, istighosah, tahlil, ziarah kubur, hingga dzikir-dzikir semacam Ratib Al-Haddad, Ratib Alattas, Hizib Sakron dan masih banyak lagi. Itu hanya sedikit dari banyaknya bukti adanya relasi kuat antara Ahli Tarim dan ulama Nusantara.

Azro Rizmy,
Tarim, Rabu, 29 Mei 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sanad Tertinggi di Muka Bumi

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru