R13: Belajar dari Dokter Tarim

Tarim, 13 Ramadhan 1440 H

Tarim, kota yang dinobatkan ISIESCO sebagai pusat peradaban Islam itu tak ada habisnya memberi inspirasi. Dari sejarahnya, budayanya, pendidikan agamanya dan juga dari seluruh elemen masyarakatnya. Di tulisan sebelumnya sudah kutulis tentang inspirasi tukang bengkel di Tarim. Dan kali ini, tentang inspirasi dari kalangan dokter Tarim yang juga banyak memberi contoh teladan.

Pertama dokter gigi. Bernama dr. Lutfi Bamukmin. Dokter muda lulusan Universitas Yordan. Prakteknya di klinik yang bersebelahan dengan Rumah Sakit Umum Tarim. Mungkin aku lebih dari sepuluh kali ke dokter ini. Pernah periksa gigiku sendiri. Lebih seringnya mengantarkan teman.

Suatu ketika, azan magrib berkumandang, klinik itu masih ada antrian pasien. Termasuk aku. Di Tarim, saat azan lima waktu, segala kegiatan akan berhenti sementara. Toko-toko tutup. Bergegas melaksanakan salat jamaah di masjid. Apalagi waktu magrib. Tarim menjadi seperti kota mati. Semuanya tutup. Bahkan warnet dan pom bensin yang di Indonesia biasa buka 24 jam nonstop itu, di Tarim, saat azan salat pun ikut tutup.

Semua petugas di klinik bergegas ke masjid. Semuanya. Dokter, perawat, pasien juga pengantarnya. Untuk salat jamaah magrib. Dan klinik ditutup.

Usai salat magrib, aku yang dapat giliran pelayanan itu menunggu dokter Lutfi yang belum juga tiba di klinik. Aku bertanya pada petugas, mana dokternya, kok belum datang?

"Oh kalau habis salat magrib kayak gini pak dokter baca wirid sama Alquran dulu. Tunggu saja. Insyaallah sebentar kok", kata petugas itu.

Betul. Tak lama setelah zikir dan baca Alquran dokter Lutfi datang, melanjutkan pelayanan pasien. Ada pemandangan yang menakjubkan. Yang sudah biasa di mata orang Tarim, tapi masih saja membuatku kagum. Adalah meja dokter dan resepsionis yang di situ ditaruh mushaf Alquran. Dokter dan resepsionis menyibukkan membaca Alquran saat tak ada pasien. Itu di luar Ramadhan. Bagaimana ketika Ramadhan?

Kedua. Dokter umum bermarga Baudhon. Di klinik Al-Khoiri (disebut juga rumah sakit tanpa ruang inap) yang berjajaran dengan kampusku, Al-Ahgaff. Tarif berobat di klinik ini sangat murah. Dengan fasilitas yang memadai. Dokter umum hanya 300 RY, atau sekarang setara Rp. 9.000. Dokter spesialis 500 RY setara Rp.15.000 (itu saat artikel ini ditulis berada pada kurs dollar 100 $ ada di kisaran 1.450.000 rupiah dan 53.000 Riyal Yaman).

Tarifnya tetap. Walaupun di waktu Riyal Yaman terkena dampak inflasi besar-besaran. Seperti yang terjadi tahun lalu (2018) pada bulan Agustus sampai November. Terjadi inflasi dahsyat. Kurs Riyal Yaman hancur. Yang mulanya 100 dollar setara 40 ribu RY menjadi 70 ribu RY. Sangat cepat dan drastis. Hingga tarif dokter umum yang 300 RY itu menjadi setara hanya 6.000 Rupiah. Sedangkan 500 RY (tarif dokter spesialis) setara hanya 10.000 Rupiah. Sekali lagi, tarif berobat di klinik ini tetap. Dan tak ada kenaikan biaya.

Sistem pembayaran di klinik ini dibayar sebelum pelayanan. Daftar nama, keluhan secara umum, dan pilihan bagian pelayanan. Dokter umum, dokter spesialis atau laboratorium. Urusannya ada di kasir yang juga merangkap sebagai resepsionis. Untuk kemudian struk bukti pembayaran itu ditunjukkan pada dokter, atau laboratorium yang bersangkutan.

Saat itu aku periksa sakit kepala. Ke bagian dokter umum. Seperti biasanya, aku diberi resep untuk tiga hari. Jika tiga hari itu belum sembuh, maka disuruhnya periksa lagi. Betul juga. Ternyata tiga hari itu belum pulih. Dan aku merasa itu memang bukan sakit kepala biasa. Seperti ada pengaruh dari mata.

Aku pun periksa di dokter Baudhon lagi. Konsultasi untuk kedua kalinya. Bahwa sakit kepalaku belum sembuh. Aku merasa sakit kepalaku ini bukan pusing biasa. Lebih ke nyeri di bagian atas kanan, kadang kiri. Terutama saat melihat benda kecil di kejauhan. Atau saat membaca tulisan panjang di layar ponsel. Dokter mendengarkanku. Lalu memberi saran untuk dirujuk ke dokter spesialis. Yang jadwal praktiknya di hari besoknya. Aku diberi resep sementara untuk masa penantianku hari itu. Dan disuruhnya menunjukkan struk yang sudah ia kasih coretan, kepada pihak kasir.

Kepada kasir aku serahkan struk itu. Dibaca. Lalu ia berikan uang 300 RY padaku. Aku belum faham apa maksudnya.

"Biayanya jadi berapa mas", tanyaku, mengira ada tambahan biaya.

"Ini uangmu. Kami kembalikan", Kata kasir itu.

Aku masih belum paham, "Loh, memang kenapa dikembalikan mas?"

"Kata dokter Baudhon kamu seharusnya ke bagian dokter spesialis. Bukan ke dokter umum. Ini uangmu dikembalikan".

"Loh, tapi saya sudah konsultasi dan dilayani mas, juga dikasih resep", aku mengelak uang itu, sambil menunjukkan resepnya yang tertulis di kertas resmi Rumah Sakit.

"Sudah lah. Terima saja. Nggak papa. Besok kamu kesini lagi. Besok ada jadwal dokter spesialisnya", kata dia sambil tersenyum.

Dalam istilah tasawuf disebut wara'. Yakni sifat betul-betul menjaga dari hal syubhat, atau yang belum jelas apakah itu miliknya. Dokter Baudhon sungguh teladan dalam satu sifat mulia ini. Meski menurutku sudah jelas, uang itu, adalah hak dia, dan hak Rumah Sakit. Dalam sikapnya itu, ia ajarkan praktek tasawuf. Yang mungkin tak ditemukan di majelis pengajian ulama.

Besoknya aku datang lagi di klinik (atau rumah sakit) ini. Yang hanya beberapa meter dari asramaku. Langsung ke kasir. Membayar 500 RY untuk periksa bagian spesialis. Murah sekali. Saat itu barangkali hanya setara 15 ribu rupiah. Dengan dokter yang kualitasnya luar biasa. Aku konsultasi. Diberi resep. Dan alhamdulillah sembuh.

Ada lagi. Dokter-dokter dari kalangan Habaib yang mengesankan. Dokter spesialis mata. Buka praktek di dekat asramaku. Namanya dokter Habib Ali bin Yahya. Lulusan master spesialis mata dari salah satu universitas ternama di Rusia. Lulus dengan predikat summa cumlaude (imtiyaz ma'a martabat as-syarof).

Pasien hariannya selalu membeludak. Menunggu giliran antrian kadang sampai hari berikutnya. Dan yang membuatku terkesan adalah, saat pertama kali aku periksa ke dokter ini, aku masuk ruangan. Ada pria berumur sekitar 40-50an. Dengan memakai gamis putih dan pecih putih. Parasnya lebih mirip seorang ustad atau ulama. Aku ragu apakah yang di ruangan itu adalah dokternya. Dan ternyata benar. Dialah dokter Ali bin Yahya. Dengan style sederhananya. Dan aku ingat, ternyata beliau orang yang sering salat jamaah di musala dekat asrama tanpa kusadari.

Masih ada cerita dokter dari kalangan habaib Tarim yang menginspirasi lainnya. Seperti dokter Habib Ibrahim Al-Kaff, yang rumah sekaligus tempat praktiknya berada tepat di depan masjid Al-Muhdhor, yang kisah pengalamanku tentang beliau akan diulas di satu tulisan eksklusif di edisi setelahnya insyaallah.

Dari kisah-kisah di atas, kita bisa petik pelajaran:

Dari dokter gigi, dr. Lutfi Bamukmin, bahwa, apapun profesi kita, sesibuk apapun itu, sempatkan untuk berzikir pada pagi hari (usai subuh) dan awal malam (bakda magrib). Yang di kedua waktu itu banyak hadits Nabi yang menjelaskan tentang keutamaan zikir-zikirnya. Baca Wirid Latif, Ratib Haddad, atau lainnya. Dan beri jiwa ini nutrisi dengan bacaan Alquran, terutama di waktu luang.

Dari dokter Baudhon, kita ambil pelajaran penting tentang arti wara'. Menjaga dari hal syubhat, atau bukan miliknya. Fokus membantu orang lain. Dan tidak rakus pada harta duniawi.

Dari dokter mata bin Yahya, bahwa seorang dokter lulusan terbaik Rusia pun tidak melulu berubah penampilan kebarat-baratan. Lingkungannya religius. Terlahir dari keluarga religius pula. Namun tetap dengan kesederhanaannya, dan menjaga salat jamaah di musala terdekatnya.

Azro Rizmy,
Tarim, Sabtu, 18 Mei 2019

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sanad Tertinggi di Muka Bumi

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru