R09: Dua Juz Tarawih Habib Umar yang Istimewa

Tarim, 09 Ramadhan 1440 H

Sebuah keistimewaan tersendiri bisa bermakmum tarawih di belakang Habib Umar bin Hafidz. Di pesantrennya, Darul Musthafa, di musalla pesantren bernama Musala Ahlul Kisa itu. Termasuk tarawih paling panjang di Tarim. Total durasinya tiga jam. Mulai pukul 20.30 hingga 23.30. Dua jam shalat. Satu jamnya lagi pembacaan doa dan qasidah. Meski lama, di Darul Musthafa justru jamaahnya termasuk paling ramai dan penuh antusias.

Di tarawih ini, Habib Umar membaca dua juz Alquran di setiap malamnya. Dengan hafalan kuat di luar kepala. Memakai Qiraat Abu Amer riwayat Ad-Dury. Yang sedikit berbeda dengan bacaan di Indonesia yang qiraatnya Ashim riwayat Hafes. Coba sesekali lihat di awal halaman mushaf Alquran, di situ tertulis memakai apa qiraatnya.

Versi qiraat yang dipakai Habib Umar itu adalah bacaan mayoritas masyarakat Tarim. Secara global memakai mushaf Abu Amer riwayat Ad-Dury. Tapi ada beberapa kaidahnya yang tidak dipraktekkan, seperti dalam hal imalah, taqlil, tashil dsb. Kadang juga, Habib Umar memakai faresy yang berbeda dengan apa yang termaktub pada mushaf Abu Amer. Tapi itu jarang terjadi. Hanya sekali-dua kali saja.

Qiraat dengan bacaan seperti ini (tidak konsisten dengan kaedah satu qari') oleh ulama qiraat disebut talfiq (menyampuradukkan antar versi). Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama qiraat. Ada yang tegas melarangnya secara mutlak. Ada yang memperbolehkan dengan syarat tidak mengubah makna.

Masyarakat Tarim, termasuk Habib Umar, barangkali ikut pendapat yang memperbolehkan. Mereka sengaja tidak memakai kaedah imalah, taqlil dan tashil setidaknya karena dua alasan. Seperti kata guruku, Syekh Ali Abdurrahman Baharmi, salah seorang ulama qiraat Tarim. Alasan pertama: untuk mempermudah masyarakat awam. Dua: agar mereka tidak menyangka ada perubahan huruf.

Kesimpulannya, Ahlu Tarim dalam membaca Alquran secara global memakai faresy mushaf Abu Amer riwayat Ad-Dury, tapi tanpa memakai kaedah imalahnya. Itu termasuk talfiq. Dan mereka ikut pendapat ulama yang memperbolehkan. --Lebih detail lagi bisa dipelajari di ilmu Qiraat Sab'ah.

Adapun cara membaca Alquran, Habib Umar berbeda dengan imam-imam lain. Habib Umar lebih fokus ke peresapan segi makna. Cara membacanya tergantung bagaimana ayat itu diturunkan. Jika tentang kisah Nabi, maka Habib Umar membacanya seolah bercerita kisah itu kepada makmumnya. Atau tentang hukum fiqih, maka seolah menjelaskannya. Atau surga-neraka, beliau seolah membawa makmumnya ke alam sana. Kadang melirihkan suara. Kadang semi teriak.

Ambil contoh saat baca surat Yusuf. Yang dibaca kemarin lusa. Dari awal hingga akhir di surat ini berkisah tentang kisah Nabi Yusuf. Kisah paling seru yang ada dalam Alquran. Habib Umar bin Hafidz membacanya penuh hayat. Intonasi suaranya. Cara berkisahnya. Bagaimana cara Nabi Yusuf berbicara pada Ayahnya, saudara-saudaranya, kepada Zulaikha, juga pada raja yang berkuasa saat itu. Hingga para makmum bisa menyelami seolah hidup langsung di zamannya.

Terlebih cerita ketika Nabi Ya'qub kehilangan dua putra kesayangannya; mulanya kehilangan Nabi Yusuf, yang kemudian dilanjutkan lagi dengan kehilangan adik kandungnya; Bunyamin. Habib Umar mampu menggambarkan kesedihannya. Dukanya. Tangisnya. Munajatnya. Jamaah pun sontak ikut menangis haru. Menunduk penuh kekhusyuan. Terkena 'dampak' cara baca Habib yang 'menyihir' pendengarnya.

Ada juga tempat-tempat yang dipastikan Habib Umar melirihkan suara. Seolah tak mampu mengeluarkannya dari lisannya. Seperti Surat Ali Imran ayat 181:

(لَقَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ فَقِيرٌ وَنَحْنُ أَغْنِيَاءُ)
Sungguh Allah mendengar ucapan orang-orang yang berkata: "sesungguhnya Allah itu fakir, dan kamilah orang-orang kaya"

Juga ayat-ayat lain yang mengisahkan ucapan-ucapan tak layak yang keluar dari mulut orang-orang kafir. Habib Umar sengaja melirihkan suara, karena tidak sanggup untuk mengucapkannya sedemikian rupa. Juga karena takzimnya kepada Allah Swt.

Lebih seru lagi ketika baca ayat tentang munajat para Nabi kepada Allah. Habib Umar mengulang-ulanginya, hingga tiga kali atau bahkan lebih. Dengan suara lantang, lambat, diam sebentar, pelan, lalu lirih, disertai tangisan. Atau tentang siksa neraka. Beliau menekan intonasi, menangis tersedu, diulang lagi, lagi dan lagi.

Tangisan itu sering kali membekas hingga sepanjang salatnya. Memperpanjang rukuknya. Melamakan sujudnya. Terdengar dengan jelas suara isakan beliau menangis. Atau diam lama dalam sujud, lama sekali. Lalu terdengar suara berat sesenggukan menahan tangis yang melepas.

Menjadi makmum di belakangnya, hanya membuat kita terdiam pilu. Terharu dan penuh syahdu. Seolah terbawa melayang-layang dengan euforia tangisan jamaah seisi masjid. Merinding. Menggetarkan hati dan jiwa. Menemukan ketenangan dan ketentraman kalbu yang begitu istimewa. Sungguh nikmat Allah yang tiada tara.

Azro Rizmy,
Tarim, Selasa, 14 Mei 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelafalan Huruf Shod yang Dulu Kukenal Ternyata Keliru

Karena Tentukan Dukungan, Katak Dipuji, Cicak Dimurkai

Sanad Tertinggi di Muka Bumi