R16: Di Tarim, Hujan Turun Saat Puncak Musim Panas

Tarim, 16 Ramadhan 1440 H

Hanya ada dua musim di kota Tarim ini. Musim panas dan musim dingin. Ketika dingin suhunya bisa mencapai 2 derajat celcius. Sangat dingin. Saat musim panas bisa 44 derajat celcius. Panas sekali. Jarang hujan. Hanya dua atau tiga kali turun dalam setahun. Tapi unik. Hujan itu turun saat puncak musim panas. Yang suhunya di atas 40 derajat. Dan menjadi penyejuk di kala panasnya jagat.

Di hari itu, langit masih cerah dan sedang terik-teriknya. Cahaya mataharinya silau dan panas. Lalu tiba-tiba datang angin. Bertiup lumayan kencang. Membawa mendung hitam. Langit sedikit demi sedikit mulai menggelap. Angin itu juga membawa banyak debu dan pasir gurun. Menciptakan dua situasi yang kontras. Antara mendung yang sejuk, dan debu pasir yang kering.

Tapi angin ini juga membawa berkah. Untuk kebun kurma yang siap musim berbuah. Serbuk sari pohon-pohon jantannya, oleh angin diterbangkan secara acak hingga diterima bunga-bunga pohon betina. Terjadilah perkawinan. Secara alamiah. Oleh karenanya, di musim panas ini, kurma akan panen. Berbuah segar. Disebut rutob. Yang jika dikeringkan menjadi tamer. Seperti anggur segar. Yang jika dikeringkan akan menjadi kismis.

Sekali hujan langsung deras. Dibarengi angin yang lumayan kencang. Hanya setengah jam. Tapi berhubung Tarim adalah daerah lembah. Atau anggap saja sebuah jurang. Yang dikelilingi bukit atau tebing tinggi. Maka hanya dengan hujan setengah jam itu, air dari atas bukit dan tebing turun ke lembah. Ke pemukiman warga. Membentuk banyak air terjun. Berkumpul dan membuat banjir di mana-mana. Banjir dengan aliran kencang seperti bandang.

Untung saja ada jalur atau kanal khusus yang sengaja disiapkan untuk mengatasi banjir tahunan ini. Seperti sungai. Yang kering saat musim panas. Konon itu dibangun atas inisiatif Syekh Umar Muhdhor bin Syekh Abdurrahman Assegaff. Karena pada zaman dahulu, sebelum dibangun kanal ini, tiap kali hujan tahunan turun, banyak bangunan rumah warga yang rusak. Karena hanya berbahan baku tanah liat. Dan bahkan bisa menelan korban jiwa.

Kanal-kanal banjir ini, yang didesain seperti sungai, sepanjang tahun di selain waktu hujan adalah lapangan sepak bola atau voli. Seperti yang ada di arah selatan depan asramaku. Kanal itu panjangnya lebih dari 500 meter, yang masih bersambung lagi ke kanal berikutnya. Dikemas menjadi 5 buah lapangan yang juga ada podium penonton di kedua sampingnya. Kadang saat musim tahunan, jalur ini jadi lintasan turnamen balap unta. Yang seru. Yang disaksikan ribuan penonton. Dan tepat di belakang asramaku arah utara juga ada kanal. Dikemas menjadi 3 lapangan bola. Meski tak sebesar dan tak seluas jalur yang di sebelah selatannya.

Jika hujan turun, kanal ini penuh air banjir. Menjadi sungai. Kedalamannya bisa mencapai pinggul orang dewasa. Alirannya kencang dan deras. Karena menampung air yang turun dari tebing-tebing tinggi. Bayangkan saja, Tarim (atau Hadhramaut) yang berupa lembah ini posisinya diapit tebing-tebing tinggi menjulang. Air dari segala arah, ditambah dari bukit dan tebing, turun dan berkumpul melalui kanal ini. Hingga menjadi sungai dengan aliran yang deras. Jadi bisa dibayangkan kan bagaimana jadinya lembah ini tanpa kanal?

Namun hujan bagi warga Tarim adalah momen istimewa. yang menyejukkan jiwa dan raga. Usai hujan reda, masyarakat tumpah ruah. Dari anak-anak kecil, remaja, dewasa hingga orang tua. Nongkrong di pinggiran kanal. Dengan senyum ceria dan wajah gembira. Saat itu suasana menjadi sejuk. Dingin. Seolah bukan di puncak musim panas. Itu lah rahmat Allah kepada ahlu Tarim. Yang menyejukkan, di kala panas yang menyengat badan.

Azro Rizmy,
Tarim, Selasa, 21 Mei 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sanad Tertinggi di Muka Bumi

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru