R22: Inspirasi Habib Abdulqadir Alaydrus, Ayahanda Empat Ulama Bergelar Doktor

Tarim, 22 Ramadhan 1440 H

Tarim tak habis-habisnya memberi inspirasi. Kota mungil yang penuh hal-hal menakjubkan. Masyarakatnya hidup sederhana. Namun berkualitas. Orang Tarim, meskipun ia berada, cerdas, hebat, penuh prestasi, tapi masih saja lebih suka hidup sederhana dan ala kadarnya. Hanya urusan dunia, pikir mereka, tak perlu serius memikirkan penampilan zahir.

Satu di antaranya adalah Habib Abdulqadir Alaydrus. Ulama yang alim, saleh, zuhud dan sederhana. Keluarganya terkenal dengan kecerdasan dan keilmuan. Empat putranya semua ulama besar, bergelar doktor. Semuanya berpenampilan sederhana. Seolah bagi mereka tak ada keistimewaan sama sekali dengan prestasi-prestasi itu.

Putra-putra Habib Abdulqadir adalah guru kami di Universitas Al-Ahgaff. Kami menyebut kakak-beradik ini dengan sebutan: keluarga dakatir. Bentuk plural dari sebutan doktor. Semuanya alim. Dan menginspirasi. Mereka adalah:

Pertama, Dr. Habib Muhammad bin Abdul Qadir Alaydrus, mantan Dekan Fak. Syariah dan Hukum Universitas Al-Ahgaff, yang saat ini menjadi pimpinan institusi ilmu Hadits Darul Ghuraba. Berkali-kali rihlah ilmiah ke Indonesia. Mengisi seminar internasional di kampus-kampus besar Indonesia, dan pernah menjadi perwakilan Yaman di Konferensi Ulama Sufi Internasional di Pekalongan, Jawa Tengah.

Saat acara resmi atau pertemuan penting, Dr. Muhammad ini berpenampilan gagah. Gamis, jubah putih dan sorban imamah. Khas pakaian ulama. Tapi di luar itu, beliau hanya memakai pakaian ala kadarnya. Tanpa sorban. Layaknya masyarakat awam biasa. Saat mengajar di kelas juga berpenampilan gagah. Tapi setelahnya, jubah dan imanah itu ia lepas, ia simpan di laci kampus miliknya. Pulang kembali dengan pakaian sederhana.

Kedua, Dr. Habib Abdullah bin Abdulqadir Alaydrus, pimpinan institusi Alquran dan Qiraat, Ma'had Alaydrus, Tarim. Juga menjadi mufti muda kota Tarim. Termasuk dua ulama muda paling ahli fiqih di Tarim. Juga pernah rihlah ilmiah ke negeri-negeri Asia Tenggara. Sama dengan kakaknya, penampilannya sederhana. Banyak santri-santri Indonesia (selain Al-Ahgaff) yang belum mengenal beliau, karena penampilannya yang seolah orang biasa.

Ketiga, Dr. Habib Alawi bin Abdulqadir Alaydrus. Dosen pasca sarjana Al-Ahgaff, memegang bagian fatwa di kampus itu. Juga pernah dikirim mengajar program magister di Indonesia. Dan berkunjung ke berbagai kampus dan pesantren di sana.

Keempat, Dr. Habib Husein bin Abdulqadir Alaydrus. Seorang doktor bidang komputer, tapi ahli fiqih. Berkali-kali kengkhatamkan Minhaj karya Imam Nawawi. Dan berguru langsung kepada Habib Abdullah Mahfudz Al-Haddad, mufti Hadhramaut yang juga pendiri Universitas Al-Ahgaff.

Kembali ke Ayahanda 'Dakatir', Habib Abdulqadir Alaydrus.

Beliau sudah sepuh. Tapi masih sehat dan bugar. Aktif mengajar dan menyimak tahfidz Alquran di Ma'had Alaydrus. Juga menjadi imam salat di masjid asuhannya, yang lumayan jauh dari rumahnya. Kesehariannya memakai baju putih biasa. Kancing atasnya dibiarkan terbuka. Kadang memang tak dikancing sama sekali. Terlihat kaos oblong polos. Warna putihnya lusuh. Sering mengaji Alquran di Darul Mustofa. Di belakang, samping pintu masuk. Jarang santri yang mengenali siapa sosoknya. Kealiman dan keulamaannya 'tertutupi' dengan gaya penampilannya yang sederhana.

Konon, dulu saat masih muda beliau ulama gagah yang ceramah di mana-mana. Dengan pakaian ulama. Gamis, jubah, dan sorban imamah yang dilingkarkan ke kepala. Tapi itu dulu ketika masih muda. Saat sudah mulai menginjak umur tua, beliau melepas seluruh penampilan keulamaannya, dan memilih untuk hidup sederhana ala kadarnya. Seperti orang biasa yang tak ada keistimewaannya.

Setiap berangkat ke masjid, atau kemana-mana pun mau pergi, beliau diantar dan ditemani salah satu putranya. Kadang Dr. Muhammad, kadang Dr. Alawi, Dr. Abdullah dan Dr. Husein. Bergantian. Masih dengan penampilan yang sederhana. Penuh takzim, khidmat dan penghormatan. Putra-putranya yang sudah menjadi ulama besar itu tak segan-segan menuntunnya, membuatkan minuman, atau mengipasinya. Sungguh keteladanan berbakti pada kedua orang tua yang patut diapresiasi tinggi.

Tapi aku pernah mendapati Habib Abdulqadir belanja ke pasar. Berjalan sendirian. Membeli sayur-sayuran, yang ia tenteng sendiri dengan kresek di tangannya. Sering juga jalan kaki sendirian di terik panas, atau malam gelap. Ditawari boncengan oleh temanku beliau tidak mau. Kecuali tujuannya betul-betul sama. Temanku akhirnya berbohong. Karena sungguh tidak tega melihat ulama sepuh berjalan sendirian. Akhirnya beliau berkenan. Aku yakin itu semua tanpa sepengetahuan putra-putranya, dan barangkali beliau sendiri tidak ingin merepotkan mereka.

Pernah juga aku menyaksikan hal menakjubkan lainnya. Ketika istrinya wafat beberapa bulan lalu. Masyarakat ramai mengantar dan mensalati janazah.  Musalla Jabanah, depan makam Zanbal yang selalu menjadi tempat mensalatkan jenazah itu, penuh, hingga membeludak. Masyarakat, santri dan ulama berdatangan. Namun masyaallah, beliau, selaku suami janazah, justru datang dengan menyelinap ke kerumunan masyarakat yang hadir. Dengan jalan yang agak cepat. Sengaja. Seperti tak ingin jadi perhatian banyak orang. Dan sekali ketahuan, orang-orang bahkan para ulama berebut mengecup tangannya. Tapi beliau selalu menghindar.

Masih banyak lagi inspirasi-inspirasi lainnya. Saat itu, tahun lalu, aku sowan bersama teman-teman satu angkatan yang akan diwisuda S1 Al-Ahgaff. Berkunjung ke rumah beliau, dengan niatan ngalap berkah dan minta doa. Ramai kami ke sana. 50-an orang. Disambut Dr. Alawi, salah satu putra beliau sekaligus guru kami di Al-Ahgaff.

Di ruang tamu itu, beliau hanya diam. Kami minta wejangan, beliau tak mau, tidak bisa memberi wejangan dan merasa belum pantas, katanya. Kami minta agak mendesak, masih saja tidak mau. Akhirnya beliau menyerah, dan menasehati kami agar tetap bertakwa kapan pun dan di mana pun kami berada.

"Kami murid dari putra-putra Antum, Habib, kami sekarang mau lulus, kami berterima kasih sekali sudah diajar oleh putra-putra Antum", salah satu temanku angkat bicara.

"Oh masyaallah, justru saya yang harusnya berterimaksih. Terimakasih terimakasih sudah berkenan ngaji ke anak-anakku", jawab beliau dengan menunduk tawaduk. Membuat kami makin takjub dan tak bisa berkata-kata lagi.

Lalu kami minta doa. Masih saja beliau mengelak. Mengaku tidak pandai doa. Atau tak pantas mendoakan. "Saya tidak bisa doa. Sudahlah, kalian saja yang doa, saya ikut mengaminkan".

Kami tidak mau, dan masih mencoba mendesak beliau agar sudi mendoakan. Tapi kami kalah. Beliau keukeuh tak mau memimpin doa. Kami desak lagi. Akhirnya, beliau berkenan tapi hanya ratib fatihah saja.

Itulah teladan manusia agung yang mncapai puncak ketawadukan. Ia lepas duniawinya. Tak memikirkan sedikir pun kegerlapannya. Hingga merasa dirinya bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa lagi.

Orang-orang seperti Habib Abdulqadir Alaydrus ini, yang alim, yang saleh, yang berada pada tingkatan tawaduk yang menakjubkan, sebetulnya banyak sekali kita jumpai di tanah Tarim ini. Mereka lebih suka hidup tak dikenal di dunia. Namun masyhur di langit sana. Ia khawatir jika keistimewaannya, kehebatannya, kesalehannya, ketawadukannya, diketahui banyak khalayak. Karena, para wali kekasih Allah yang mastur (tak dikenal) lebih banyak jumlahnya dibanding wali yang masyhur. Semua sama di sisi Allah. Yang mastur beribadah dengan tenang dan syahdu. Yang masyhur menggunakan ketenarannya sebagai alat dakwah. Untuk mengajak manusia kembali pada Tuhannya.

Azro Rizmy,
Tarim, Senin, 27 Mei 2019

Komentar

  1. Assalamualaikum Afwan,saya mohon ijin share tulisan2 ustadz dengan tetap mencantumkan sumbernya

    BalasHapus
  2. Afwan diantara anak beliau Dr.abdullah yg mudir rubath alydrus , tarim betul ustadz?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sanad Tertinggi di Muka Bumi

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru