R07: Belajar dari Tuang Bengkel Tarim

Tarim, 07 Ramadhan 1440 H

"Tutup jam berapa bang?", tanyaku tadi malam, kepada Walid Bahresy, salah satu tukang bengkel langganan pelajar Indonesia di sini.

"Jam dua malam", jawabnya singkat.

"Emang jadwal buka-tutupnya kapan saja bang?"

"Buka habis Ashar, sampai magrib. Buka lagi jam setengah 10 habis tarawih, sampai jam dua", jawab Walid menjelaskan jadwal barunya di bulan Ramadhan.

Di Tarim, khusus bulan Ramadhan, jadwal 'hidup' di kota ini berubah drastis. Yang mulanya pagi-siang-sore, berubah ke sore-malam-dini hari. Di sepanjang malam itu kau akan saksikan keramaian dan suasana hidup masyarakatnya. Mulai dari masjid-masjid dengan jadwal tarawih yang bervariasi, hingga ramainya anak muda main bola maupun volli di lapangan pinggir jalan.

Sore itu, aku keluar asrama. Belanja kebutuhan masak untuk menu buka puasa. Sekalian bawa motor yang ingin kuservis di bengkel. Servis ringan. Cuma ganti ban luar baru. Aku keluar. Dengan kacamata hitam. Meskipun hari sudah sore, terik matahari saat itu masih saja terang, silau dan terasa sedang panas-panasnya. Mendekati 40 derajat celcius. Bandingkan saja dengan Surabaya di siang hari, yang ketika suhunya mencapai 37 derajat sudah ramai diberitakan cuaca ke-ongkep-annya. Di Tarim, 40 derajat justru identik dengan cuaca Ramadhan yang musti bertepatan dengan musim panas.

Walid Bahresy. Tukang bengkel yang menyervis motorku. Saat bekerja, dia biasa mengenakan sarung, hem lengan pendek dan peci putih. Khas pakaian santri Nusantara. Kebanyakan pekerja-pekerja di sini memang berpakaian ala santri. Dan memang santri. Masyarakat Tarim apapun profesinya akan menyempatkan dirinya untuk mengaji.

Dulu, aku pernah ke bengkel keluarga Bahresy yang lama. Dekat masjid Aidid. Yang sekarang dipegang Mustofa Bahresy, adik dari Walid Bahresy. Aku datang setelah shalat isya. (Di Tarim, saat di masjid sedang jamaah salat lima waktu, toko-toko dsb serentak tutup, berbondong-bondong menuju masjid terdekat). Tapi usai shalat isya itu, bengkel Bahresy masih tutup. Itu di luar Ramadhan. Padahal toko-toko sekitar sudah buka.Aku tunggu agak lama, kok belum buka.

Aku pun tanya ke warga sekitar, "kemana Bahresy, kok jam segini belum buka?"

"Hari apa ini? Oh, mereka masih ngaji di Ribat Tarim. Insyaallah jam 8-an nanti pulang. Bengkelnya juga buka nanti", kata salah satu warga. Dan betul. Jam 8-an malam itu juga Bahresy datang dari mengaji. Dan bengkelnya dibuka.

Satu yang tak terlupakan dari sosok Bahresy bersaudara. Adalah kalimat "insyaallah" yang selalu menemani kata-kata yang keluar dari mulutnya. Bertanya ini, jawabnya ini diimbuhkan kata insyaallah. Ditanya kapan, jawabnya insyaallah. Ditanya kualitas barang, jawabnya insyaallah. Seolah-olah ia ajarkan, bahwa dalam hidup ini, segala hal, apapun itu, semuanya bergantung pada kehendak Allah Swt.

Ada lagi pengalamanku yang tak kalah menakjubkan. Dari tukang bengkel di sebelah selatan kastil kuno dekat masjid Jami' Tarim. Sekitar setahun setengah lalu. Saat itu ada acara daras bakda subuh di Ribat Tarim. Kalau tidak salah itu acara pengajian tahun baru hijriyah. Acaranya mulai subuh, sampai jam 7-an pagi.

Saat pulang, tiba-tiba ban motorku bocor. Aku dorong motorku mengitari sekitar Ribat nyari bengkel yang buka. Hasilnya nihil. Tak ada yang buka. Masih terlalu pagi, kata orang. Nanti jam setengah 9 insyaallah buka.

Betul. Jam setengah 9 ada bengkel baru buka. Ternyata tukangnya juga baru saja pulang dari pengajian. Masih pakai baju putih peci putih. Ia lepas. Ganti kostum. Langsung dengan cekatan ia garap motorku. Ia pasang dengan ban dalam yang baru. Karena kebocorannya sudah mengharuskan ganti ban dalam baru.

Setelah selesai, aku bertanya berapa ongkosnya.

"1.200 Riyal"

"Pak, aku cuma bawa uang 700, sisanya saya bayar nanti dzuhur ya? Saya pagi ini ada dares kuliah"

"Haduh, nak. Tenang saja. Kapan pun terserah mau bayarnya. Besok. Lusa. Minggu depan. Bulan depan. Atau bahkan tahun depan. Ndak papa. Kalaupun di antara kita ada yang mati, atau lupa, aku ikhlaskan", ia tersenyum lebar. Sangat ramah.

Ucapannya begitu cepat. Tanpa pikir panjang maupun basa-basi. Seperti tanpa beban sama sekali dan sudah terpatri dalam hati.

Aku terkejut, "eh, enggak kok pak, insyaallah siang ini langsung saya bayar".

Orang lain di sebelah tukang bengkel menimpali, "biasa saja, nak. Kami sudah terbiasa seperti ini, bayar sesempat kamu saja, ndak usah terburu-buru, ndak usah sungkan", lagi-lagi bapak ini tersenyum.

Aku termenung sejenak. Mengingat-ingat kembali ucapan tukang bengkel yang baru saja kudengar. Apa? Jika di antara kita ada yang mati, akan aku ikhlaskan? Mengapa bisa sejauh itu cara fikirnya?

Sampai sekarang, kenangan sederhana dari kejadian sepele itu masih saja merubah cara berpikirku. Adalah kapan pun kita bisa mati. Tak peduli tua, muda, atau anak kecil. Banyak faktor remeh di sekitar kita yang bisa menjadi penyebab kematian. Kesetrum. Tertabrak. Terpleset. Dan masih banyak lagi.

Maka, belajar dari tukang bengkel Tarim, setidaknya ada tiga hal pelajaran penting yang saling terkait dan melengkapi.

Satu: sempatkan belajar dan mengaji, kapanpun dan apapun profesimu.

Dua: selalu ucapkan insyaallah. Karena bagaimana pun juga, kita sama sekali tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya.

Tiga: mati adalah keniscayaan, kapan pun bisa menjumpai. Jadikan pelajaran. Jangan ada hal yang akan menjadi beban pada dirimu, atau pada orang lain saat kematian itu tiba. Ikhlaskan semua mumpung masih ada kesempatan.

Azro Rizmy,
Tarim, Ahad, 12 Mei 2019

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Sanad Tertinggi di Muka Bumi