Habib Cina: Kamu Cina?




Habib Salim bin Umar Al-Kaff. Salah seorang habib sepuh Tarim dari marga Al-Kaff. Istiqamah salat tarawih di masjid Baharmi. Aku yang menjadi tukang gahwah di sana, setiap hari bertemu. Beliau asli Tarim, tapi neneknya orang Cina. Di wajah beliau, ada paduan antara Hadhramaut dengan hidung mancungnya, dan Cina dengan kulit putih kemerah-merahannya.

Beliau masuk masjid. Seperti biasa dengan jalan yang sedikit terbata-bata, sambil melepas alas kakinya. Dari jauh, beliau melihatku, memberi aba-aba yang artinya 'kesini'.

Aku menghampirinya. Tiba-tiba beliau bertanya: "kamu Cina?"

"Bukan, Habib, asli Indonesia", jawabku.

"Ayahmu Cina?"

"Bukan bib"

"Ibumu Cina?"

"Bukan juga bib."

"Atau kau masih punya darah cina?"

"Bukan bib, asli Indonesia".

Beliau tersenyum, lalu berjalan ke arah shaf terdepan. Salat tarawih berjamaah seperti biasa.

Usai taraweh, aku salaman, mengecup tangannya. Lagi-lagi bilang padaku: "kau ini orang cina".

"Bukan Bib, saya Indonesia asli. Ayah dan ibu saya asli Indonesia, saya pribumi".

"Enggak. Kau ini Cina. Syuf! (lihat)", ia meminta tanganku, lalu membalikkannya hingga posisi menengadah, dan memegang kulit lengan bagian dalamku, "ini kulit orang Cina".

"Kulit orang cina itu bening bib, ini enggak", aku menimpali.

"Ya kayak gini kulit-kulit cina, aku tahu itu", beliau berbicara semakin yakin. Lalu tersenyum.

Aku ikut tersenyum. Tak membalas lagi. Ah sudahlah, nggak penting, pikirku.

Tapi besoknya terulang lagi. Tiap kali bertemu denganku, beliau panggil, "hei Cina, kamu ini orang Cina", sambil tersenyum.

Seperti biasa kujawab aku asli Indonesia bib.

"Sudahlah, kamu ini orang Cina", sambil tersenyum lebar.

Dulu aku pernah mengalami kejadian seperti ini. Dikira orang Cina. Saat awal-awal masa kuliah di Mukalla. Oleh petugas dapur aku ditanyai. Sama seperti pertanyaan Habib. "Kau orang Cina? Ayahmu Cina? Atau ibumu Cina? Atau kakek-nenekmu ada yang Cina? Kau pasti ada darah Cina?"

Kujawab satu persatu pertanyaan itu dengan kata yang sama: "tidak". Dan aku tegas bilang, "aku bukan Cina, aku Indonesia asli".

Aku kadang heran. Kenapa orang mengiraku Cina? Bukankah jelas wajahku Jawa? Warna kulitku pun sawo matang, khas suku Jawa, kan?

Atau karena mataku yang sedikit sipit ini? Ibuku memang matanya agak sipit. Kalau tertawa merem. Kulitnya kuning langsat. Tapi hidung mancung seperti Arab. Ayahku juga mancung, tapi berkulit sawo matang. Agaknya, sipit mataku ini menurun dari ibu. Hidung mancung dari ayah dan ibu. Kulit sawo matang dari ayahku. Tapi semuanya Jawa. Tak ada satu pun dari kakek-nenekku dan ke atasnya lagi, --sepanjang pengetahuanku-, yang berdarah Cina. Lalu, entah dari mana sangkaan Cina itu muncul?

Ohya. Ada lagi. Habib keturunan Cina tadi, beberapa hari yang lalu, seusai tarawih, pernah kubantu beliau berdiri dari duduknya. Pernah juga kubantu memasangkan alas kakinya. Beliau berterima kasih. Selalu berucap dengan kata-kata yang sama.

"Jazakallah kheir", (semoga Allah membalas kebaikanmu), "Minal muhsinin insyaallah" (termasuk golongan orang-orang baik insyaallah).

Lalu di akhir beliau tambahi lagi sambil tersenyum: "Allah yuzawwijak tsintein".

Aku terkejut. "La, ya Habib, wahdah bas".

"Tsintein", ulang beliau, masih tersenyum.

"La, Habib, wahdah bas", lagi-lagi aku mengelak, sambil ikut tersenyum.

"Kamu ini, didoakan kok ndak mau", beliau tertawa pelan. Aku pun ikut tertawa.

**Yah, gimana mau tsintein bib, wong wahdah saja belum, haha.

Azro,
Tarim, 15 Mei 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sanad Tertinggi di Muka Bumi

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru